Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA harga minyak dunia terus turun, semestinya pemerintah Indonesia mengikuti tren penurunan itu. Akhir pekan lalu harga minyak dunia sudah US$ 40 per barel, tahun depan diperkirakan US$ 60-70. Walaupun harga minyak dunia sudah merosot separuh lebih dari level sebelumnya, pemerintah belum menurunkan harga dalam negeri secara signifikan.
Pemerintah baru sekali menurunkan harga premium, dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500, pada awal Desember lalu. Pemerintah terkesan kurang responsif dibandingkan dengan negeri tetangga. Malaysia telah enam kali menurunkan harga bensin setahun terakhir ini. Terakhir kali, harga bensin beroktan 92 yang kualitasnya setara dengan Pertamax produksi Pertamina cuma dipatok 1,8 ringgit alias Rp 5.540 per liter.
Kalau harga bensin dan solar turun, syukur-syukur diikuti penurunan tarif dasar listrik, hal itu merupakan stimulus untuk mendorong ekonomi rakyat yang lesu akibat krisis ekonomi global. Mereka yang bergerak di bidang usaha kecil, nelayan, dan sektor nonformal seperti pedagang keliling setidaknya akan berkurang bebannya dengan penurunan harga bahan bakar.
Kita tahu kelompok ini menyerap banyak tenaga kerja. Dengan begitu, menggeliatnya usaha kecil dan sektor nonformal sedikit-banyak bisa membantu mengurangi angka pengangguran akibat gelombang pemutusan hubungan kerja yang melanda berbagai industri. Daya beli masyarakat diharapkan juga meningkat.
Pemerintah jangan khawatir timbul disparitas harga dengan negeri tetangga yang biasanya memicu penyelundupan bahan bakar. Bukan hanya Malaysia yang menetapkan harga minyak lebih murah daripada Indonesia. Filipina dan Thailand pun sudah menurunkan harga minyak dalam negerinya.
Tak perlu pula risau penurunan harga minyak akan diserang sebagai kebijakan untuk mengambil hati rakyat menjelang pemilihan umum. Secara rasional, dilihat dari berbagai segi, turunnya harga minyak merupakan sebuah keniscayaan. Maka, kalau benar pemerintah berniat kembali menurunkan harga pada Januari mendatang, niat itu harus diwujudkan. Penurunan itu diharapkan cukup signifikan.
Dengan memperhitungkan harga minyak pada tahun depan di level US$ 60-70 per barel dan kurs rupiah di kisaran 10 ribu per dolar, harga minyak paling tinggi mestinya hanya Rp 5.000 per liter. Harga itu sudah diperhitungkan dengan pajak dan margin distribusi Pertamina.
Bisa saja harga ditekan lebih rendah bila pemerintah mampu mengkombinasikan pasokan minyak dengan bahan bakar nabati. Saat ini, lantaran merosotnya harga komoditas di pasar dunia, tersedia pasokan sawit dalam jumlah besar dan harga murah di dalam negeri.
Pada dasarnya konsumen di Indonesia perlu dibiasakan membayar bahan bakar sesuai dengan harga dunia. Apalagi kita tahu kelompok warga yang mampu justru paling untung dengan pemberian subsidi harga bahan bakar. Lagi pula pengaturan subsidi selama ini membuat pergerakan harga minyak dalam negeri tidak fleksibel.
Dalam masa transisi, seandainya subsidi tak bisa dihilangkan seratus persen, saran dari ekonom Raden Pardede mungkin perlu didengar. Berikan saja subsidi misalnya Rp 500 per liter. Jika harga minyak dunia naik atau turun, harga dalam negeri bisa luwes mengikutinya.
Di negara lain, pola seperti itu membuat perilaku masyarakat dalam menggunakan bahan bakar minyak berubah. Bila harga minyak tinggi, mereka lebih berhemat dengan mengurangi perjalanan. Bila di negara lain pola ini dapat dijalankan, tak ada alasan warga kita tak mampu melaksanakan hal serupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo