Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERKENALAN A.R. Baswedan dan Liem Koen Hian terjadi dalam suatu pertandingan sepak bola di Surabaya, pada 1932. Saat itu Liem merupakan Pemimpin Redaksi Sin Tit Po, harian peranakan Tionghoa yang pro-Indonesia. Di sela-sela pertandingan bola yang riuh-rendah itu, Liem menawarkan pekerjaan kepada Baswedan: menjadi redaktur. Dan itulah sebuah berkah yang selalu disyukuri Baswedan, seperti tertulis dalam catatan bertarikh 1939.
”Sekiranya hanya diterima sebagai voluntair, tidak bergaji sama sekali, sungguh dengan senang hati saya terima, asal bisa duduk di dekat Engko Koen Hian buat belajar jurnalistik lebih jauh. Ia jurnalis ulung…,” begitu kenang A.R. Baswedan. Sosok Liem yang tinggi besar dan peramah itu menjadi idolanya. Ketika Liem hengkang dari Sin Tit Po, Baswedan pun mengikuti jejaknya. Siapakah sosok yang satu ini?
Liem Koen Hian lahir di Banjarmasin pada 1896. Meski ia berasal dari peranakan Tionghoa, orang tuanya hanyalah pedagang kecil. Liem cilik menempuh pendidikan di ELS, sekolah dasar Belanda. Awalnya ia bekerja sebagai juru tulis di perusahaan minyak Inggris, Shell. Kemudian ia bekerja di harian Penimbangan, dan dari situlah ia mengawali kariernya yang panjang dalam dunia jurnalistik.
Pada 1914, ia hijrah ke Surabaya dan bekerja pada harian Tjhoen Tjhioe dan Soo Lim Po. Minat dan jiwa petualangannya membuat dia sering berpindah tempat. Pada 1918, Liem pindah ke Aceh, kemudian ke Padang, sebagai redaktur Sinar Sumatra. Petualangannya di Sumatera berakhir saat ia mendapat tawaran memimpin Pewarta Surabaya pada 1921. Menginjak tahun 1925, ia bergabung dengan Suara Publik, yang juga terbit di Surabaya.
Leo Suryadinata, sinolog yang kini menetap di Singapura, menyebutkan pada periode itulah Liem mengembangkan visi kewarganegaraan Indonesia—visi yang kemudian mendorong Liem dan beberapa peranakan Tionghoa mendirikan Partai Tionghoa Indonesia pada 1932. Jejak Liem susah terlacak sekarang. Tapi Siauw Tiong Djin—putra Siauw Giok Tjan, sahabat Liem—banyak mendengar soal tokoh yang satu ini. ”Liem tegas mendukung Indonesia sebagai tanah air keturunan Tionghoa,” ungkap Tiong Djin.
Liem jurnalis andal dan punya kepemimpinan yang tinggi. Ia tercatat memimpin berbagai surat kabar Tionghoa peranakan pro-Indonesia merdeka, semacam Sin Tit Po dan Kong Hoa Po. Sebelum memutuskan kembali ke Sin Tit Po pada 1939, Liem sempat pindah ke Jakarta untuk meneruskan studinya di sekolah hukum (1933-1935), di Rechts Hoogereschool. ”Setahu saya, beliau tidak lulus,” kata Tiong Djin.
Pada awal 1940-an, Liem aktif dalam pergerakan anti-Jepang bersama tokoh-tokoh nasionalis nonkooperatif, seperti Amir Sjarifoeddin. Liem beserta keluarganya bahkan pernah mengungsi ke rumah Baswedan di Solo untuk menghindari penangkapan tentara Jepang. Dinginnya bui pun akhirnya ia rasakan pada masa pendudukan Jepang.
Anehnya, ia tak mendekam lama di penjara. Setelah itu, sikapnya terhadap Jepang berubah. Bahkan ia diangkat sebagai kepala urusan Tionghoa di konsulat Jepang di Jakarta. ”Alasan perubahan sikapnya hingga kini masih simpang-siur,” ungkap sejarawan minoritas Tionghoa, Mona Lohanda.
Menjelang kemerdekaan pada 1945, Liem Koen Hian didapuk Bung Karno sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada rapat inilah Liem menjadi orang pertama yang memasukkan kemerdekaan pers dalam konstitusi. Bunyi Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945—dengan lisan dan tulisan—merupakan sumbangan Liem bagi Indonesia.
Pascakemerdekaan, geliat Liem dalam politik mengendur. Setelah ia menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia untuk perundingan Renville pada 1947, aktivitas politiknya tak terdengar lagi. Menurut Tiong Djin, ia membuka sebuah apotek di daerah Tanah Abang, Jakarta, dan Medan. ”Usahanya tak berjalan baik. Maklum, ia tak berjiwa pedagang,” kata Tiong Djin.
Namanya kembali menjadi perbincangan saat ia menolak kewarganegaraan Indonesia. Tentu saja sikap itu menjadi buah bibir di kalangan Tionghoa peranakan. ”Ia kan selama ini dikenal sebagai bapak asimilasi politik Tionghoa. Menjadi warga negara Indonesia menjadi impiannya sejak dulu,” Tiong Djin menambahkan.
Ketika pemerintah Sukiman (1951-1952) melancarkan pembersihan terhadap tokoh-tokoh komunis, Liem ikut ditangkap. Ia dianggap simpatisan komunis. Pemerintah Sukiman saat itu memang gencar menangkapi orang komunis demi memperoleh dukungan dari Amerika Serikat. Dukungan negara adidaya itu sangat berarti untuk menghadapi Belanda. Liem ditangkap di rumah sahabatnya, Siauw Giok Tjan. Semula, Liem meminta tolong Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo melalui anaknya. Ahmad merupakan kawan lama Liem. Tapi pertolongan tak diperoleh. Sang anak justru diusir.
Liem merasa terpukul dan meradang. Setelah bebas, ia memutuskan tidak menjadi warga negara Indonesia—tanah air yang selama ini juga ia perjuangkan. Ia wafat di Medan pada 1952 sebagai orang asing. Para sejarawan, seperti Leo Suryadinata dan Mona Lohanda, mengalami kesulitan untuk melacak keberadaan makam ataupun keluarga Liem sekarang. Tiong Djin hanya ingat istri Liem adalah warga Belanda. Samhari Baswedan, putra bungsu A.R. Baswedan, pernah bertemu dengan putri Liem pada 1983. Saat itu putri Liem tinggal di Jalan Salemba Tengah, Jakarta. Namun hingga kini tak ada lagi kabar dari mereka.
Sita Planasari Aquadini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo