Usai memberikan pengarahan kepada sejumlah pejabat, cepat-cepat ia melangkah masuk ke ruang kerjanya. Rak panjang yang menempel dinding tampak banyak melompong, kecuali diisi sedikit buku, hi-fi stereo, dan televisi. Setumpuk sajadah lalu digelar untuk salat magrib berjamaah bersama staf. "Rapat bisa ditinggal, kalau salat nggak bisa," kata Alirahman, Sekretaris Negara—sebuah posisi penting yang setara dengan kementerian negara—yang baru saja dilantik Jumat pekan lalu.
Ali lalu melepas sepatu kulit marun favoritnya—bermerek Dexter, yang dibeli cuma US$ 17, saat Christmast sales 19 tahun lalu. Sang ajudan, Taufiq, usai mengimami salat, lalu memimpin doa—untuk Syaikh Abdulqadir Jailani sampai Syaikh Abdurrahman Wahid, sang Presiden. Lalu disambung alunan zikir laa ilaaha illa Allah sebanyak 119 kali. "Ini supaya terjadi persambungan yang baik antara Gus Dur dan Pak Ali, begitu sebaliknya," kata Taufiq. Mereka, tak kecuali Alirahman, 54 tahun, membentuk lingkaran yang sesekali mengentakkan wirid kalimat tauhid itu. Khusyuk.
Salat, wirid, dan ragam spiritualitas inilah agaknya yang mempertautkan Gus Dur dengan Alirahman. Semua orang kaget bukan kepalang begitu pria kelahiran Menggala, Lampung, ini dipilih menangani urusan kantor presiden dan wakil presiden. Selama ini nama Alirahman memang tak beredar luas. Master ekonomi pertanian dan doktor ekonomi sumber daya dari Colorado State University, Amerika Serikat, ini memang dikenal jarang berkeliaran di tempat umum, apalagi mendatangi pesta. "Bapak memang tak suka muncul. Kalau ke pesta, sering saya sendirian. Sampai orang bilang, enggak mau kalah dengan (bekas Ketua DPA) Pak Domo, he-he-he...," kata Mirna Ali, istrinya.
Di kantor sebelumnya, sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Perencanaan Pembangunan Bappenas, Ali lebih asyik dengan rutinitas kerjanya. "Saya biasa pulang sampai larut malam. Kerja keras memang hobi," kata perokok berat ini, terkekeh. "Bapak orangnya ekspresif, kerjanya all-out," kata seorang bekas anak buahnya. Selain dekat dengan Gus Dur, Ali juga kenal baik dengan Akbar Tandjung, Ketua DPR yang juga bos Partai Golkar. "Akbar itu teman sekamar tidur saya saat sama-sama aktivis," kata Ketua Dewan Mahasiswa IPB pada 1972-1973 itu.
Di mata para tokoh NU, Ali dikenal lantaran "jasa"-nya yang terus dikenang: membantu para santri belajar ke luar negeri. "Semua anak buahnya memang didorong belajar ke luar negeri, meski ia kehilangan staf," kata seorang stafnya di Bappenas. Di lembaga perencanaan inilah, Ali, yang pernah menjadi Kepala Divisi Overseas Training Office, mengaku "banyak berguru" kepada para pentolannya: Widjojo Nitisastro, Sumarlin, juga Saleh Afiff. Dengan ekonom Emil Salim, penggemar tenis lapangan ini—seminggu dua kali, dan sekali main ia bisa nggenjot 5 jam—juga banyak berdiskusi. Bersama Mubyarto, ia menggagas upaya mengentas kemiskinan.
Di kursi barunya ini, Alirahman sudah mengagendakan sejumlah prioritas: membentuk opini publik yang membantu pemerintah, efisiensi harta kekayaan negara, profesionalisme, dan memperlancar kerja kabinet. Kabarnya, Sekretariat Negara akan dirampingkan. "Saya setuju. Karena saya lihat di sana memang over-organized," kata bekas Menteri Sekretaris Negara Muladi. Coba tengok. Eselon satunya saja ada 14 orang, pegawainya ada 4.000. "Banyak urusan yang sebenarnya urusan departemen ditarik ke situ, sehingga menciptakan suatu birokrasi yang tidak efisien," kata Muladi.
Akan ada pengurangan pegawai di Sekretariat Negara atau Setneg? Bisa jadi. "Itu nggak besar, nggak sampai seratus, kok," kata Sofian Effendi, Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN). Ia berpendapat, memang perlu ada penataan kembali di Setneg. Setneg sudah terlalu besar. Selain itu, Setneg juga sudah terlalu berfungsi sebagai superministry, sehingga memperlambat proses pembuatan keputusan. "Akibatnya, fungsi terhadap pelayanan presiden terganggu. Nggak ada supporting staff yang mendukung presiden. Office on the president itu nggak ada di Indonesia," kata Sofian.
Gampangannya seperti dituturkan Sofian dengan ilustrasi berikut. Jadi, misalnya saja kita masuk di kantor presiden, yang mengurus telepon untuk presiden itu ajudan, yang menangani appointment untuk presiden, ya, ajudan. Yang mengurus soal hubungan masyarakat juga ajudan. "Padahal, urusan ajudan bukan itu," kata Sofian. Presiden seharusnya mempunyai staf yang membantu dia menyaring semua kebijakan, kemudian menyinkronkan kebijakan presiden dan kebijakan menteri, dan mengecek apakah itu sinkron.
Beban berat itulah yang tampaknya bakal tertumpuk pada Ali. Namun, sejauh ini, Presiden Wahid juga menghendaki dibentuknya seorang sekretaris presiden, yang kabarnya akan dipercayakan kepada Ratih Hardjono, bekas wartawan Kompas yang belakangan ini sibuk menjadi asisten pribadi Gus Dur di NU dan PKB. Ratihlah yang selama ini menjadi portal penentu untuk setiap orang yang hendak bertemu dengan Presiden. "Bidang garap itu akan dirumuskan. Tapi saya tak mau mengurus tetek-bengeknya Presiden," kata Alirahman. "Dan soal karyawan Setneg, saya minta agar jangan resah."
Wahyu Muryadi, Purwani D. Prabandari, Mustafa Ismail
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini