Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Maaf dan Riwayat Penelitian

Hasil penelitian kekerasan ekstrem kolonialisme di Indonesia membuat PM Belanda Mark Rutte meminta maaf kepada Indonesia. Terlambat 70 tahun.

27 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hasil penelitian tentang kekerasan ekstrem Belanda pada masa perang kemerdekaan Indonesia.

  • Sebuah penelitian sejarah yang menarik banyak perhatian dan menimbulkan beragam reaksi.

  • Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf kepada Indonesia

BELUM pernah terjadi hasil sebuah penelitian sejarah marak diliput semua media Belanda berminggu-minggu sebelum terbit dan mengakibatkan Perdana Menteri (PM) Belanda meminta maaf kepada Indonesia. Atas kekerasan ekstrem yang dilakukan secara sistematis dan meluas oleh Belanda, dan diabaikan oleh kabinet-kabinet sebelumnya, saya atas nama pemerintah Belanda meminta maaf sedalam-dalamnya kepada bangsa Indonesia,” kata Perdana Menteri Mark Rutte pada Kamis, 17 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan Rutte merespons hasil penelitian berjudul “Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950” yang keluar pada malam sebelumnya. Itu hasil studi empat tahun Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH), serta Institut Belanda untuk Studi Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD). Gabungan lembaga ini menyimpulkan bahwa pemerintah dan pemimpin militer Belanda telah dengan sengaja membiarkan kekerasan ekstrem selama masa perang kemerdekaan Indonesia tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penelitian ini dimulai pada awal 2017. Pemerintah Belanda mengucurkan dana 4,1 juta euro untuk riset tersebut. Di luar penelitian itu, dalam beberapa tahun terakhir berbagai buku tentang kekerasan perang di Indonesia terbit. Dua buku yang paling penting adalah Soldaat in Indonesië (2015) dari Gert Oostindie dan De Brandende Kampongs van Generaal Spoor (2016) karya Remy Limpach. Terbitnya buku Limpach pada September 2016, yang merinci kekerasan ekstrem oleh militer Belanda di Indonesia, menjadi katalisator penelitian bersama KITLV, NIOD, dan NIMH.

Studi yang melibatkan puluhan peneliti Belanda dan internasional - termasuk Remy Limpach sendiri dan 12 sejarawan dari Indonesia yang dikoordinasi sejarawan UGM Abdul Wahid meyakini bahwa selama perang berlangsung, militer Belanda tak henti melakukan kekerasan ekstrem mulai dari eksekusi ekstrayudisial, penyerangan dan penyiksaan, penahanan dalam kondisi yang tak manusiawi. Kekejaman Belanda ini mencakup pembakaran rumah dan kampung, penjarahan dan perusakan barang berharga serta makanan milik penduduk, serangan udara dan pengeboman terus-menerus, juga penangkapan acak dan massal serta pemenjaraan.

Penelitian ini juga menyatakan semua hal tersebut bisa terjadi bukan hanya karena peran perangkat politik dan militer Belanda—dari atas sampai bawah—tapi juga lantaran “adanya dukungan penuh sebagian besar masyarakat Belanda”. Dua belas peneliti Indonesia masuk riset Studi Regional, satu dari delapan bagian penelitian ini. “Penelitian ini sebuah dobrakan untuk politik dan masyarakat Belanda,” ujar profesor emeritus antropologi budaya Universiteit Twente dan ahli Indonesia, Nico Schulte Nordholt, kepada Tempo.

•••

INFORMASI bahwa Belanda melakukan kekejaman besar di Indonesia sesungguhnya sudah dinyatakan secara sporadis di Belanda sejak 1969, tapi tidak pernah digubris oleh pemerintah Belanda. Salah satu pelopor penguak kebungkaman ini adalah bekas serdadu Belanda di Indonesia antara 1947 dan 1950, Joop Hueting. Dalam acara televisi malam Achter het Nieuws (Di Balik Berita), 17 Januari 1969, ia mengagetkan publik karena mengaku menyaksikan bagaimana kampung-kampung di Indonesia diberondong tembakan senjata dan tahanan disiksa tanpa kepentingan militer yang jelas. “Saya ikut melakukan kejahatan perang di sana, dan saya melihat kejahatan-kejahatan itu dilakukan,” katanya.

Tempo sempat berbincang dengan Joop Hueting, yang kemudian menjadi guru besar psikologi Vrije Universiteit Brussel, Belgia, setahun sebelum meninggal pada 2017. “Wawancara tersebut menggebrak masyarakat Belanda laksana ledakan bom,” tutur Hueting, yang berumur 19 tahun ketika dikirim ke Indonesia untuk memenuhi tugas wajib militer. “Saya dituduh sebagai pengkhianat, terutama oleh sesama veteran.”

Pemerintah Belanda sendiri bukannya tidak mengetahui tindak-tanduk brutal militer mereka selama masa perang kemerdekaan Indonesia. Pada Oktober 1949, pemerintah Belanda sudah menugasi dua ahli hukum, C. van Rij dan W.H.J. Stam, untuk menyelidiki kekerasan militer di Indonesia. Van Rij dan Stam menulis laporan yang cukup kritis, termasuk tentang kekejian Kapten Raymond Westerling dan satuan khususnya di Sulawesi Selatan sejak Desember 1946. Namun laporan yang diserahkan kepada pemerintah pada 1954 ini tidak pernah dipublikasikan.

Adapun setelah wawancara Joop Hueting di televisi pada 1969 itu, pemerintah Belanda menugasi ahli hukum dan sejarah Cees Fasseur meneliti kembali periode 1945-1950 di Indonesia. Walhasil, pada 1969 keluar “Excessennota”, laporan yang mendaftar kasus kekerasan di luar batas yang dilakukan tentara Belanda. Tapi laporan tersebut menyimpulkan bahwa kekerasan yang dilakukan militer Belanda pada 1945-1949 tidak terjadi secara struktural, berlawanan dengan apa yang diungkapkan Hueting. Sampai sekarang “Excessennota” adalah satu-satunya laporan penelitian resmi yang dirampungkan pemerintah Belanda mengenai topik ini.

Pada 2011, terjadi sesuatu yang mengungkap tabir sejarah ini lebih jauh: pengadilan di Den Haag memenangkan tuntutan tujuh janda dari Desa Rawagede (sekarang Balongsari), Jawa Barat, tempat tentara Belanda membantai lebih dari 400 laki-laki dan anak-anak pada 1947 dengan dalih mencari para “ekstremis”. Tuntutan ini berhasil berkat perjuangan Jeffry Pondaag dan yayasannya, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), yang bertahun-tahun gigih memperjuangkan hak korban penjajahan kolonial Belanda, termasuk korban Westerling di Sulawesi Selatan.

Satu hal yang penting dalam kasus ini, kata guru besar emeritus sejarah Universiteit Leiden, Henk Schulte Nordholt, adalah pemerintah Belanda sebagai terdakwa tidak mengajukan permintaan banding. “Pemerintah tidak naik banding, dan ini menunjukkan celah dalam pertahanan mereka,” ujarnya kepada Tempo, Rabu, 16 Februari lalu. Henk Nordholt, yang saat itu menjabat Kepala Riset KITLV, lalu mengusulkan kepada rekan-rekannya agar memanfaatkan momentum itu untuk mendorong pelaksanaan penelitian besar mengenai kekerasan militer Belanda pada periode revolusi Indonesia. Pada 2012, KITLV bersama NIMH dan NIOD menerbitkan artikel opini di harian Volkskrant yang menyerukan pelaksanaan studi mendalam tentang periode ini.

•••

BETAPAPUN penelitian gabungan KITLV dan lembaga lain itu telah membuat Perdana Menteri Mark Rutte meminta maaf, kritik tetap datang. Salah satunya mempertanyakan kenapa hasil studi ini memakai istilah “kekerasan ekstrem”, bukan “kejahatan perang”. Remy Limpach menjelaskan kepada Tempo, istilah “kekerasan ekstrem” mempunyai ruang lingkup yang lebih luas. “‘Kejahatan perang’ tidak bisa mencakup tindakan non-state actors seperti laskar milisi,” tuturnya. Tapi, dalam wawancara Radio 1 pada Ahad, 20 Februari lalu, Frank van Vree—pemimpin penelitian besar ini—berkata: “Mungkin kami seharusnya mengatakan: ‘Kekerasan ekstrem, termasuk kejahatan perang’.”

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte di Jakarta, November 2016. TEMPO/Tony Hartawan

Kritik keras lain mempertanyakan alasan Belanda membutuhkan lebih dari 70 tahun untuk meminta maaf. Peneliti dan Direktur NIOD, Martijn Eickhoff, menjelaskan kepada Tempo bahwa selama ini bangsa Belanda melihat diri mereka sebagai bangsa beradab dan kekejaman tidak cocok dengan citra itu. Mantan anggota parlemen dari Partai Sosialis Belanda, Harry van Bommel, mengatakan kepada harian NRC Handelsblad pada Rabu, 16 Februari lalu, bahwa salah satu penyebab lambatnya tindakan pemerintah adalah ketakutan mereka terhadap tuntutan ganti rugi seperti dalam kasus Rawagede. Juga lobi kuat para veteran perang kepada pemerintah Belanda yang sampai sekarang masih terasa. Organisasi Veteranen Platform, misalnya, menuding penelitian itu “tidak berimbang” dan “secara implisit menunjuk veteran Belanda dan Hindia Belanda sebagai kambing hitam”.

“Kami sangat sadar akan kritik ini,” ujar Abdul Wahid kepada Tempo, Rabu, 9 Februari lalu. “Karena itu, dari awal kami kedepankan independensi akademis, juga dialog dan rasa saling mengerti. Kami juga tidak selalu harus saling menyetujui.” Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang juga sejarawan Indonesia, Hilmar Farid, menganggap kontribusi terpenting studi ini adalah pengungkapan kebenaran dari kedua belah pihak. Hilmar sadar bahwa pihak Indonesia juga tidak bebas dari tindak kekerasan. Penelitian ini, kata dia, menunjukkan, “Kekerasan ekstrem juga dilakukan tentara dan kelompok bersenjata Indonesia terhadap orang sipil yang tidak bersenjata, terutama orang Indo-Eropa dan Tionghoa, serta mereka yang dianggap berpihak kepada Belanda.”

Ihwal permintaan maaf PM Belanda Mark Rutte, Bonnie Triyana memiliki pendapat lain. Dia menghargai permintaan maaf itu. “Tapi menurut saya seharusnya dijelaskan dalam kapasitas apa Belanda melakukan permintaan maaf. Apakah dalam kapasitas menganggap tahun 1945-1949 Indonesia masih menjadi bagian dari wilayah negaranya atau Indonesia sudah merdeka. Sebab, sampai sekarang Belanda masih tetap berkeras bahwa kemerdekaan Indonesia resmi dicapai pada Desember 1949, bukan 17 Agustus 1945,” ucap Bonnie.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linawati Sidarto

Linawati Sidarto

Kontributor Tempo di Eropa

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus