Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Keajaiban dari Songdo

Krisis ekonomi membuat Korea membuka diri menjaring investasi asing. Kawasan ekonomi bebas berbasis teknologi tinggi menjadi mesin pertumbuhan baru.

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Telah 56 kali John B. Hynes III terbang ke Korea Selatan sepanjang enam tahun terakhir. Dari bandar udara internasional di Incheon, dia meneruskan perjalanan ke Songdo, 64 kilometer dari Seoul, ibu kota Negeri Ginseng. Tuan Hynes III adalah Presiden Gale International, raja properti Amerika Serikat yang tersohor. John, begitu dia biasa disebut, berasal dari trah paling terpandang di Cathtam, Massachusetts. Kakeknya bekas Wali Kota Boston. Selepas studinya di Universitas Harvard, John terjun ke bisnis dan sukses melaju ke puncak kariernya.

Tapi di Incheonlah John Hynes III kemudian menyerahkan jantung bisnisnya dan meraih puncak yang jauh lebih mendebarkan. Enam tahun lalu, dia datang ke Incheon. Kota itu belum ada apa-apanya—kecuali baru 25 persen area di Songdo yang direklamasi. Toh, sarafnya bergetar melihat wilayah itu: lokasi proyek dekat dari Bandara Internasional Incheon, yang volume kargonya nomor tiga di dunia; lalu lintas penumpangnya nomor sepuluh terpadat di dunia; perjalanan tiga setengah jam dari Incheon bisa menjangkau 51 kota dan lebih dari satu juta populasi dunia. Incheon juga dekat dengan Cina, negara yang tengah menyetir pertumbuhan ekonomi dunia.

John berpikir, inilah kesempatan seumur hidup terlibat pembangunan sebuah kota. Ia percaya pemerintah Korea serius menggenjot perekonomiannya. Dia memutuskan terjun ke New Songdo City, pusat bisnis internasional di kawasan Songdo, seluas 607 hektare. Tempo menemui John pada Juni lalu dan berkeliling menelusuri kota bisnis itu, yang telah disentuhnya selama enam tahun terakhir.

Memang belum rampung. Tapi aroma kemakmuran sudah tercium di mana-mana. Sekitar 60 gedung pencakar langit akan tegak di atas lahan hasil reklamasi Laut Kuning itu, dari perkantoran, tempat tinggal, sekolah, hotel, pusat kebudayaan, pusat belanja, museum, convention center, hingga pusat taman yang dilengkapi akuarium delapan lantai dan kanal menuju Laut Kuning.

Bila rampung, kawasan ini akan menjadi rumah baru bagi 65 ribu penduduk, dan 300 ribu orang akan bekerja di sana. Kawasan ini juga menerapkan teknologi ubiquitous city (U-city): catatan kesehatan, tempat tinggal, bisnis, pemerintahan, dan informasi utama lain dapat dibaca lewat komputer yang terpasang di rumah, jalan-jalan, dan gedung perkantoran. ”Ini proyek terbesar bagi perusahaan mana pun di dunia,” ujar John dengan mimik serius.

Dia bukan beromong kosong. Pembangunan pusat bisnis itu membutuhkan fulus US$ 25 miliar atau sekitar Rp 225 triliun. Untuk tahap pertama, 2.145 unit apartemen senilai US$ 1,1 miliar telah terjual habis dalam tempo tiga hari. Salah satu perusahaan properti terbesar di dunia itu terpaksa mengundi 60 ribu peminat yang antre selama penjualan. ”Tidak ada perusahaan besar di Amerika memperoleh duit sebesar itu dari proyek tempat tinggal,” katanya. ”Dan kami melakukannya di Korea.”

Sejak krisis ekonomi mendera satu dekade lalu, Korea terus berbenah. Salah satunya diwujudkan dengan membangun Songdo. Ide pembangunan pusat bisnis internasional ini digelontorkan pemerintah Kota Incheon sejak 1999. Posco E&C, anak perusahaan Posco—perusahaan baja pelat merah di Korea—yang semula menangani desain awal proyek. Namun pemerintah Kota Incheon menginginkan ada mitra asing terlibat.

Posco lalu mempekerjakan Jay Kim, konsultan independen. Tugasnya mencari rekan internasional buat Posco. Jay akhirnya terbang ke Amerika. ”Ia menemukan kami dari Internet,” kata John. ”Padahal ia tidak tahu sama sekali tentang kami sebelumnya.” Keduanya bertemu di Boston pada awal 2001.

Setelah menjelaskan proyek, Jay mengundang John datang ke Korea. Gale saat itu lagi mengerjakan proyek besar di Massachusetts. John akhirnya baru bisa terbang ke Korea pada Juni 2001. Selama di pesawat, dia membaca sejarah perang Korea, melihat foto-foto setelah perang. Kesimpulannya, hanya dalam dua generasi, Korea maju pesat. ”Korea tidak punya sumber daya alam,” kata John, ”tapi masyarakatnya terpelajar dan pekerja keras.”

l l l

Satu bulan setelah kunjungan pertama John, Gale menandatangani akad kerja sama (MOU) dengan Kota Incheon dan Posco E&C. Gale dan Posco membentuk perusahaan patungan pada Maret 2002. Gale mengantongi saham 71,1 persen, Posco memegang sisanya. Perusahaan itu bernama New Songdo City International Development. Kohn Pederson Fox, firma arsitek asal New York, ditunjuk membuat master plan.

Keputusan John tepat. Agustus 2003, Korea menetapkan tiga wilayah di Incheon sebagai kawasan ekonomi bebas: Songdo, Yeongjong, dan Cheongna. Yeongjong, tempat Bandara Internasional Incheon berada, diarahkan menjadi lokasi tetirah dan logistik. Cheongna dijadikan pusat keuangan internasional.

Adapun Songdo tak hanya ditujukan sebagai pusat bisnis internasional. Proyek yang tengah digarap Gale itu akan berdampingan dengan kompleks bioteknologi, pusat riset dan pengembangan teknologi informasi, Incheon Tower setinggi 151 lantai, dan Universitas Yonsei. Jembatan sepanjang 12,34 kilometer, dengan biaya US$ 1,5 miliar, juga tengah dibangun membelah Laut Kuning menghubungkan Yeongjong dan Songdo.

Kawasan itu tentu saja dibungkus dengan berbagai insentif dan pelayanan satu atap untuk menarik investasi asing. Yang membedakannya dengan kawasan ekonomi bebas di negara lain, Incheon akan menjadi kawasan berbasis teknologi tinggi serta pusat riset dan pengembangan. ”Incheon akan lebih berfokus pada kreasi ketimbang berbasis produksi,” kata Heekyung Jo-min, Direktur Jenderal Promosi Investasi Otoritas Kawasan Ekonomi Bebas Incheon, kepada Tempo akhir Juni lalu.

Beberapa waktu setelah krisis ekonomi besar 1997, Korea giat memburu investasi langsung dari pemodal asing (foreign direct investment). Salah satu caranya lewat kawasan ekonomi bebas. Korea juga menetapkan Busan dan Gwangyang sebagai kawasan serupa. Tiga kawasan ekonomi bebas itu diharapkan menjadi mesin pertumbuhan baru bagi ekonomi Korea.

Langkah ini sungguh kontras dibanding sebelum krisis. ”Korea pada era 1970-1980 amat skeptis terhadap investasi langsung pemodal asing,” kata Kwon Tae-kyun, Deputi Menteri Kawasan Ekonomi Bebas Kementerian Keuangan dan Ekonomi Korea. Tapi badai ekonomi 1997 mengubah pandangan para pengusaha tentang pendanaan asing.

l l l

PARA pengusaha terbuka matanya setelah Korea sempoyongan dihantam krisis satu dekade lalu. Periode paling kelam adalah sejak Juni 1997 hingga Desember 1998. Di masa itulah nilai tukar won terhadap dolar terjun bebas dari 888,10 menjadi 1.964. Indeks saham di lantai bursa terkapar dari 765,20 menjadi 280. Situasi diperparah oleh utang luar negeri yang menembus US$ 150 miliar—dengan utang jangka pendek US$ 63,9 miliar.

Utang yang menjepit Korea itu sebagian besar dimiliki chaebol—sebutan bagi konglomerat Korea yang dikendalikan keluarga. Rata-rata rasio utang terhadap modal dari 30 chaebol mencelat hingga 519 persen. Para chaebol pun dituding mengantarkan keterpurukan Korea. Kita ingat, Indonesia mengalami kasus serupa di masa krisis besar dulu. Menjelang akhir 1997, utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 140 miliar (Rp 350 triliun dengan kurs Rp 2.500 per dolar AS). Dari angka itu, US$ 82 miliar utang luar negeri dimiliki oleh para konglomerat—dengan utang jangka pendek US$ 33 miliar.

Situasi bertambah runyam karena kini masyarakat Indonesia ikut menanggung beban utang saat krisis Rp 650 triliun, yang sebagian besar disebabkan oleh kredit macet para taipan ke perbankan nasional. Ini yang membedakannya dengan Korea.

Keberadaan chaebol di Korea memang unik. Mereka dipuji sekaligus dicaci-maki. Mereka adalah roh pertumbuhan ekonomi Negeri Ginseng, terutama pada era 1960-1980. Dengan dukungan dan proteksi pemerintah, chaebol memperoleh akses monopoli. Mereka mendapatkan kemudahan pinjaman bank, bunga rendah, dan keringanan pajak. ”Bila chaebol tidak bisa membayar utangnya, dalam situasi normal, pemerintah yang menangani,” kata Yoo Jang-hee, profesor ekonomi di Ehwa Womans University, Seoul. Perlakuan istimewa dari pemerintah itu berhasil menggeber rata-rata pertumbuhan ekonomi selama 40 tahun di angka 8 persen. Tapi struktur ekonomi yang digerakkan chaebol seperti impoten menghadapi krisis ekonomi.

Cadangan devisa melorot dari US$ 33,3 miliar menjadi US$ 3,87 miliar. Angka pengangguran melejit dari 2,1 persen ke 8,6 persen. Pertumbuhan ekonomi turun dari 7 persen ke minus 5,8 persen. ”Saya seperti terperangkap di dalam neraka,” kata Kwon, yang saat itu menjadi Direktur Pinjaman Luar Negeri Korea. Kwon tak berlebihan. Petugas kepabeanan di Busan, Kim Dong-woo, ingat betul betapa ”harga barang-barang naik hingga 50-100 persen”.

Korea akhirnya menerima uluran tangan Dana Moneter Internasional (IMF). Kim Dae-jung, yang terpilih menjadi Presiden Korea pada Desember 1997, segera bekerja. ”Saya harus melupakan dua bulan masa istirahat sebelum pelantikan,” kata Kim. Beberapa program IMF, seperti bunga pinjaman 30 persen per tahun dan kebijakan pengencangan ikat pinggang, ditolak Kim karena dianggap tidak cocok buat Korea. Untunglah IMF mau dibujuk untuk mengubah kebijakannya.

Kim lalu berusaha mewujudkan transparansi pasar ekonomi. Ia mereformasi sektor keuangan, konglomerasi, buruh, dan sektor publik. Januari 1998, Presiden Kim mengumpulkan lima chaebol terbesar—Hyundai, Samsung, Daewoo, LG, dan SK. Dia meminta chaebol tidak campur tangan lagi di dunia politik. Para chaebol—yang saat pemilihan presiden mendukung pesaing Kim—patuh. Mereka juga sepakat meningkatkan transparansi perusahaan, mengeliminasi garansi utang, mendongkrak struktur modal, dan berfokus pada kompetensi inti. ”Hubungan khusus chaebol dengan pemerintah tinggal sejarah,” kata Kwon.

Akhir 1999, rata-rata rasio utang terhadap modal 30 chaebol turun jadi 164 persen, dan kini tinggal 150 persen. Tak semua chaebol bertahan dari krisis. Hanbo bubar. Kia Motor dibeli Hyundai. Daewoo bangkrut pada 1999 dibelit utang US$ 80,4 miliar.

Di sektor keuangan, Korea First Bank dan Seoul Bank, yang rasio kecukupan modalnya kelojotan akibat kesalahan manajemen, akhirnya dijual ke investor asing dan domestik. Dua belas bank yang rasio kecukupan modalnya tak memenuhi kriteria masuk ”perawatan” Financial Supervisory Commission sebelum diakuisisi atau dimerger. ”Secara mengejutkan aliran modal asing menyelamatkan bank-bank besar,” kata Yoo. Kini, sepuluh besar bank Korea dijalankan oleh bank-bank asing, yang menguasai hampir 70 persen saham.

Kim Dae-jung juga merampingkan pemerintahan dan memprivatisasi sebelas perusahaan pelat merah agar mudah dikontrol. Berbagai usaha tadi, plus masuknya aliran modal asing, perubahan kepemilikan saham, serta pergantian CEO, telah menyelamatkan Korea. ”Perusahaan dan perbankan Korea cepat mengambil saran IMF dan cepat menjalankannya,” kata Yoo. Rakyat Korea pun berbondong-bondong menyumbangkan emas untuk menambah cadangan devisa negara. Hasilnya? Terkumpul US$ 2,2 miliar.

Korea juga memompa ekspornya. ”Semikonduktor, TFT-LCD, dan teknologi informasi memiliki kontribusi besar membawa Korea keluar dari krisis,” kata Chu Jeong-hwa, Manajer Kamar Dagang dan Industri Korea. Industri pembuatan kapal—industri berat yang dijalankan sejak era Presiden Park Chung-hee—kian berkibar. Kim Yong-rae, Direktur Divisi Otomobil dan Pembuatan Kapal Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi Korea, mengatakan 90 persen kapal yang dibuat saat itu diekspor ke luar negeri. Nilainya menembus US$ 10 miliar.

Seluruh upaya itu berhasil melecut pertumbuhan ekonomi Korea hingga 10,3 persen pada akhir 1999. Lantai bursa bergairah. Indeks sahamnya melejit jadi 984,5. Cadangan devisa mendekati US$ 74,1 miliar dan nilai tukar won terhadap dolar menguat jadi 1.145,4. Korea pun sukses membayar seluruh utang IMF senilai US$ 57 miliar pada Agustus 2001.

l l l

PERBEDAAN yang paling mencolok setelah Korea lolos dari lubang krisis adalah riuhnya investasi langsung asing. Aliran langsung modal asing ke Korea sungguh mencengangkan. Dari 1998 hingga 2006, ada investasi asing US$ 102,1 miliar—80 persen dari total investasi langsung pemodal asing yang diterima negeri itu sejak 1962. Tahun lalu, modal langsung asing yang masuk ke Korea US$ 11,2 miliar—bandingkan dengan 1996, yang hanya US$ 3,2 miliar. Uni Emirat Arab dan Cina juga sudah menyatakan komitmennya mencurahkan duit buat Incheon hingga 20 tahun.

Melimpahnya kapitalisasi asing itu membuat Korea bergairah. Tapi Negeri Ginseng itu sadar, bukan saatnya lagi memprimadonakan sektor manufaktur—industri yang menggerakkan ekspor negeri itu selama hampir empat dekade. Korea tak ingin dipusingkan oleh gejolak perburuhan. ”Kami kini berfokus di teknologi informasi, bioteknologi, dan kedokteran,” kata Kwon, peraih gelar master of business administration dari Universitas Virginia, Amerika. Salah satu yang sudah masuk ke Songdo adalah Celltrion. Perusahaan patungan antara VaxGen—perusahaan bioteknologi Amerika—dan KT&G itu sejak dua tahun lalu menghasilkan produk farmasi dan pengobatan baru bidang bioteknologi.

Kehadiran VaxGen menunjukkan bahwa Incheon mulai menyedot perhatian dunia. Selain VaxGen, IBM dan Hewlett-Packard sudah menyatakan minatnya berinvestasi. ”Tapi kami masih bernegosiasi untuk menentukan proyek yang akan mereka lakukan di sini,” kata Heekyung, yang pernah menjadi eksekutif Bank of New York.

Yang sudah pasti memindahkan kantor pusatnya ke New Songdo City adalah Posco E&C. Menurut Choong Moo-jang, Direktur Senior Songdo U-Life, langkah itu merupakan strategi agar mitra Posco banyak yang datang melihat Songdo. Tahun ini ada sepuluh perusahaan besar Korea yang menyatakan komitmennya berkantor di Songdo. Lima perusahaan multinasional Amerika juga sudah melirik New Songdo City. Jumlah perusahaan asing di Songdo diharapkan berlipat setiap tahun.

Satu dekade setelah krisis, Korea kian laju berlari. Di sudut-sudut gerbong subway, muda-mudi asik menonton program televisi lewat telepon selulernya. Jaringan Internet gratis menjamur di seantero Seoul. Jumlah pengguna Internet melebihi 30 juta penduduk. Pemakai ponsel ada 36 juta orang—sedangkan populasi Korea 49 juta.

Negara yang terbelah akibat Perang Korea 1950-1953 itu kini bertengger di urutan ke-12 jagat perekonomian dunia, dengan produk domestik bruto US$ 897,4 miliar (sekitar Rp 8.076,6 triliun). Cadangan devisanya dua tahun lalu US$ 210,4 miliar. Produksi kapal, layar TFT-LCD, dan DRAM—salah satu produk semikonduktornya—bertengger di urutan pertama dunia.

Berkat pencapaian itu, Goldman Sachs dua tahun lalu memasukkan Korea ke next eleven, kumpulan sebelas negara yang paling menjanjikan untuk investasi. Bahkan negara itu diprediksi akan menyamai ekonomi Inggris dan Prancis pada 2025. Di New Songdo City—yang ditargetkan kelar pada 2014—Korea bergegas menegakkan pilar-pilar impian kemakmuran itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus