Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Obyek-obyek mengesankan dalam pameran revolusi Indonesia di Rijksmuseum.
Dari popok bayi hingga kamera serdadu Belanda yang diambil pejuang Indonesia.
Lukisan karya maestro Affandi juga ditampilkan.
PERALATAN bayi itu dibuat dari sampul buku. Pada September 1947, Julia Nelisse, perempuan Belanda di Plantungan, Jawa Tengah, dengan segala keterbatasan membuat atasan, sarung bantal, dan popok bagi bayinya yang baru lahir dengan memanfaatkan berbagai macam sampul buku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masih bisa terbaca buku apa saja yang disobeknya dan secara darurat dibikin jadi popok dan sarung bantal: Tarzan de Leeuwman (Tarzan Manusia Singa), De Stem van het Geweten (Suara Hati Nurani), serta Alleen voor Zondaars (Hanya untuk Pendosa).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Obyek inilah yang bagi Taco Dibbits, Direktur Rijksmuseum, Belanda, demikian menyentuh. Julia Nelisse melahirkan seorang bayi perempuan di koloni penderita kusta di Plantungan. Bayi itu ia beri nama Merapi. Akibat kekerasan revolusi di daerah itu, banyak mayat mengapung di sungai, yang kemudian dibungkus Nelisse dengan kain kafan. Tekstil amat langka saat itu. Untuk pakaian anaknya, Nelisse mengubah sampul buku dari linen, yang ia dapatkan dari perpustakaan, menjadi pakaian bayi.
“Ini menunjukkan kelangkaan bahan kebutuhan pokok pada saat itu. Ketika itu hampir tidak ada kain, karena kebanyakan dipakai untuk membungkus mayat. Semua ini berdampak besar terhadap semua warga,” kata Dibbits.
Album dan kamera milik Eben Hezer Sinuraya. Linawati Sidarto
Akan halnya Harm Stevens, kurator itu menganggap foto potret Gubernur Jenderal Hindia Belanda Willem Rooseboom yang diangkut keluar dari Istana Kepresidenan pada 26 Desember 1949 sebagai obyek yang paling menarik. Foto ini diambil oleh fotografer terkenal asal Prancis, Henri Cartier-Bresson, yang dikenal bersahabat dengan Sukarno.
“Untuk saya, sebuah lukisan makin menarik kalau ia bergerak dari satu tempat lain. Ini foto yang begitu kuat, dan jelas memperlihatkan berakhirnya sebuah era,” ucap Stevens. Beberapa minggu setelah foto itu diambil dari Istana, lukisannya tiba di Amsterdam dan disimpan di Rijksmuseum sampai sekarang.
Adapun Marion Anker mengagumi peran Tanja Dezentjé, perempuan Belanda yang memilih menjadi warga negara Indonesia, pada masa revolusi. “Tanja menunjukkan bahwa perempuan juga ikut berperan pada masa revolusi dengan cara mereka sendiri. Sebagai wakil Indonesia di luar negeri, dia memberi wajah progresif kepada republik yang baru lahir ini,” ujar Anker.
Lukisan Gubernur Jendral Rooseboom diangkut keluar dari istana presiden, pada 26 Desember 1949. Fondation Henri Cartier-Bresson Magnum Photos dan ANP
Dalam pameran, keterangan obyek tentang Dezentjé dituliskan demikian: Tanja Dezentjé lahir di Den Haag, tapi memihak kepada Republik Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Dia berkeliling dunia atas nama RI untuk mengumumkan kemerdekaan negaranya. Seruannya menggema dari Bangkok hingga New Delhi, dan dari Singapura hingga Kairo. Tiap saat dia mengingatkan orang tentang pentingnya representasi perempuan di negara barunya. Perempuan duduk di parlemen, menjabat menteri, dan menjadi diploma. “Perjuangan nasional bangsa Indonesia,” Tanja menulis kepada ibunya,” membantu saya melewati masa-masa yang paling sulit.”
Amir Sidharta melihat lukisan Mata-mata Musuh karya Affandi pada 1947 sebagai obyek yang demikian humanis. “Lukisan ini menunjukkan humanisme Affandi. Dia melihat orang yang ditangkap sesama orang Indonesia karena dia mata-mata, tapi jelas kelihatan orang ini begitu ketakutan. Affandi menyiratkan empati yang dalam kepada orang ini,” tutur Amir.
Dalam pameran itu dapat kita baca keterangan di bawah lukisan Affandi: Di daerah pertempuran di Karawang, sebelah timur kota Jakarta, Affandi menjadi saksi bagaimana seorang laki-laki muda dipukuli oleh orang-orang Indonesia. Kerumunan orang berteriak: “Mata-mata musuh!” Laki-laki yang gemetaran itu meringkuk di tanah selagi diinterogasi. Affandi tidak peduli apakah orang itu bersalah atau tidak: dalam lukisan ini, dia menggambarkan citra seorang manusia yang menderita di tengah perang.
Lukisan portrait Tanja Dezentjé oleh Sudarso, 1947. Christin Kam, Jakarta.
Bonnie Triyana lain lagi. Ia tertarik pada kamera milik serdadu Belanda yang diambil pejuang Indonesia bernama Eben Haezer Sinuraya. Eben Haezer adalah letnan komandan resimen Halilintar pasukan Batak Karo. Eben Haezer ambil bagian dalam serangan terhadap konvoi Belanda di dekat Bukit Bertah, Sumatera Timur, pada 7 Mei 1949. Dalam serangan ini, dia menyita sebuah kamera dari serdadu Belanda yang gugur. Kamera itu ia pakai pada tahun-tahun berikutnya untuk mengambil foto anggota keluarga dan teman-teman seperjuangannya.
“Ibu Sebayang, Kepala Museum Jamin Ginting di Karo, Sumatera Utara, tahu bahwa janda Eben Haezer Sinuraya masih hidup dan tinggal di Medan. Kami pergi mengunjungi Ibu Sinuraya, yang sudah berumur sekitar 90 tahun, dan ternyata dia masih menyimpan sebilah pisau tentara Jepang dan seragamnya, serta sebuah kamera dan album foto peninggalan almarhum suaminya,” ucap Bonnie. Kamera inilah yang kemudian disajikan dalam pameran.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo