Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kaos Capres di Kantor Polisi

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada masa pemilu ini, makin repot saja polisi. Belum hilang gaung kasus VCD Banjarnegara yang merekam kampanye terselubung oleh Kepala Kepolisian Wilayah Banyumas, kini episode baru muncul di Yogyakarta.

Di Kota Gudeg ini, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi Daerah menemukan indikasi keterlibatan polisi dalam pendistribusian ribuan kaus bergambar pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Kaus dalam delapan karung itu pada 16 Juni lalu ditemukan di Markas Kepolisian Kota Besar dan di kediaman dinas Komisaris Besar Condro Kirono—pimpinan polisi di sana.

"Kami memiliki foto-fotonya," kata Wakil Ketua Panwaslu DI Yogyakarta, Ramdlon Naning. Karena itulah, Selasa pekan lalu, Panitia menggelar rapat khusus mendadak jajaran pengawas di tingkat Kota Yogyakarta. Hasilnya, mereka akan mengusutnya dengan memanggil Condro.

Kamis lalu, Condro mengaku sudah datang memberikan klarifikasi ke Panwaslu Kota Yogyakarta. "Itu barang adik ipar saya. Saya tahu kalau isinya kaus malah dari wartawan," katanya. Persoalan tentu tak selesai dengan klarifikasi Condro: hari-hari mendatang Condro akan repot karena Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri sudah merencanakan memeriksa dirinya. "Saya siap," kata Condro mantap.

Kasus VCD Banjarnegara

Mantan Kepala Kepolisian Wilayah Banyumas, Komisaris Besar Pol. Achmad Aflus Mapparessa, mengaku melampaui batas kewenangannya. "Dia siap mempertanggungkan sesuai dengan profesi yang diemban," kata pimpinan sidang kode etik Polri, Komisaris Jenderal Binarto, seusai persidangan di Mabes Polri, Rabu pekan lalu.

"Gaya saya memang seperti itu, tetapi tidak ada niat menyinggung calon presiden tertentu," kata Mapparessa di persidangan. Mapparessa diadili berkaitan dengan "briefing bersayap" kepada keluarga polisi untuk memilih pasangan Presiden Megawati-Hasyim Muzadi dalam pemilu 5 Juli lalu. Pertemuan yang terjadi 29 Mei lalu di Polres Banjarnegara itu disorot kamera video dan rekamannya kemudian menyebar luas. Menurut dia, penjelasan itu dilakukan karena rasa bangga keberhasilan Polri semasa pemerintahan Megawati.

Pimpinan sidang mengatakan keputusan untuk menentukan nasib Mapparessa akan ditentukan minggu ini. Sanksi terhadap Kepala Polwil paling ringan adalah ia harus minta maaf, dan sanksi paling berat ia diberhentikan sebagai anggota Polri.

Sementara itu, Kepolisian Daerah Jawa Tengah memutuskan menghentikan sementara pemeriksaan kasus VCD ini. Kepala Polda juga mengatakan seluruh penanganan kasus tersebut diambil alih oleh Polda Jawa Tengah, sehingga seluruh proses penyidikan di Polwil Banyumas dan Polres Banjarnegara dianggap gugur. "Polda Ja-Teng akan memulai penyidikan kasus ini dari nol," kata Kepala Polda Jawa Tengah, Irjen Pol. Chaerul Rasjid, Rabu pekan lalu.

Proses Hukum Kerusuhan Mei

Keluarga korban kerusuhan Mei 1998 menuntut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim gabungan bersama Kejaksaan Agung untuk menuntaskan proses hukum kasus ini. Sekitar 20 orang mendatangi kantor Komnas HAM, Kamis pekan lalu. "Yang penting, kasus ini bisa diproses sampai ke pengadilan," kata Edwin Partogi, Kepala Bidang Operasional Kontras, yang mendampingi keluarga korban saat bertemu anggota Komnas HAM.

Menurut Edwin, tim gabungan diperlukan agar ada jalan keluar dari kebuntuan yang dihadapi Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Dikembalikannya berkas hasil penyelidikan Komnas HAM oleh Kejaksaan Agung menunjukkan Kejaksaan Agung tidak punya kemauan untuk menyelesaikan kasus ini.

Enny Soeprapto, anggota Sub-Komisi Hak Sipil dan Politik Komnas HAM, mengatakan bahwa tim gabungan tersebut tidak bisa dibentuk. Karena tim penyelidik dan penyidik tidak mungkin diga-bung dalam satu tim. "(Tapi) sudah ada pertemuan informal antara saya dan Kejaksaan Agung (untuk membahas kasus ini)," kata Enny kepada Tito Sianipar dari Tempo News Room.

Kematian Bersejarah Mandagi

Hidupnya berakhir hanya beberapa menit setelah ia melayang-layang di angkasa. Theodorus "Theo" Mandagi, 56 tahun, tewas dalam aksi terjun payung di Kuta, Bali, Rabu pekan lalu. Theo dan kawan-kawan terjun untuk merayakan pemecahan rekor terjun payung 100 orang di tempat yang sama beberapa saat sebelumnya.

Rekor itu memang tercapai sudah—setelah dicoba selama tiga hari berturut-turut. Sebelumnya, pada 2003, rekor terjun bersama hanya diikuti oleh 24 orang. Tapi kegembiraan itu akhirnya berakhir sedih. Theo tak selamat karena ia gagal membuka payung utama dan cadangan.

Theo Mandagi telah terjun lebih dari 3.000 kali. Ia mengaku tertantang ikut memecahkan rekor tersebut. "Ini kesempatan pertama saya terjun bersama segini banyak orang. Saya optimistis besok rekor pecah," katanya kepada wartawan sehari sebelum kematiannya. Ia salah satu dari delapan orang Indonesia yang ikut memecahkan rekor. Penerjun lainnya, 92 orang, berasal dari 17 negara berbeda.

Keluarga Mandagi tak bisa dilepaskan dari sejarah terjun Indonesia. Theo tewas menyusul saudara-saudaranya yang telah lebih dulu berpulang. Kakaknya, Robby, dan dua adiknya, Alfred dan Chris, pada 1986 tewas dalam kecelakaan pesawat di Rumpin, Tangerang, saat bersiap terjun.

Komisi PBB Kasus Tim-Tim

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membentuk suatu komisi ahli yang akan menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor Timur, 1999 silam. "Inisiatif diambil Sekjen PBB (Kofi Annan)," kata Duta Besar Timor Leste untuk Indonesia, Arlindo Marcal, Rabu pekan lalu. Dia menambahkan, komisi tersebut dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan presiden tahap pertama, 5 Juli lalu. Masalah itu akan dibahas dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri Indonesia dan Timor Leste di Bali, pekan ini.

Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda membantah kabar tersebut. "Itu baru gagasan," katanya. Menurut dia, PBB baru membahas apakah perlu membentuk komisi tersebut. Pemerintah Indonesia akan menolak rencana pembahasan itu.

Pernyataan Menteri Hasan ini dikuatkan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Menurut Panglima, pemerintah asing tidak bisa mengintervensi sistem peradilan di Indonesia.

Pemulangan 800 Ribu TKI Ditunda

Pemerintah Malaysia untuk sementara menghentikan razia terhadap tenaga kerja Indonesia ilegal. Selain itu, pengusiran sekitar 800 ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) haram itu akan ditunda sampai Oktober nanti, seusai pemilihan presiden tahap dua. "Itu janji mereka," kata Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda, Kamis lalu.

Keputusan tersebut sebagai hasil pembicaraan antar-pejabat senior kedua negara di Kuala Lumpur, Senin lalu. Pertemuan itu merupakan jawaban atas nota protes yang dikirimkan pemerintah Indonesia setelah Yunus, TKI ilegal asal Ende, Nusa Tenggara Timur, tertembak di Selangor bulan lalu. Pemerintah Malaysia juga berjanji akan menyelidiki kasus penembakan itu.

Proses pemulangan TKI, menurut Menteri Hasan, akan dibahas dalam pertemuan lanjutan. Kedua negara sepakat merencanakan operasi pemulangan dengan teratur, bertahap, dan bermartabat. Sedangkan biayanya akan ditanggung kedua negara.

Namun, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Dato' Hamido Ali, mengaku tidak mengetahui kesepakatan itu. "Saya tidak tahu. Saya belum menerima laporan," katanya kepada Faisal Assegaf dari Tempo News Room.

Konferensi Dua Negara di Ngruki

Debat seru masalah terorisme di Solo ternyata tidak terjadi. Seminar yang membahas syariat Islam yang digagas pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, hanya dihadiri dua perwakilan kedutaan besar. Padahal pesantren ini mengundang sepuluh kedutaan asing di Indonesia yang selama ini memberi cap teroris kepada pendiri pondok pesantren tersebut, Abu Bakar Ba'asyir.

"Kenapa mereka tidak datang? Apa takut didebat? Ini kan forum ilmiah," kata Direktur Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ustad Wahyudin, di sela-sela seminar yang berlangsung di Hotel Agas, Solo, Kamis pekan lalu.

Dua kedutaan yang mengirim utusan adalah Jepang dan Jerman. Itu pun hanya perwakilan dan bukan duta besarnya. Sementara itu, Kedutaan Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda memberikan konfirmasi tidak bisa hadir tanpa menyebut alasannya. Kedutaan lain yang tidak memberikan jawaban adalah Kedutaan Prancis, Korea, Thailand, Singapura, dan Filipina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus