Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika publik gencar menyorot kasus Marcella-Ananda-Agung, bukan berarti kita gemar sensasi. Bukan pula karena kita sedang menyuburkan sisi purba manusia—yang ingin tahu siksaan seksual macam apa gerangan yang terjadi. Tapi kita ingin tahu, apa yang akan dilakukan polisi menghadapi kasus dengan informasi simpang-siur begini.
Kita tak berilusi kepolisian Indonesia memiliki laboratorium yang canggih dan tim forensik dengan ketelitian luar biasa seperti dalam serial Crime Scene Investigation (CSI). Tapi dengan sumber daya manusia dan fasilitas forensik seadanya itulah polisi kita mendapat ujian.
Awalnya adalah persoalan kontrak antara Marcella Zalianty, aktris/produser, dan Agung Setiawan, desainer interior. Agung dikontrak membuat interior kantor Marcella, PT Kreasi Anak Bangsa, senilai Rp 200 juta. Ternyata Marcella tidak puas dan membeli sendiri perlengkapan desain seharga Rp 30 juta. Maka terjadi perjanjian berikutnya: Agung harus mengembalikan duit Rp 30 juta dengan tenggat akhir Desember.
Yang terjadi, menurut pihak Agung, juga bukti rekaman CCTV, dua pekan silam, Agung dicokok tiga anak buah Marcella, kemudian dibawa ke sebuah hotel. Menurut pengakuan Agung, dia dianiaya dan diperlakukan tak senonoh. Perlakuan ini, jika memang terbukti, demikian purbanya hingga sulit dibayangkan. Sulit diterima akal sehat karena sudah tak memiliki sense of decency, rasa kewajaran dan kemanusiaan. Tapi benarkah itu terjadi?
Babak selanjutnya, Agung dibawa ke kantor Marcella. Di situlah abang-adik pembalap terkemuka Ananda Mikola dan Moreno Soeprapto berkunjung dan bertemu dengan Agung. Pihak Agung mengatakan Ananda memukul dan menendang. Pihak Ananda berkukuh mengatakan dia hanya bertemu belaka. Sampai saat ini, polisi menetapkan Ananda Mikola, Marcella Zalianty, Sergio (adik Marcella), dan tiga anak buah Marcella sebagai tersangka. Ananda dan para karyawan Marcella dijerat pasal pemaksaan kehendak dan penculikan seperti diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sedangkan Marcella antara lain dituduh merampas kemerdekaan seseorang dan menyandera.
Dalam dunia CSI, kesaksian cenderung tidak dipedulikan. Manusia memiliki kemampuan berbohong. Tapi bukti tak bisa berbohong. Sejauh ini polisi menggunakan bukti CCTV dan telepon seluler Marcella. Alat bukti itu diharapkan bisa menjawab pertanyaan penting: apa peran masing-masing tersangka itu? Benarkah Marcella mengetahui peristiwa malam itu?
Selama ini premanisme dan kekerasan sudah sering terjadi di antara masyarakat: dari soal urusan utang-piutang hingga urusan harga diri. Tapi pengungkapan oleh polisi sering berhenti di tengah jalan. Itu sebabnya sejumlah nama beken di negeri ini seolah tak tersentuh. Mereka menjadi mitos sebagai sosok yang bisa menghajar siapa saja tanpa peduli hukum.
Kini, dengan peristiwa Marcella-Ananda-Agung, meski masih harus dicari tambahan buktinya, polisi ditantang mampu melakukan investigasi yang teliti, bersih, tanpa terganggu pendapat media dan masyarakat umum. Rekam jejak pihak-pihak yang terlibat adalah satu hal yang boleh saja menjadi catatan tersendiri, tapi tidak boleh mempengaruhi investigasi ini.
Jika memang semua tuduhan terbukti, polisi tak boleh membeda-bedakan apakah pelakunya seorang pejabat, pengusaha, olahragawan, artis terkenal, atau anak petinggi terhormat. Hukum harus ditegakkan. Itulah sebabnya semua mata tengah menatap polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo