Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wawancara dengan sejarawan Bonnie Triyana tentang pameran revolusi Indonesia di Rijksmuseum.
Revolusi Indonesia bukan melulu tentang kekerasan.
Polemik tentang periode Bersiap.
BONNIE Triyana mengaku lega tuntutan hukum terhadap dirinya yang diajukan organisasi Indo, Federasi Hindia Belanda (FIN), digugurkan kejaksaan Belanda. Sudah lebih dari sebulan di Belanda terjadi polemik tentang apa yang dinamakan periode Bersiap. Polemik ini sendiri menimbulkan rasa ingin tahu orang terhadap pameran. Banyak pengunjung menghadiri pameran itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya adalah artikel Bonnie Triyana yang mempersoalkan istilah “Bersiap” di harian NRC Handelsblad. Dan kemudian terjadi pro-kontra. Banyak yang mencaci-maki dia. “Topik seperti ini patutnya didiskusikan dalam seminar, bukan di pengadilan,” tutur Bonnie. Bagaimana sesungguhnya pandangan Bonnie tentang “Bersiap”? Wartawan Tempo, Abdul Manan, Seno Joko Suyono, dan Iwan Kurniawan, mewawancarainya pada Selasa, 22 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana awal kontroversi periode Bersiap ini?
Saya selama empat tahun mempersiapkan pameran bersama Amir Sidharta, Harm Stevens, dan Marion Anker. Di dalam tim ada debat itu biasa. Pada sebuah diskusi, saya menolak kata “Bersiap” dijadikan salah satu judul utama pameran. “Bersiap” menurut saya ada masalah. Memang kalau kata “Bersiap” dijadikan judul penontonnya bisa lebih ramai. Tapi kami kan tidak dagang kelontong.
Dari riset yang saya lakukan, ternyata istilah kekerasan di Indonesia banyak. Di Jawa Tengah, dari studi Anton Lucas, ada istilah “dombreng” untuk revolusi sosial. Di Depok dan Tangerang ada “gedoran”. Di Banten dan Jawa Barat ada “ngeli”. “Bersiap” adalah istilah berdasarkan perspektif orang Belanda. Harus dicari judul lain yang bisa mengatasi perbedaan istilah. Saya mengusulkan kata “geweld” (kekerasan) jadi judul. Jadi saya bukan denial adanya pembunuhan terhadap orang Belanda-Indo di Indonesia, tapi saya cari kata lain supaya banyak perspektif terwakili di situ.
Kurator Belanda setuju dengan itu?
Manut. Ini kan rasional saja. Dan ide ini sudah berkali-kali saya sampaikan dalam diskusi. Pada 2020, tatkala ada pertemuan dengan Pusat Memorabilia Indies di Belanda dan Maluku Museum, saya menjelaskan bahwa pameran tidak akan menjadikan kata “Bersiap” sebagai judul besar. Mereka terima. Oktober tahun lalu saya terlibat expert meeting dengan 50 ahli Indonesia dari Belanda. Saya berpresentasi di depan mereka. Tidak ada yang keberatan.
Lalu kenapa FIN melaporkan Anda?
FIN sebetulnya kelompok kecil, tapi didukung sayap kanan. Kecil, tapi suaranya keras. Film De Oost saja dilaporkan mereka. Sesungguhnya ini kan masalah di level teknis. Dalam pameran segala hal yang menunjukkan kekerasan terhadap orang Belanda dan Indo tidak kita hilangkan. Hanya tidak memakai judul “Bersiap”.
Bagaimana ceritanya tulisan Anda dimuat di NRC?
Saya sering diminta redaksi NRC menulis artikel. Saya, misalnya, pernah menulis tentang Sukarno, Tan Malaka. Pada Januari lalu, saya mengirim tulisan mengenai “Bersiap”. Tulisan itu saya buat di Jakarta. Saya minta sebelum dimuat diperlihatkan dulu ke Rijksmuseum. Artikel saya lalu dikirim dulu ke museum, tapi museum tak sempat baca. Tatkala dimuat, judul dan “taicing” mereka bikin click bait, biar orang nyamber. Judul dari saya, “Istilah ‘Bersiap’ yang Problematis’, diganti redaksi dengan “Hapus Istilah ‘Bersiap’ karena Rasis”.
“Rasis” itu dari Anda atau redaktur NRC?
Dalam artikel, saya menjelaskan adanya tendensi rasisme dalam istilah “Bersiap”. Saya tidak bilang hapus kata “Bersiap”. Saya menduga judul itu yang membuat FIN marah.
Bagaimana reaksi Rijksmuseum?
Mereka panik karena dihantam sayap kanan. Ditambah politikus dari partai Geert Wilders, Marten Bosma, melayangkan enam pertanyaan kepada Menteri Pendidikan Belanda. Jadi ini ramai karena digoreng sayap kanan. Direktur Rijksmuseum bikin statemen ke publik istilah “Bersiap” tetap ada. Bisa dimengerti karena sebagai lembaga museum nomor satu dunia sejak dulu mereka tidak pernah dihantam isu macam-macam. Kalau orang protes beli lukisan mahal, ramainya paling sehari-dua hari. Seumur Rijksmuseum berdiri, baru kali ini dihajar gede-gedean selama satu bulan lebih.
Saat Anda di Belanda, apakah Rijksmuseum melindungi Anda?
Mereka nyiapin pengacara. Dan bagian kepala keamanan museum juga melapor ke polisi Amsterdam agar menyiapkan bodyguard. Mereka bilang, kalau saya merasa terancam, polisi Belanda siap memberikan perlindungan. Tapi saya menolak dikawal polisi Amsterdam. Saya yakin Belanda negara bebas. Orang bisa berpendapat bebas.
Omong-omong, Anda sendiri sudah lama mendengar istilah “Bersiap”?
Sebagai sejarawan, jujur saya juga baru belakangan tahu. Setiap kali bertemu dengan sumber-sumber di Belanda, mereka selalu ngomong soal periode Bersiap. Saya bingung. Ternyata istilah itu mereka ambil dari seruan para pemuda Indonesia pada 1945-an yang menakutkan bagi mereka. Dalam memori orang Belanda, seruan “bersiap” itu adalah saat di mana orang Indonesia ngamuk dan akan membunuhi warga Belanda dan Indo.
Kenapa istilah periode "Bersiap" dari Belanda Anda sebut bertendensi rasis?
Karena dalam pikiran Belanda "Bersiap" selalu dihubungkan dengan tiga kategori kelompok yang menjadi korban orang Indonesia. Pertama, Belanda kulit putih. Kedua, Indo Eropa dan blasteran. Ketiga, Cina, Manado, dan Ambon. Saya melihat pengkategorian tiga kelompok etnis itu berakar jauh ke era kolonial, di mana oleh Belanda bangunan masyarakat kita dihierarkikan secara diskriminatif. Pada 1854, misalnya, ada peraturan untuk orang Eropa kulit putih, Timur Asing (Cina, Arab), dan inlander. Padahal dalam perang kemerdekaan riset saya menemukan ada juga orang Cina yang berada di pihak kita, bahkan ditangkap Belanda. Jadi ini problematis. Dalam sejarah kita tidak dikenal kata “Bersiap” karena itu ingatan mereka. Ini memori selektif sebagian orang saja. Yang juga jadi persoalan, kalau mereka sebut kata “Bersiap”, itu sudah di-frame, tidak netral lagi. Pelakunya selalu dianggap orang Jawa.
Kenapa orang Jawa?
Karena sebagian besar (kasusnya) di Jawa. Paling besar di Surabaya. Dari hasil penelitian KITLV (Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia) dan lain-lain, korbannya 3.000-an. Tidak sampai 20-an ribu seperti yang pernah disebutkan beberapa ahli. Bahkan 1.000 di antaranya mati karena tua, sakit. Beberapa warga Ambon dan Manado yang menjadi tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) menjadi sasaran.
Adakah data kekerasan terhadap warga sipil yang dilakukan pihak Indonesia yang disajikan dalam pameran?
Ya, ada. Misalnya selembar foto keluarga Anna Sofia Uhlenbusch. Keluarga itu tinggal di kawasan pabrik gula Tegal. Mereka yang ada di dalam foto itu meninggal saat massa menyerbu pabrik gula pada Oktober 1945.
Secara umum jadi masih ada anggapan di Belanda revolusi 1945 adalah saat ketika orang Belanda, Indo, Cina, Manado, dan Ambon banyak dibunuh orang Indonesia?
Mereka selalu bilang kami ini korban kekerasan. Makanya sejarawan David van Reybrouck di radio Belgia bilang pengetahuan mereka tentang revolusi Indonesia ibarat memahami Revolusi Prancis hanyalah serbuan ke penjara Bastille. Karena itu, melalui pameran ini, yang hendak saya tekankan adalah revolusi di Indonesia lebih dari sekadar bunuh-bunuh orang. Revolusi Indonesia juga menciptakan banyak produk kebudayaan dan intelektual hebat. Sudjojono, Hendra Gunawan, Affandi, dan lain-lain membuat lukisan; Chairil Anwar menciptakan puisi; Usmar Ismail membikin film; Rosihan Anwar membikin koran; dan sebagainya. Revolusi Indonesia bukan melulu tentang kekerasan.
Ketika akhirnya pameran dibuka, apakah ada yang berubah?
Enggak. Cuma di teks ditambahi kata “dombreng”, “gedoran”, dan “bersiap”. Judulnya menjadi “Geweld”, kekerasan. Enggak ada yang dihapus.
Melihat kontroversi “Bersiap” ini, apa kira-kira manfaatnya bagi pameran?
Pertama, banyak perhatian. Kedua, sampai hari ini ada orang Belanda yang menulis tentang pameran. Benar-benar membuat perbincangan publik di sana. Jumlah pengunjung minggu pertama sudah 10 ribu lebih. Dalam sehari bisa 300 orang booking tiket. Buat sebuah pameran tentang Indonesia, itu sudah banyak sekali. Saya bercanda kepada teman-teman Rijksmuseum, kalian harus bayar royalti ke saya karena saya jadi marketing pameran. Saya tidak menyangka dilaporkan ke polisi dan menciptakan polemik sedahsyat ini. Sampai salah satu kurator, Harm Stevens, datang kepada saya mengatakan: "Betul, Bon, ternyata museum tidak bisa lepas dari politik.” Mereka berpikir sejarah itu apolitis. Saya bilang, enggak, lah. Museum itu bukan tempat netral, tapi tempat yang sangat politis.
Apakah cara Belanda mengadakan penelitian dan pameran tentang kekerasan 1945-1949 itu perlu diterapkan di Indonesia?
Harus. Saya berharap seperti itu. Bukan hanya dalam peristiwa 1945, tapi juga peristiwa 1965, misalnya. Tidak apa-apa penelitian tentang 1965 menghasilkan suatu kebenaran yang menyakitkan. Tapi ujungnya kita bisa paham. Kami sendiri berencana memboyong pameran di Rijksmuseum ini ke Indonesia tahun depan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo