TANDA tanya besar mendadak muncul di benak sekitar 150 ribu pegawai negeri sipil (PNS) Indonesia. Mereka merasa masa depan karirnya kabur menyusul pengumuman Presiden Abdurrahman Wahid untuk membubarkan Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen), Selasa pekan silam. Pemerintah juga memutuskan melebur Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil/Menengah, Departemen Pariwisata dan Seni, Departemen Pekerjaan Umum, serta Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan ke dalam empat kantor kementerian negara.
Wajar rasanya jika pegawai departemen itu kemudian ramai-ramai mempertanyakan kejelasan nasib mereka. Misalnya yang dilakukan oleh karyawan Depsos beserta beberapa penyandang cacat di depan Istana Merdeka ketika Kepala Negara tengah melantik anggota kabinetnya, Jumat lalu. Padahal, Kepala Badan Administrasi dan Kepegawaian Negara (BAKN) Dr. Sofian Effendi telah menjamin pemerintah tidak akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap PNS yang departemennya terlikuidasi. "Pada prinsipnya, kalau melihat jumlah penganggur terbuka kita sudah begitu besar, pemerintah tidak akan melakukan PHK karena risiko politiknya terlalu tinggi," ujar Sofian.
Skenario pertama, menurut Sofian, pemerintah akan menyalurkan mereka ke instansi dan pemerintah daerah, misalnya menempatkan mereka pada dua departemen yang bakal dibentuk, yakni Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah serta Departemen Eksplorasi Laut. Bisa juga membentuk yayasan atau lembaga swadana untuk badan usaha yang dimiliki departemen, seperti Deppen dengan TVRI dan RRI, yang akan menjadi tempat penampungan baru bagi PNS mereka.
Janji dan tekad pemerintah ini setidaknya dapat menjadi pelipur lara untuk sementara waktu bagi para PNS tersebut. Namun, sampai berapa lama pemerintah dapat tarik-ulur dengan batas kesabaran para abdi negara itu? Apalagi pelaksanaannya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Ada banyak faktor yang memerlukan pertimbangan secara cermat, misalnya masa depan karir para PNS tersebut di tempat kerja yang baru. "Bayangkan saja, orang yang sudah puluhan tahun berkarir di Deppen, hanya dengan satu keputusan, tahu-tahu hilang karirnya. Bingung, kan? Dia sudah berumur 50-an tahun dan sudah 25 tahun di situ, kemudian dia harus memulai lagi dari bawah," kata Sofian.
Peringatan Sofian ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab, pada tataran ini, yang muncul adalah persoalan belum tentu cocoknya jenjang pangkat dan pos jabatan yang tersedia. Apakah seorang pejabat eselon satu dari sebuah departemen bersedia begitu saja turun kelas di institusi yang baru? Dan apakah jumlah pos jabatan yang tersedia mampu menampung luberan dari departemen yang terlikuidasi tersebut? Ketua Departemen Ekonomi Partai Kebangkitan Bangsa, Yusuf Faishal, memperkirakan, akibat likuidasi Deppen saja, misalnya, akan banyak posisi eselon satu yang hilang. Demikian juga jabatan kepala kantor wilayah di tingkat provinsi.
Faktor terakhir yang tidak kalah peliknya adalah kesinambungan antara tuntutan kerja di instansi baru dan kemampuan PNS yang bersangkutan. Ambil contoh kasus pembubaran BP7 yang cuma memiliki sekitar 400 pegawai itu. Hingga kini, 83 di antara mereka masih menganggur. Salah satu problemnya, menurut mantan Ketua BP7 Alwi Dahlan, kemampuan kerja mereka tidak cocok dengan tuntutan di institusi baru.
Di luar departemen atau institusi baru itu, harapan yang tak kalah besarnya untuk penampungan para PNS tersebut terletak di pundak pemerintah daerah. Setidaknya ini sejalan dengan isyarat pemerintah untuk makin memperluas tingkat otonomi tiap-tiap daerah. Sayangnya, upaya untuk mencapai tahap otonomi luas ini masih perlu waktu yang panjang, mengingat kemampuan setiap daerah juga berbeda. Padahal, tidak mungkin memaksakan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup para PNS agar adu lari dengan pencapaian target otonomi luas itu.
Menilik peliknya persoalan yang berkembang, Sofian memperkirakan, proses pengalihan PNS tersebut ke tempat penampungan yang baru bisa memakan waktu hingga dua tahun ke depan. Sebagai perbandingan, ia lantas menggambarkan sulitnya upaya penggabungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag), yang memiliki total karyawan 28 ribu orang. "Penggabungan Depperindag sendiri sampai sekarang belum selesai, dalam arti masih ada klik-klik perindustrian dan klik-klik perdagangan," ujar guru besar Universitas Gadjah Mada ini. Dus, agaknya, tanda tanya besar masih bakal menggantung di benak ribuan PNS dari beberapa departemen di atas. Setiap hari mereka niscaya melafalkan doa yang sama: kapan musim likuidasi ini bakal berakhir?
Widjajanto, Agus S. Riyanto, Mustafa Ismail, Rini (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini