Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMPUNG Melayu, Semarang, 4 Oktober 1934. Sekitar tiga lusin pemuda keturunan Arab berkumpul. Hawa demikian panasnya, sebagian dari mereka membuka jas. Satu-dua tampak menyandang pistol di pinggang. Perdebatan sedang berlangsung sengit. Semua menanti pihak mana yang menang dan memberikan pengaruh dalam konferensi.
”Banyak provokasi,” Suratmin menulis. Penulis biografi A.R. Baswedan terbitan tahun 1989 itu mengutipnya dari catatan Irsjady Haqiqy di harian Nusaputra, 30 Desember 1951. Itulah suasana konferensi Arab peranakan pertama yang berlangsung di Tanah Air. Dan A.R. Baswedan, saat itu 26 tahun, duduk di muka memimpin rapat.
Sehari sebelumnya, perkenalan dilakukan dengan canggung. Sebutan ”sayid” yang biasa digunakan untuk mereka yang dipercaya punya darah keturunan Nabi tak boleh dipakai. Aturan ini mesti ditaati dalam konferensi. Baswedan mencuri momen dengan menggunakan istilah ”saudara”, dan ”al-akh” dalam bahasa Arab, sebagai pengganti. Suasana mulai mencair. Setidaknya, satu penghalang berbau ”kasta” bisa dibereskan.
Tapi semua tetap berjaga-jaga bila pistol di pinggang itu tiba-tiba menyalak. Pasalnya, para peserta datang dari dua belah pihak yang lama bermusuhan: kelompok Al-Irsyad dan kelompok Arrabitah yang lebih tradisional. Mereka berasal dari kampung Arab di Surabaya, Semarang, Solo, Jakarta, dan Pekalongan.
Inti perdebatan mereka adalah pokok-pokok pikiran Baswedan—sebelumnya sudah berkali-kali muncul di harian Matahari tempat ia bekerja menjadi redaktur—yang harapannya akan mengecilkan jurang sengit di antara dua kelompok itu. Ada tiga poin penting, yakni mengakui Indonesia sebagai tanah air Arab peranakan; dan karena itu mereka harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi). Ini juga berarti mereka harus memenuhi kewajiban terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.
Ketika perdebatan kembali dimulai keesokan harinya, Haqiqy mencatat Baswedan mendapat sergahan dari banyak pihak, baik dari kalangan progresif maupun tradisional. Di antara mereka terdapat Moh. Abubakar Alatas, putra ketua pengurus Arrabitah Jakarta, A.R. Alaydrus, keluaran sekolah Paris, Gasim Shohab dari Pekalongan yang terkemuka dengan gerakan Ahmad Bahaswan yang berhaluan Al-Irsyad di Solo, dan Hasan Argubi, pemimpin komunitas Arab di Jakarta. ”Baswedan melayani segala debat,” Haqiqy menulis.
Besoknya, Baswedan boleh lega. Perdebatan kembali sengit, tapi tidak menyentuh tiga poin di atas. Berarti, lolos sudah! Tinggal urusan bentuk dan sifat organisasi, termasuk apakah golongan Arab totok boleh menjadi bagian. Keputusannya, mereka hanya boleh menjadi donatur, namun tidak mendapat hak suara. Tok, tok, tok..., lahirlah organisasi Persatuan Arab Indonesia.
Tiga poin itu kemudian disebut Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab.
Ketika A.R. Baswedan memulainya, PAI, akronim bagi perkumpulan itu, masih menggunakan kata ”persatuan” (Persatuan Arab Indonesia). Ini kemudian berubah pada 1940, ketika dalam kongres lustrumnya, nama PAI resmi berubah menjadi Partai Arab Indonesia.
Betapa tidak. Munculnya PAI pada 1934 menuruti semangat zaman, yang enam tahun sebelumnya menyaksikan pemuda Yamin, Sunario, dan Sugondo Djojopuspito mengikrarkan Sumpah Pemuda di Jakarta. Gelora memiliki tanah air satu, bangsa satu, dan bahasa satu tak hanya dimiliki mereka dari golongan pribumi, tapi juga menular ke para pemuda keturunan Arab yang dipimpin Baswedan.
Di sekitar kelahiran PAI suasananya sedang dingin. Pemerintah kolonial Belanda baru menghabisi gerakan nasionalisme yang tumbuh bak jamur di musim hujan. Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir baru beberapa bulan sebelumnya dibuang ke Boeven Digul. Partai mereka, Pendidikan Nasional Indonesia, digusur. Setahun sebelumnya, Soekarno dibuang ke Ende, Flores. Dua partainya, Partai Nasional Indonesia dan pecahannya, Partindo, dipaksa bubar.
Belajar dari pengalaman para pendahulunya itu, PAI bertahan sebagai kelompok pemersatu internal yang tak bersikap provokatif dan menghindar dari politik nonkooperasi. Konsentrasi diberikan pada konsolidasi internal: menjadikan diri sebagai wadah pemersatu komunitas Arab yang oleh pemerintah kolonial digolongkan sebagai ”Timur Jauh”, padahal kehadiran mereka di Nusantara terentang jauh hingga ke abad ke-8—jauh lebih dulu dari bangsa Eropa.
Sebelumnya, pada 1930, Indo Arabisch Verbond berdiri. Namun, menurut Hamid al-Gadri, kelompok pimpinan M.B. Alamudi ini gagal karena terlalu mengandalkan dukungan orang kaya (yang kebanyakan dari kelompok Arab totok), sehingga ”tak bisa melepaskan diri dari sistem sosial Hadramaut”.
Ketika PAI didirikan, Alamudi mendirikan kelompok tandingan, Indo Arabische Beweging. Sejarawan Belanda Jan Pluvier mencatat, IAB sungguh bertentangan dengan nasionalisme PAI. ”Dalam pidato pertamanya, Alamudi mengatakan bahwa nasionalisme adalah berbahaya dan bahwa gerakan nasional adalah tidak sehat,” katanya.
Dan seperti halnya melodi lagu Indonesia Raya yang disenandungkan W.R. Supratman pada Sumpah Pemuda 1928 di Jakarta mengisi benak para peserta, PAI pun punya mars persatuan. Dikarang oleh musisi Umar Barja yang berteman dengan Baswedan, bunyinya sungguh mengharukan: ”Hai Putra Arab di Indonesia! Bersatulah mencari bahagia, di dalam persatuan Arab Indonesia, teguhkan persatuan dia!”
Dalam lima tahun, melodi ini sudah mendengung di 45 cabang PAI di berbagai kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga ke Ternate. Pada 1939, PAI Istri berdiri, diketuai Nyonya Barkah, yang kemudian diperistri Baswedan.
Signifikansi PAI dalam politik nasional muncul pada 1937, ketika PAI, yang saat itu masih menggunakan kata ”persatuan”, ikut meneken Petitie-Soetardjo. Isinya permohonan kepada pemerintah kolonial agar kedudukan wakil Indonesia tak lagi sekadar di volksraad, dewan rakyat, namun sungguh-sungguh memiliki kursi sendiri di parlemen. Yang berinisiatif adalah A.S. Alatas, anggota volksraad yang juga penasihat PAI.
Meski ditolak Belanda, mereka yang mendukung Petitie-Soetardjo terus solid. Atas usul Mohammad Husni Thamrin, pemimpin Parindra dan anggota volksraad, berdirilah suatu induk pergerakan politik yang bernama Gabungan Politik Indonesia, disingkat Gapi. Tuntutannya agar orang Indonesia punya tempat di parlemen.
”Di seluruh Indonesia didirikan komite Indonesia Berparlemen. Komite-komite lokal selalu mengundang Gapi untuk mempromosikan gagasannya. Dan di antara orang Gapi selalu ada pemimpin PAI,” kata Hamid al-Gadri, dalam bukunya, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, 1988.
Gapi menemui jalan buntu. Permohonan itu ditolak Belanda, yang dalam beberapa bulan bertekuk lutut terhadap serbuan Jepang. PAI tak pernah lagi muncul karena setelah kemerdekaan anggota PAI melebur ke banyak partai. Sebagian besar, mengikuti jejak Baswedan, masuk ke Masyumi. Namun satu sukses terakhir yang mesti dicatat: keturunan Arab digolongkan sebagai warga Indonesia asli.
Empat puluh tahun berselang dari pendirian PAI, Haji Abdul Malik Karim Amrullah melayangkan surat terbuka kepada Baswedan, di majalah Panji Masyarakat miliknya. ”Arab Indonesia dibesarkan dengan gado-gado, bukan dengan mulukhia. Dengan durian, bukan dengan kurma. Dengan sejuknya hawa gunung, bukan dengan panasnya padang pasir! Mereka dihidupkan bukan di pinggir Dajlah dan Furat, tapi di pinggir Musi, Kapuas, Bengawan, dan Brantas. Lebih gurih minyak kelapa daripada minyak samin. Sebab itu jalan selamat bagimu di hari depanmu ialah meleburkan diri ke dalam bangsa ibumu. Tanah airmu ialah Indonesia!”
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo