Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiba-tiba, Kim Woo-choong jadi penganggur. Pendiri dan komisaris Daewoo Group yang selalu supersibuk itu—hingga lupa mengingat hari ulang tahun istri dan anaknya—jadi punya waktu senggang bermain dengan cucu-cucunya. Gara-gara badai krisis ekonomi menghantam Korea Selatan, dia kehilangan imperium bisnisnya.
Juli 1997, Daewoo Group karam terbelit utang US$ 80,4 miliar (sekitar Rp 723 triliun)—terbesar dalam sejarah tumbangnya perusahaan di dunia. Bekas loper koran itu harus melepas 275 anak usaha setelah utang Daewoo diambil alih pemerintah Korea pada Agustus 1999.
Kejatuhan Kim Woo-choong adalah bukti rapuhnya konglomerasi Korea. Dengan modal US$ 10 ribu, Daewoo mengawali sejarahnya dari usaha tekstil. Nasib baik menjemput setelah Park Chung-hee, Presiden Korea 1963-1979, meminta Daewoo membenahi industri berat milik negara yang kolaps pada 1976. Kim pun tidur tiap malam di pabrik dengan kasur kecil di masa-masa awal. Alumnus Universitas Yonsei itu akhirnya sukses mendulang profit dalam setahun.
Kim mengambil alih dan mengubah perusahaan itu menjadi pabrik pembuatan kapal. Industri otomotif, konstruksi, sekuritas, elektronik, dan telekomunikasi dia jajaki. Dia mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah untuk kredit bank dan sejumlah kemudahan lain. Daewoo pun melesat ke papan atas chaebol.
Tapi krisis ekonomi membuyarkan mimpi Kim. Akhir 1997, rasio utang terhadap modal Daewoo 472 persen. Daewoo meminta bantuan Presiden Kim Dae-jung agar mendapatkan kemudahan ekspor. Permintaannya ditolak. Kim Dae-jung mengatakan kebijakannya bukan buat Daewoo semata, melainkan untuk menyelamatkan seluruh Korea.
Kim Woo-choong kecewa. Ia meninggalkan Korea pada 1999, tinggal di Spanyol dan Italia. Pernah pula dia menetap di Sudan selama enam bulan. Paris, Khartoum, dan Bangkok dia kunjungi dengan nama ”Komisaris Kim”. Cina dan Vietnam bahkan masih menjamunya sebagai tamu kehormatan negara. Pendek kata, pria 71 tahun kelahiran Daegu itu tetap berupaya menyibukkan diri.
Kariernya kian suram setelah kreditor Korea menemukan British Finance Center (BFC) milik Daewoo punya beberapa rekening di London pada 2001. Dari rekening itu ditemukan dana US$ 20 miliar keluar-masuk selama 19 tahun. Masalahnya, BFC tidak tercantum dalam neraca keuangan Daewoo. Kim dituduh melakukan penipuan dan penggelapan duit. Juni 2005, ia kembali ke Korea dan langsung ditahan. Pengadilan Seoul menghukum dia 10 tahun penjara pada Mei tahun lalu. Ia didakwa melakukan penipuan US$ 43,4 miliar, meminjam uang secara ilegal US$ 10,3 miliar, dan melakukan penggelapan US$ 3,2 miliar.
Karier Kim boleh tamat. Tapi anak usahanya tetap kinclong. Salah satunya Daewoo Heavy Industry (DHI). Bergelut di bidang perkapalan, DHI gencar melakukan ekspor. Nilai tukar yang melonjak membuat perusahaan ini bergelimang dolar. ”Banyak klien memesan kapal tanpa ragu meskipun itu masa-masa sulit,” kata Ahn Ho-gyun, Kepala Tim Manajemen Bisnis Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering, kepada Tempo awal Juli lalu.
Satu tahun setelah pemerintah merestrukturisasi Daewoo, DHI bersama Heavy Machinery Division memisahkan diri dari Daewoo Group. Terdaftar di bursa saham Korea pada 2001, DHI mengubah namanya menjadi Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME) satu tahun kemudian.
Setelah itu, DSME makin berkibar. Lepas dari bayang-bayang Kim Woo-choong, DSME, yang berpusat di Teluk Okpo, Pulau Geoje, menjadi perusahaan pembuatan kapal nomor tiga di dunia—sempat nomor dua sebelum Samsung Heavy Industries menyalipnya dua tahun lalu.
Penjualannya tahun lalu melewati 5,4 triliun won (sekitar Rp 54 triliun). Laba bersihnya 58,7 miliar won (Rp 587 miliar). Tahun lalu, perusahaan ini memperoleh kontrak 48 kapal senilai US$ 11 miliar. Pesanan hingga Juni tahun ini sudah 57 kapal. ”Doknya terbesar nomor dua di dunia,” kata Seo Han-pil, karyawan DSME. Dok itu dapat membuat tujuh kapal sekaligus. Anda mau tahu jumlah beras yang mesti dimasak bagi 25 ribu karyawan perusahaan ini setiap hari? Tak kurang dari 5.150 kilogram.
Inilah mimpi jangka pendek yang hendak direngkuh DSME: mencapai penjualan hingga 15 triliun won (Rp 150 triliun) pada 2011.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo