Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGI telah datang. Pukul 8 pas, Buchori telah bersiap di tempatnya bekerja: Sekolah Dasar Negeri Tipar, Kampung Cipaok, Desa Gunung Tanjung, Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sebuah desa yang mungkin tak tampak pada selembar peta.
Sementara Buchori bersiap mengajar, Ujang Hadiani, penjaga sekolah, dengan semangat berkali-kali memukul sebuah lonceng besi yang telah berkarat. Pertanda kegiatan belajar-mengajar segera dimulai.
Lazimnya, seorang guru SD hanya menangani satu kelas dengan puluhan murid. Bahkan kadang beberapa mata pelajaran diberikan oleh beberapa guru yang berbeda. Tapi Buchori jelas bukan guru biasa. Pria 47 tahun ini mengajar enam kelas sekaligus, mulai kelas 1 hingga kelas 6. Sendirian dia mendidik 160 murid SDN Tipar. Belum cukup di sini, tugasnya masih ditambah dengan jabatan sebagai kepala sekolah. Buchori pun masih disibukkan dengan tetek-bengek urusan surat-menyurat. Komplet.
Di Sukabumi, jumlah sekolah yang senasib dengan SDN Tipar cukup banyak. Berdasarkan catatan Dinas Pendidikan Sukabumi, ada 34 SD yang tersebar di 14 kecamatan yang harus puas dengan guru tunggal yang merangkap sebagai kepala sekolah sekaligus pegawai administrasi.
Nasib beberapa sekolah lain pun tidak jauh lebih baik. Ada 144 SD, tersebar di 28 kecamatan, yang dikelola seorang kepala sekolah dan hanya ditambah satu guru kelas. Sementara itu, ada 234 SD di 37 kecamatan yang cuma dikendalikan seorang kepala sekolah plus dua orang guru. Sudah tentu para guru super ini bekerja ekstraberat. Apalagi medan di Kabupaten Sukabumi kerap tidak terjangkau kendaraan umum.
Maka wajarlah bila Pemerintah Kabupaten Sukabumi merasa berutang budi kepada guru-guru super ala Umar Bakrie ini. Akhir bulan silam, piagam penghargaan dan uang balas jasa Rp 1 juta diberikan kepada guru-guru yang begitu hebat menangani seluruh sekolah seorang diri. Selain Buchori, ada enam guru penerima penghargaan. Mereka adalah Tresna Sri Rahayu (SD Bojong, Desa Cicadas), Opan Supandi (SD Cimapag, Desa Sirnaresmi), Dedi Haryadi (guru tenaga kontrak kerja di SD Caringin, Desa Nangela), Achmad Rosyadi (SD Cibubuay, Desa Cibuntu), Supendi (SD Malangbong, Desa Nangela), dan E. Koswara (SD Cikawung, Desa Cidahu).
Buchori tentu gembira menerima penghargaan ini. Tapi, "Saya akan lebih senang jika diberi tenaga tambahan dua guru lagi untuk teman mengajar," katanya. Permohonan tenaga guru tambahan ini sebenarnya telah disampaikan kepada Dinas Pendidikan Sukabumi. Apa daya, sampai sekarang, permohonan itu belum juga berjawab.
Kepala Dinas Pendidikan Sukabumi, Sadili Samsudin, membenarkan bahwa saat ini daerahnya mengalami kekurangan guru dari segala tingkatan, mulai SD, SMP, hingga SMU. Tapi, dia menambahkan, "Kekurangan guru sekolah dasar yang paling parah." Akibatnya, ada banyak sekolah yang cuma ditangani seorang guru yang harus melakukan begitu banyak hal.
Sadili menambahkan, saat ini Sukabumi hanya memiliki 6.799 guru sekolah dasar yang berstatus pegawai negeri sipiljumlah yang jauh dari mencukupi untuk mengelola pendidikan di 1.167 sekolah dasar yang tersebar di seluruh Sukabumi. "Kami masih perlu 3.000 guru lagi," Sadili menjelaskan.
Lalu mengapa tak merekrut guru sebanyak-banyaknya? Sadili menjelaskan bahwa kebijakan mengangkat guru baru ada di tangan pemerintah pusat. "Kami tak bisa sembarangan mengangkat guru baru," kata Sadili. Bukan hanya soal kewenangan, Dinas Pendidikan Sukabumi pun tidak memiliki cukup anggaran. Walhasil, mengangkat guru baru menjadi suatu hal yang hampir muskil.
Tapi betulkah anggaran yang jadi soal? Agaknya ihwal ini mesti dikaji lebih jauh. Sebab, menurut sumber TEMPO, seorang pakar anggaran, dana yang mengalir ke Dinas Pendidikan Sukabumi cukup besar. Setidaknya ada dua proyek yang bisa menjadi sumber dana. Pertama: Proyek Pengembangan Lembaga Pinjaman Mutu Pendidikan (LPMP) senilai Rp 304,2 miliar. Kedua: Proyek Peningkatan Pendidikan Dasar Jawa Barat yang bernilai Rp 69,6 miliar. Nah, sumber tadi merasa heran bukan kepalang, "Kok, bisa dengan dana sebesar ini Sukabumi masih kekurangan guru SD?"
Suara lain muncul dari Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Iim Wasliman. "Tak ada dana sebesar itu," katanya. Menurut Iim, dana yang tersedia di kas Dinas Pendidikan Sukabumi cuma Rp 168 miliar. Dana ini pun tergolong cupet karena harus digunakan untuk memberikan beasiswa bagi siswa tak mampu dari tingkat SD sampai SMU. Sisanya, bila ada, digunakan untuk perbaikan sarana fisik gedung sekolah. Jadi, "Tak ada pos untuk pengadaan guru," kata Iim.
Keterangan pihak mana yang benar masih perlu diuji lebih jauh. Bagi Buchori, pencarian kebenaran ini tidak benar-benar mendesak. Buatnya, yang penting ada tambahan guru untuk membantunya mengajar. Bila dia tetap berkarier solo seperti kini, kerepotan yang luar biasa akan terus datang tanpa henti.
Buchori mengisahkan sebagian kerepotan itu. Berhubung tak mungkin hadir sekaligus dalam enam kelas yang berbeda, Buchori harus mengatur siasat. Lagi pula SDN Tipar hanya memiliki tiga ruang kelas. Dia pun mendayagunakan dua ruangan sebagai ruang kelas dan satu ruang lainnya sebagai ruangan guru.
Nah, di dua ruang kelas itulah Buchori mengajar 160 muridnya secara bergantian. Murid kelas 1 dan kelas 3 digabung di satu ruang dan belajar mulai pukul 8 sampai 10. Lantas, pada pukul 10-12, giliran murid kelas 2 dan kelas 4 yang masuk. Sementara itu, satu ruangan lain digunakan murid kelas 5 dan kelas 6 berbarengan mulai pukul 8 hingga tengah hari. Berhubung setiap kelas berisi murid dari tingkat berbeda, Buchori mesti pintar-pintar memisahkan materi pelajaran.
Sepanjang jam sekolah, Buchori terus mondar-mandir di antara kedua ruang kelas. "Bila saya sedang menerangkan sesuatu di kelas yang satu, murid kelas yang lain saya beri tugas," katanya.
Bagaimana bila ada kelas yang ribut? "Saya punya cara jitu," katanya. Ia langsung membuka buku matematika, pelajaran yang dianggap paling sulit di SDN Tipar. "Ampuh untuk meredam keributan di kelas," kata Buchori sambil tersenyum.
Kelabakan sendirian, kadang kala Buchori meminta bala bantuan untuk mengendalikan murid-muridnya. Mereka adalah Ujang Hadiani, si penjaga sekolah, dan Acep Andi, seorang warga Kampung Cipaok yang lulusan SMU. Ujang dan Acep inilah yang menggantikan Buchori jika dia berhalangan mengajar karena sakit. Tentu saja, sebagai bala bantuan, Ujang dan Acep hanya bisa berperan menyampaikan tugas yang materinya sudah disiapkan Buchori. "Itulah satu-satunya cara agar anak didik saya tetap mendapat bahan pelajaran setiap hari," kata Buchori.
Bagi Ujang, soal honor bukan masalah. Sebagai penjaga sekolah yang berstatus tenaga kerja kontrak, dia mendapat upah resmi dari pemerintah setempat Rp 250 ribu per bulan. Tapi lain soal bagi Acep Andi, yang sama sekali tak punya ikatan dengan sekolah. "Minta bantuan secara gratis pun tak mungkin," kata Buchori. Apa boleh buat, Buchori mesti merogoh koceknya sendiri Rp 100 ribu setiap bulan untuk balas jasa bantuan Acep. Padahal gaji Buchori tidak seberapa besar, hanya Rp 1,5 juta saban bulan.
Gaji Buchori yang tak seberapa itu pun digerus kebutuhan transportasi. Untuk mencapai sekolah dari rumahnya, yang terletak di Kampung Babakan Inpres, Desa Gunung Tanjung, Kecamatan Cisolok, Buchori harus menggunakan jasa ojek sepeda motor. Inilah satu-satunya kendaraan yang bisa memasuki kampung. Ongkos Rp 10 ribu mesti dibayar sekali jalan. Bila musim hujan, Buchori memang bisa lebih berhemat. Sebab, jalan menuju sekolahnya menjadi becek, licin, dan pengemudi ojek pun enggan mengantar penumpang. Terpaksalah dia harus berjalan kaki sejauh 8 kilometer pulang-pergi.
Ada lagi urusan yang harus ditangani Buchori. Sebagai guru tunggal yang juga mengurusi administrasi, Buchori wajib menyetor uang iuran siswaRp 1.000 per murid tiap bulanke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Cisolok. Tapi, persoalannya, sering kali orang tua siswa telat membayar atau malah tidak mampu membayar iuran. Walhasil, Buchori terpaksa menalangi kekurangan iuran langsung dari gajinya.
Dengan segala pengeluaran itu, kadang Buchori cuma mengantongi uang Rp 50 ribu untuk keluarganya. Untungnya, sang istri, Ratna Suminar, dan kedua anaknya cukup memaklumi keadaan dan pengabdian Buchori.
Ada saatnya Buchori mendapat libur ekstra. Ini terjadi ketika Cipaok sedang mengalami musim panen cengkeh. Para orang tua lebih suka bila anak-anak membantu memetik bunga cengkeh ketimbang harus bersekolah. Akibatnya, dua kelas Buchori pun kosong melompong. Tak ada yang menghiraukan Ujang yang tetap bersemangat memukul lonceng. Tinggallah serangkaian panggilan menggantung. Teng, teng, teng .
Rian Suryalibrata, Deden Abdul Aziz (Sukabumi), Bobby Gunawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo