WAHYUNI belum bisa melupakan penderita-annya sekitar 15 tahun silam. Setiap pagi, ibu tiga anak ini selalu terguncang-guncang di atas kapal mesin selama satu jam. Dia menuju ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu, tempat ia mengajar. Sore hari, Wahyuni mesti pulang ke rumah dengan kapal yang sama karena ia tinggal di pulau lain.
Nasibnya baru berubah pada 1992, saat ia dipindahkan ke sebuah SMP di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Kini, dengan naik bus kota, dia hanya perlu waktu 15 menit untuk mencapai sekolahnya. Tentu saja Wahyuni tidak mau kembali ke masa silam. Kapok. "Kalau disuruh ke pulau lagi, enggaklah," ujarnya.
Jangan heran, seperti yang terjadi di pedalaman Sukabumi, Jawa Barat, sampai sekarang Kepulauan Seribu selalu kekurangan tenaga pengajar. Menurut Bupati Kepulauan Seribu, Abdul Kadir, yang paling parah guru SMU, dengan kekurangan mencapai 40 persen. Adapun untuk guru SMP, kekurangannya 10-15 persen, dan SD 7-10 persen. "Kami sudah menyampaikan persoalan ini ke pemerintah pada 2003, tapi sampai kini belum ada penambahan guru," katanya.
Diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Indra Djati Sidi, guru-guru enggan mengajar di daerah terpencil karena tunjangannya kurang menarik. Selain itu, daerah-daerah juga kurang siap menangani urusan ini begitu otonomi mulai dilaksanakan beberapa tahun silam. "Akibatnya, penyebaran guru tidak merata," ujarnya.
Departemen Pendidikan Nasional mencatat jumlah guru di negeri ini, untuk semua tingkatan sekolah, 2,2 juta. Mereka mesti mengajar di 230 ribu sekolah. Berdasarkan hitung-hitungan kementerian ini, setidaknya sekarang masih dibutuhkan sekitar 120 ribu guru lagi.
Pendistribusiannya? Indra Djati mengusulkan, Departemen Pendidikan diberi wewenang mengelola guru kembali untuk menjamin pemerataan. Caranya dengan mewajibkan guru-guru baru mengajar di daerah pendalaman selama 3 sampai 5 tahun. Setelah itu, mereka bisa pindah ke kota. "Jadi, semua guru pernah punya pengalaman kerja di desa terpencil. Itu sangat baik," katanya.
Pola semacam itu sebetulnya sudah pernah dilaksanakan pada zaman Orde Baru. Hanya, tidak selalu gampang mewajibkan guru mengajar di daerah terpencil. Yang terjadi malah praktek penyuapan terhadap pejabat di Departemen Pendidikan agar seorang guru bisa ditempatkan di daerah enak.
Indra Djati tak menampik adanya praktek tersebut. Itu sebabnya ia mengusulkan agar sistemnya dibuat lebih transparan dan jalur birokrasinya diperpendek. Gagasan ini, kata Indra, sudah dibicarakan dengan sejumlah daerah. Dia mempersilakan pemerintah daerah masing-masing bersama DPRD mengambil keputusan.
Jika usul itu disetujui, digambarkan seorang guru dari Jawa bisa mengajar di Padang. Begitu pula orang Ambon, umpamanya, bisa saja mengajar di Jawa. "Cara sentralistis masih diperlukan untuk mengatasi persoalan kekurangan guru di daerah terpencil," ujar Indra Djati.
Di tengah maraknya desentralisasi, tak mudah melaksanakan gagasan tersebut. Bisa pula ini dianggap langkah mundur. Yang pasti, penolakan sudah datang dari Pemerintah Provinsi Jakarta. Menurut Wakil Kepala Dinas Pendidikan Menengah Tinggi DKI Jakarta, Margani, usul itu sulit diterapkan. Soalnya, "Sejauh ini, kami sudah mampu mengatur distribusi guru, bahkan memberikan kesejahteraan lebih," ujarnya.
Diakui oleh Margani, Jakarta pun masih kekurangan 5.000 lebih guru. Untuk mengatasinya, ia sudah menempatkan guru bantu, terutama di dalam kota. Kekurangan tenaga pengajar di Kepulauan Seribu pun segera diatasi dengan merekrut guru baru. Agar calon guru tertarik, tunjangan akan diperbesar. "Mungkin insentif sebesar Rp 750 ribu masih kurang dan perlu ditambah," kata Margani.
Wahyuni barangkali sudah benar-benar kapok. Tapi siapa tahu iming-iming itu membuat guru lain tertarik mengajar di sana.
Eni Saeni, Bobby Gunawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini