Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRADISI politik yang akan dibangun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan layak ditiru. Sebelum maju ke kancah pemilihan presiden, Megawati Soekarnoputri akan mengumumkan susunan menteri kabinetnya—tentu kalau dia kelak memenangi pertarungan. Nama calon menteri itu akan dilansir akhir Januari tahun depan, sebelum pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Penyegaran ala Megawati ini fenomena menarik. Apalagi kalau benar kabinet versi partai banteng bermoncong putih itu didominasi kaum muda. Inti pesan Mega jelas: dia memberikan kesempatan yang lebih besar kepada muka baru yang menjanjikan. Dia memilih mereka yang bukan bagian masa lalu.
Langkah berani ini tak boleh terhenti sebatas di kabinet. Kalau hendak meniupkan angin perubahan, jangan tanggung-tanggung, harus dinisbahkan sampai ke pucuk pimpinan partai. Maka pencalonan Mega sebagai presiden mendatang tak usah dipatok sebagai harga mati. Meski diputuskan secara aklamasi—dengan gegap-gempita, diselingi teriakan histeris dan isak tangis pengikutnya tahun lalu—mestinya ketetapan itu bisa ditinjau kembali.
Mencalonkan kembali Mega for president memang masuk akal dalam jangka pendek ini. Semua lembaga survei menyimpulkan: Megalah penantang paling kuat bagi Susilo Bambang Yudhoyono, yang sudah menyatakan akan maju lagi. Namun partai nasionalis yang punya basis massa besar itu mesti berpikir jangka panjang. Mega sudah pernah menjajal SBY, hasilnya pun sudah diketahui. Partai itu perlu figur baru, harapan baru. Bukankah sikap bulat untuk terus menggadang-gadang Mega ini justru pernah berakhir buruk. Sejumlah tokoh terkemuka partai check out, lalu mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan.
Peran sebagai figur sentral tetap bisa dimainkan Mega tanpa harus bertarung kembali dalam pemilihan presiden. Ia bisa menjalankan tugas khusus ini dari balik layar, sebagai queen maker, yang melakukan tut wuri handayani; memberikan tauladan dari garda belakang. Urusan pencalonan orang nomor satu di Republik berikan saja kepada para kader atau figur di luar partai yang, bolehlah, dia restui. Tentu ada sederet nama kinclong, baik di dalam maupun di luar partai, yang tak diragukan integritasnya.
Mitos tak ada calon lain sebagai pengganti harus diruntuhkan. Momentum kali ini sebaiknya dimanfaatkan untuk menampilkan calon alternatif—mumpung masih ada waktu. Kandidat debutan baru nanti tak perlu keder. Toh, mereka tak akan dibenturkan dengan nama besar sang Ketua Umum. Agar lebih mantap dan menumbuhkan rasa percaya diri, kalau perlu, Mega mendeklarasikan dukungannya terhadap kandidat baru ini.
Mencalonkan kembali Mega mungkin malah menjadi kelemahan. PDI Perjuangan pernah suram dalam Pemilihan Umum 2004. Suara partai peduli wong cilik ini merosot jauh menjadi 18 persen—bandingkan dengan pemilu sebelumnya, yang sukses meraih 33,74 persen. Mereka menjadi runner-up di bawah Partai Golkar, yang meraup 21 persen suara. Hasil buruk ini jelas berkaitan dengan kinerja Megawati ketika ia berkuasa. Fakta ini diperkuat oleh kekalahannya dalam pemilu presiden melawan SBY, walaupun ketika itu Mega merupakan incumbent.
Jadi, sudahlah. Rasanya berat bagi Mega untuk bisa menampilkan diri sebagai sang penantang. Modal memimpin partai oposisi saja belum cukup. Melawan rezim yang kini berkuasa juga tak cukup lewat retorika. Yang susah justru mengubah cara pandang masyarakat terhadap sosok yang pernah berkuasa, lalu dijauhi pemilih dalam pemilu, dan akhirnya kalah. Pemilihan presiden merupakan umpan balik konstituen terhadap seorang pemimpin. Jika dia pernah kalah dalam pemilu, apalagi ketika sedang berkuasa, dia harus berpikir seribu kali untuk kembali.
Sebab itulah alangkah baiknya jika Mega bersikap legowo. Ia tak usah memforsir diri untuk terus maju, tapi cukup mendukung kandidat baru dari partainya. Calon alternatif yang didukung partai sebesar PDI Perjuangan pasti menjadi kuda hitam, dan siapa tahu bisa membuat kejutan. Kalah atau menang, itu tergantung rakyat. Bukankah Mega pernah berujar ”yang penting negara selamat” ketimbang harus berebut menjadi nomor satu.
Mega dan sekelompok nasionalis sudah membangun partai itu sampai sosoknya sekarang. Kini saatnya memilih orang-orang potensial untuk meneruskan perbaikan partai. Tidak perlu lagi merunut garis ”darah biru” dalam kaderisasi, sebab PDI Perjuangan sudah menjadi milik orang banyak, bukan hanya keluarga Bung Karno. Satu dari orang-orang potensial itu mestinya ditahbiskan melawan SBY.
Mampukah Mega melakukannya? Itu tergantung seberapa besar kebesaran hati dan kenegarawanan yang ia miliki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo