Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Komandan Senayan Penyela Perundingan

Setya Novanto, Luhut Binsar Pandjaitan, dan pengusaha Muhammad Riza Chalid terseret lobi perpanjangan kontrak karya Freeport. Keterlibatan Ketua DPR memantik kecurigaan karena meminta jatah saham.

23 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETYA Novanto mengawali obrolan dengan Jusuf Kalla pada Senin pekan lalu seputar rencana pernikahan putrinya. Pembicaraan keduanya lalu mengalir ihwal dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo ketika Setya bertemu dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Kalla mencak-mencak. "Mengapa kamu mencatut nama Presiden dan saya?" kata Kalla seperti ditirukan orang dekatnya.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu mengakui membawa pengusaha Muhammad Riza Chalid bertemu dengan Maroef, tapi membantah mencatut nama Presiden. Setya menjelaskan, "Demi Allah, saya tak bawa nama Bapak." Sembari bercanda, Kalla menyergah Setya, "Masak, saya cuma meminta sembilan persen!" Setya menampik kabar bahwa ia dimarahi Kalla dalam pertemuan tersebut. "Pak JK orang yang sangat saya hormati," ujar Setya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Sejatinya, tak ada jadwal Kalla bertemu dengan Setya pada Senin pekan lalu. Kegiatan Wakil Presiden seharusnya berakhir setelah menerima Pendeta Richard Daulay dari Gereja Methodist Indonesia pada pukul 14.00. Sebelum makan siang, agenda Kalla berubah mendadak. Setya Novanto menjadi topik utama perbincangan karena paginya dilaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan DPR. Tuduhannya tak main-main: mencatut nama Presiden saat bertemu dengan Freeport.

Sebelum melapor ke Mahkamah Kehormatan, Sudirman dimintai klarifikasi oleh Wakil Presiden. Menurut Sudirman, fakta tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Kalla menuturkan, Sudirman menilai pertemuan Setya dengan Freeport melanggar aturan. Pencatutan ini dikhawatirkan menghilangkan kepercayaan investor. Sebab, muncul asumsi, Presiden meminta jatah ke perusahaan asing. "Ini juga menyangkut presiden dan wakil presiden, itu menghina," kata Kalla.

Sudirman menuturkan langkah petinggi DPR menemui Freeport tak etis. "Freeport kan sedang bernegosiasi dengan pemerintah, kok, ada pimpinan lembaga negara ikut membicarakan," ujar Sudirman. Laporan Sudirman ke Mahkamah Kehormatan menjadi pemantik genderang hiruk-pikuk di Senayan. Silang pendapat juga terjadi di antara sesama pembantu Jokowi. Menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, Presiden bertanya, siapa yang memerintahkan Sudirman melaporkan Setya. "Tapi Presiden sudah tahu siapa yang memberi perintah," kata Luhut.

* * * *

Kecemasan Freeport-McMoRan, induk usaha PT Freeport Indonesia, bermula ketika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara disahkan. Aturan ini mengamanatkan, mulai 2014, semua perusahaan tambang dilarang mengekspor bahan mentah karena mesti membangun smelter. Pemerintah memberi tenggat 25 Januari 2015 bagi perusahaan yang berpusat di Phoenix, Arizona, itu.

Seorang petinggi Freeport menuturkan perusahaan itu memang gemar melobi pejabat Indonesia. Mereka membagi tugas. Presiden Komisaris Freeport James R. Moffett mendekati eksekutif, sementara Maroef dikaryakan mendekati parlemen. Jim Bob—begitu Moffett disapa—bolak-balik Arizona-Jakarta menemui Sudirman Said. Dia ingin memastikan kontrak karya yang berakhir pada 2021 tetap diperpanjang.

Saat bertemu dengan Jim Bob, Sudirman sempat mengultimatum akan membekukan izin ekspor Freeport karena nihilnya perkembangan pembangunan smelter. Namun gaya Jim Bob cukup ampuh melunakkan Sudirman. Freeport diberi waktu memperpanjang masa renegosiasi amendemen kontrak karya hingga enam bulan ke depan. Akibatnya, Freeport tetap diperbolehkan mengekspor konsentrat ke luar negeri.

Jim Bob juga menemui Luhut Binsar Pandjaitan. Menurut Luhut, bos Freeport itu pernah dua kali mendatanginya ke Bina Graha, ketika dia masih memimpin Kantor Staf Presiden. Jim Bob orang gigih. Dia pernah datang malam-malam ke rumah Luhut di Kuningan bareng Duta Besar Amerika Serikat Robert Orris Blake. Dilobi terus-menerus agar mengubah peraturan, Luhut senewen juga. "Hai, kau ubah undang-undang di Amerika, kau mau tidak?" ujar Luhut.

Setya Novanto pun dipepet Maroef. Bos Freeport Indonesia itu datang ke ruangannya di Senayan pada 27 April lalu. Dua jam ngobrol, Maroef menjelaskan visi-misi, tenaga kerja, luas lahan, dan jumlah investasi Freeport. Juga rencana divestasi dan perpanjangan kontrak hingga 2041. Maroef pun menitipkan "ancaman" akan membawa persoalan ini ke pengadilan arbitrase internasional jika kontrak tak dilanjutkan. "Pak Ketua bisalah ngobrol dengan Presiden," kata Setya mengutip permintaan Maroef.

Setya menuruti permintaan itu. Dalam satu rapat konsultasi dengan Presiden, Setya berbicara kepada Jokowi. Politikus Golkar ini menuturkan ada anggota direksi Freeport menemuinya meminta bantuan perpanjangan kontrak. "Masih 2021, Pak Ketua," Jokowi menjawab seperti ditirukan Setya.

Pendekatan Freeport rupanya dipikirkan Setya. Pada perayaan ulang tahun anaknya, Setya membagi kisah ini kepada sahabat dekatnya, Riza Chalid. Riza, menurut Setya, menawarkan diri ikut bertemu dengan Maroef. Dalam pertemuan kedua di lantai 21 Hotel Ritz-Carlton, Pacific Place, pada 13 Mei 2015, Setya hadir bersama koleganya itu. Setya memberi tahu Maroef sudah menyampaikan permintaan Freeport kepada Presiden. Freeport diminta menaati peraturan. Menurut Setya, Freeport justru menunjukkan gelagat aneh. "Sudah dijelasin, kenapa mau bertemu lagi?" ujarnya.

Cerita Setya dibantah seorang petinggi Freeport. Menurut petinggi ini, justru sikap Setya dan Riza yang menimbulkan syak wasangka. Mereka, kata petinggi ini, memulai lontaran jasa bisa mengamankan perpanjangan kontrak. Jasa itu tak gratis karena mereka menyinggung rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Urumuka di Papua dengan kapasitas 1.000 megawatt. "Itulah mengapa Pak Maroef berniat merekam pembicaraan pertemuan selanjutnya," ujar petinggi ini.

Maroef akhirnya benar-benar merealisasi niatnya dalam rapat ketiga di lantai 21 Hotel Ritz-Carlton pada 8 Juni lalu. Rekaman ini membuat Setya merasa dijebak. Namun dia tidak bisa menjelaskan motif penjebakan itu. Bukankah ini justru menggugurkan upaya Freeport mengegolkan tujuannya? Setya tak bisa memberi penjelasan. "Wah, saya dihantam media lagi," kata Wakil Ketua Umum Golkar ini.

Dalam transkrip rekaman, nama Luhut Binsar Pandjaitan paling acap disebut. Luhut, seperti diutarakan Riza Chalid, berminat pada proyek PLTA Urumuka. Dalam skenarionya, Freeport hanya akan memiliki 51 persen saham di proyek ini sekaligus off-taker atau pembeli listrik. Maroef sempat memprotes. "Investasi patungan, off-taker kita juga? Dobel dong, Pak!"

Pertemuan ketiganya juga memperbincangkan rencana divestasi Freeport. Setya mengatakan, dari 30 persen saham yang bakal didivestasikan, 10 persen dibayar menggunakan dividen. Gagasan ini tak disetujui Presiden sehingga menimbulkan keributan. Agar tak gaduh, Riza Chalid memberi saran agar Jokowi dan Kalla diberi jatah masing-masing sebelas dan sembilan persen.

Setya, seperti tertulis dalam transkrip, memastikan setiap urusan yang dititipkan padanya selalu bakal disetujui Presiden. Dia juga mengklaim, tidak semua menteri Jokowi paham soal ini. Setya memberi jaminan Presiden akan melindungi keberhasilan upaya mereka.

Ucapan itu langsung ditimpali Riza. "Freeport jalan, bapak itu happy, kita ikut happy. Kumpul-kumpul kita, beli private jet yang bagus dan representatif." Setya menambahkan, "Kita harus jeli, kuncinya ada pada Pak Luhut dan saya."

Setya dan Luhut memang dikenal memiliki hubungan dekat. Saat ribut-ribut revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, Luhut mengumpulkan semua ketua fraksi di Hotel JS Luwansa. Luhut juga turun gunung ketika DPR hendak menolak rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 dan 2016. Setya juga beberapa kali kedapatan bertandang ke kantor Luhut di Jalan Medan Merdeka Barat. Seorang politikus Golkar menuturkan soal Freeport juga menjadi salah satu topik yang dibahas keduanya.

Setya membenarkan percakapan dalam transkrip. Tapi, menurut dia, obrolan itu sekadar guyon. "Canda ringan, tidak ada niat apa-apa," ujarnya. Adapun Luhut tak ambil pusing namanya dibawa-bawa.

Luhut justru menuding balik Sudirman yang sempat mengeluarkan peraturan yang menguntungkan Freeport. Salah satunya mengubah tenggat pembicaraan kontrak dari dua tahun menjadi sepuluh tahun sebelum kontrak berakhir. Draf peraturan ini akhirnya didrop Kementerian Energi. Luhut menyarankan Presiden Jokowi menunggu kontrak Freeport berakhir. "Ikuti pola blok minyak dan gas Mahakam, ya, kembali ke Indonesia."

Soal permintaan saham dan pembangkit tenaga listrik, seorang petinggi Freeport memiliki versi berbeda. Petinggi ini menuturkan Setya dan Riza sudah menunjukkan gelagat mencurigakan saat pertemuan kedua. Maroef merekam isi pembicaraan karena tak ingin terjerat Foreign Corrupt Practices Act of 1977 atau Undang-Undang Praktek Korupsi di Luar Negeri atau oleh Asing. "Jika tak memegang bukti, dia bisa dipidana penyuapan pejabat di luar negeri," kata petinggi ini.

Petinggi itu menuturkan Maroef hati-hati melihat pengalaman di masa lalu ketika divestasi Freeport justru jatuh ke tangan swasta. Aturan mengenai divestasi tertuang dalam Kontrak Karya II yang diteken pada Desember 1991. Pasal 24 ayat 2 dan 3 aturan ini menyatakan Freeport harus melepas sahamnya 2,5 persen per tahun kepada peserta Indonesia sejak tahun kesepuluh kontrak karya ditandatangani. Seharusnya, pada 2011, jumlah saham Indonesia di Freeport sudah mencapai 25 persen.

Freeport juga seharusnya melepas saham melalui Bursa Efek Jakarta (Bursa Efek Indonesia) sekurang-kurangnya 20 persen. Pada tahun ke-20 setelah kontrak karya diteken, seharusnya sudah ada divestasi 51 persen saham. Realisasi penjualan saham terjadi ketika 9,36 persen saham Freeport dibeli kelompok Bakrie melalui PT Indocopper Investama Corporation. Kepemilikan ini tak lama. Setahun berikutnya, Freeport membeli balik 49 persen saham Indocopper. Pada 1997, Bakrie menjual saham Indocopper kepada perusahaan Mohammad "Bob" Hasan, PT Nusamba Mineral Industri.

Setelah penjualan tahap pertama, tak ada lagi divestasi berikutnya. Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Peraturan ini mengizinkan perusahaan asing mendirikan anak perusahaan. Ketentuan baru tersebut juga tak mengatur besaran divestasi. Sejak saat itu, divestasi mandek—penjualan saham ke Indocopper sudah memenuhi ketentuan versi Freeport.

Petinggi Freeport itu menuturkan, ketika ada pembahasan divestasi, para politikus Senayan bersama pengusaha selalu mengambil peran. Dia mencontohkan kasus Newmont, yang pembelian sahamnya mesti sepersetujuan parlemen. Jika saham Freeport dilepas, menurut petinggi Freeport itu, saham ditawarkan ke pemerintah pusat. Ketika pemerintah tak sanggup membeli, kata dia, cawe-cawe rentan dimainkan. Akibatnya, saham bisa jatuh ke tangan swasta yang dibekingi politikus Senayan. "Parlemen tinggal beralasan pemerintah tak memiliki uang," ujar petinggi ini.

Dalam sejumlah pertemuan informal, Maroef berpesan kepada anggota Dewan Komisaris Freeport yang berlatar belakang politikus, yakni Andi Mattalatta dan Marzuki Darusman. "Negara yang harus mengambil saham Freeport, jangan ke swasta. Syaratnya, kontrak mesti diperpanjang," kata petinggi itu menirukan ucapan Maroef. Andi dan Marzuki tak bersedia berkomentar ihwal permintaan Maroef ini. "Silakan tanyakan langsung ke manajemen," ujar Andi.

Maroef belum muncul ke publik sejak kasus ini mencuat. Permintaan wawancara Tempo hanya dijawab juru bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama. "Freeport tak dapat berkomentar," kata Riza. Riza Chalid juga tak memberikan respons atas segala permintaan konfirmasi. Setya Novanto, yang membawa Riza bertemu dengan Maroef, hanya berujar, "Nanti gue tanya. Gue belum ketemu, he-he-he…."

Wayan Agus Purnomo, Sunudyantoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus