Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bletak! Lelaki itu terhuyung, jatuh terduduk, berlutut di lantai. Sebuah boneka baru saja menghantam perut lelaki berjubah putih itu, hantaman yang ditandai entakan kendang mengejutkan. Kini ia berteriak. Wajahnya tertutup pupur putih, tapi sanggup memperlihatkan rasa sakit. Mengikuti tubuhnya yang berguncang, background kosong di belakang mulai berubah. Puluhan penis tiruan turun perlahan dari atap, menjuntai dengan ketinggian berbeda dari lantai panggung.
Demikianlah Cheng Ho dikebiri. Koreografer asal Surakarta, Bambang Besur Suryono, yang mementaskan Bedhaya Layar Cheng Ho Sabtu malam dua pekan lalu itu, seolah-olah memperlakukan pengebirian terhadap laksamana Cina abad ke-14 tersebut secara simbolis. Tapi itulah lukisan yang tak hanya berpijak pada imajinasi. "Biasanya penis mereka akan digantung dengan ketinggian yang berbeda-beda sesuai dengan pangkatnya. Jika pangkatnya tinggi, penisnya akan digantung tinggi juga," tutur Besur.
Cheng Ho dikebiri untuk menjadi kasim (abdi) Dinasti Ming pada usia 12 tahun. Ketika Dinasti Ming merebut Provinsi Yunnan dari kekuasaan Dinasti Yuan, putra kedua pasangan Ma Hazhi dan Wen ini ditawan bersama pemuda lainnya. Mereka dibawa ke Nanjing, dijadikan kasim. Tapi Cheng Ho ternyata anak istimewa. Dalam pemerintahan Kaisar Zhu Yunwen, Cheng Ho dipercayai melakukan pelayaran ke daerah lain. Ia singgah di 30 negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika dalam kurun waktu 28 tahun (1405-1433).
Tapi, di atas pentas, Thio Tiong Gie, dalang wayang potehi dari Kelenteng Sam Po Kong, Semarang, hanya menyinggung satu episode perjalanan Laksamana Cheng Ho: saat Cheng Ho singgah di Nusantara. Sang dalang tampil di bagian kedua, setelah bedaya, dalam bahasa Mandarin Hokkian. Di belakangnya, berdiri empat penari, Besur, Peter Sau Jia Liang, Koh Leng Leng, dan Themis Lin Pei Ann. Mereka bergerak, oleng, menggambarkan kehidupan laut. Tapi penonton pun tahu, titik sentral Bedhaya Layar Cheng Ho tetap kastrasi. Bagian ini diakhiri dengan simbol pengebirian: menumbuk medium boneka Kaisar Ming ke tubuh Cheng Ho.
Dan itulah sebuah puncak. Sekonyong-konyong, tiga penari, Peter Sau Jia Liang, Koh Leng Leng, dan Themis Lin Pei Ann, memutar haluan geraknya: berputar-putar, berteriak dalam bahasa Mandarin, dan meloncat menyentuh penis-penis yang bergantungan. Ada ekspresi kemarahan pada gerakan-gerakan mereka. Saat beberapa penis berjatuhan, lampu perlahan padam, dan pertunjukan berakhir di situ. Ada identitas yang terkoyak di mata Besur, Cheng Ho mengalami konflik identitas, dan itu ditampilkan lewat pergantian warna suara saat berteriak seusai dikebiri. Bagi Besur, itu juga pengebirian budaya Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru, sepanjang 30 tahun.
Ide awal Bedhaya Layar Cheng Ho muncul setelah Besur membaca naskah drama Cheng Ho karya Kuo Pao Kun, pendiri Theatre Training & Research Programme, Singapura. Lelaki kelahiran 1960 ini lalu memperkaya pengetahuan dengan buku Chinese Eunuchs karya Taisuke Mitamura, buku yang banyak mengisahkan kehidupan para kasim. Bedhaya Layar Cheng Ho merupakan ujian akhir pascasarjana Besur di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Surakarta. Saat ditampilkan di Istana Mangkunegara, koreografi ini berdurasi satu setengah jam. Dan koreografi ini dipangkas klimis, jadi 60 menit, dalam Indonesian Dance Festival VII itu. Ya, di luar pengebirian dan episode Semarang, sebenarnya karya itu juga menyentuh satu lagi keunikan Cheng Ho: beragama Islam. Dan untuk menggambarkan ini, Besur mengganti gerongan (tembang) dengan vokal bernada Islami. Sayang, tak cukup waktu untuk menampungnya.
Sebagai koreografer yang berangkat dari tari klasik Jawa, cukup masuk akal jika Besur membubuhkan porsi lebih pada bedaya. Bedaya yang telah dimodifikasi: cukup enam penari, tanpa ada yang menempati posisi pusat. Apa pun, pertunjukan ini menyulitkan siapa pun yang tidak membaca catatan produksi pertunjukan untuk menemukan jejak Cheng Ho. Di atas panggung, seolah tak ada konflik. Pergulatan batin Cheng Ho sebagai kasim tak cukup kuat dalam gerak. Tubuhnya hanya terus mengejang, ditingkahi teriakan terlalu dramatis. Di panggung, hanya terlihat kolase eksotisme Jawa dan orientalisme Cina.
Berbeda dari bedaya klasik, bedaya gaya Cina ini belum tampil liris di atas panggung. Tak aneh jika para penari terlihat bergerak dingin tanpa rasa. Visualisasinya indah, rapi, dan cantik, tapi bukankah itu baru sebatas persoalan bungkus?
F. Dewi Ria Utari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo