Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Durga Mahisasuramardini turun ke bumi. Sepanjang 19 Agustus-15 November di Museum Nasional, Jakarta, kita bisa menyaksikan arcanya yang semampai: tingginya 174,9 sentimeter, dua kakinya terbuka lebar dalam sikap alidhasthana. Durga yang waspada ini berdiri di atas seekor kerbau. Tangan kirinya berperisai, torsonya agak tertarik ke belakang, berat tubuhnya bertumpu pada kaki kanan, kaki kirinya di depan, tidak terbebani.
Durga tampak gagah, tapi tak utuh lagi. Ia tak lagi bertangan delapan. Tak ada tangan kanan yang diangkat tinggi—seolah-olah mengayunkan senjata. Tidak ada tangan kiri yang memegang kepala asura (representasi makhluk jahat). Tapi, dari pengamatan sepintas lalu pun kita bisa menangkap cita rasa estetika yang tinggi. Teknik pahatannya sangat halus dan rinci. ”Garis-garis yang melingkupi tubuh-tubuhnya juga sangat elegan,” kata arkeolog Endang Sri Hardiati, mantan Kepala Museum Nasional.
Di Museum Nasional, dalam pameran bertajuk ”Warisan Budaya Bersama”, Durga muncul bersama 328 benda kuno koleksi Museum Nasional dan Museum Leiden, Belanda. Durga telah berjalan jauh. Arca yang ditemukan di Desa Singosari pada awal abad ke-19 ini sudah tiga abad tersimpan di Rijksmuseum voor Volkenkunde, Museum Etnografi, Leiden. Dalam pameran ini, selain Durga, kita bisa menyaksikan empat arca lain yang juga berasal dari Singasari tapi selama ini berdomisili di Rijksmuseum voor Volkenkunde.
Ya, pameran yang bersejarah. Inilah pertama kalinya kelima arca itu—Durga Mahisasuramardini, Ganesa, Mahakala, Nandiswara, Chakra-chakra Bhairawa—tampil di Indonesia. Sejak 1970, upaya menghadirkan berbagai arca itu dan juga koleksi arkeologi lainnya yang tersimpan di Belanda telah dirintis almarhum Harsja W. Bachtiar. Upaya itu dilanjutkan oleh Kusnadi Harjasumantri, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang saat itu menjadi atase kebudayaan RI di Belanda. Setelah puluhan tahun, dalam sebuah pertemuan antarmuseum Eropa dan Asia di Belgia pada 2003, akhirnya pihak Belanda memberikan lampu hijau. Itu pun dengan sejumlah persyaratan.
Menurut Dirjen Sejarah dan Purbakala, Hari Untoro Drajat, pihak Belanda minta dilibatkan sebagai pengawas pameran. Ada persyaratan panjang yang harus dipenuhi, mulai dari kelembapan, pencahayaan, suhu ruangan pameran, hingga keamanan. Memang, bila diteliti, arca-arca koleksi Museum Leiden itu tampak terawat. Permukaannya bersih mulus dan mengkilat.
Tapi, bagaimana ceritanya sehingga arca itu tinggal di Leiden? Semua berawal dari seorang Belanda bernama Nicolaus Engelhard. Engelhard, gubernur kolonial wilayah Pantai Timur Laut Jawa, memboyong lima arca dari situs Candi Singasari, Jawa Timur, ke kantornya di Semarang, Jawa Tengah, pada 1803. Setahun berselang, ia memindahkannya ke Batavia (kini Jakarta). Lalu, pada sekitar tahun 1827, arca-arca itu dibawa ke Negeri Belanda, lalu disimpan di Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden. Dalam laporannya, Engelhard menyatakan bahwa pemindahan itu dilakukan demi melindungi arca tersebut dari kerusakan.
Masuk akal. Tapi arkeolog Endang Sri Hardiati yakin tindakan itu berasal dari keterpesonaan Engelhard terhadap keindahan arca-arca Candi Singasari, peninggalan abad ke-13.
Boleh dibilang, seni arca batu zaman Singasari di Jawa Timur sepanjang abad ke-13 merupakan puncak kedua pencapaian estetik dalam sejarah kesenian Jawa Kuno. Puncak pertama dicapai pada masa Borobudur-Prambanan di Jawa Tengah, sekitar abad ke-9. Tapi, arca-arca Candi Singasari mempunyai ciri khas. Secara umum, arca zaman Singasari berbentuk plastis dan dinamis. Dari bentuk alami kemudian digayakan dengan hiasan. ”Sedangkan arca-arca masa Borobudur-Prambanan berbentuk naturalistik, apa adanya,” Endang menjelaskan.
Yang menarik—dan ini merupakan satu di antara ciri khas arca Singasari—Durga mengenakan pakaian dan perhiasan yang raya. Kainnya tergambar jelas, bermotif patola seperti pada kain songket. Dewi itu memakai kain berlapis dua: ada yang panjangnya selutut, ada pula yang semata kaki. Lipit-lipit wironnya terbuka karena posisi kakinya terbuka lebar.
Lalu, pangkal kain (bagian atas) tak dililit di pinggang, melainkan di pinggul, seperti anak-anak muda sekarang mengenakan hipster. Kain itu diikat dengan sabuk yang ujungnya menjuntai, dan dihias ikat pinggul dengan hiasan pola sulur nan indah. Sedangkan dadanya dibalut semacam blus ketat berpola senada dengan kainnya. Blus ini dihiasi kalung di bagian atasnya, dan di bawahnya diikat sabuk berhias bunga dan sulur. ”Blus itu hanya dikenakan arca-arca Singasari,” kata Endang.
Di Indonesia, arca Durga merupakan arca yang banyak ditemukan. Durga di atas bagian dari cerita dalam sebuah kitab Purana. Para dewa membutuhkan uluran tangan Dewi Durga untuk membinasakan asura (makhluk jahat). Para dewa meminjami Durga aneka senjata. Mungkin karena tugasnya menolong mereka yang didera kesulitan—seperti memerangi asura—Durga banyak dipuja.
Arca lain yang sangat menarik adalah Ganesa. Arca batu setinggi 154,1 sentimeter yang berasal dari candi induk Singasari itu (bilik timur) memiliki ciri khusus: duduk di atas deretan tengkorak, dalam posisi maharajalila, lutut kanan diangkat. Ini merupakan satu-satunya contoh arca dewa itu dengan cara duduk demikian.
Adapun tempat duduk berupa deretan tengkorak didapatkan pada beberapa arca Ganesa lain dari ”masa Singasari”. Misalnya sebuah arca Ganesa yang juga dari Candi Singasari yang disimpan di Museum Nasional Thailand, dan sebuah arca dari Jimbe yang kini ada di Desa Bara, Blitar, Jawa Timur.
Arca bertangan empat itu membawa wadah minuman terbuat dari kubah tengkorak di kedua tangan depannya. Sedangkan tangan belakang membawa kapak di kanan dan semacam tasbih di kiri (suatu penempatan terbalik bila dibandingkan dengan kebanyakan arca dewa itu di candi-candi Jawa Tengah). Penampilan arca itu merujuk pada tugas dewa tersebut: menaklukkan musuh dewa-dewa, seperti diceritakan dalam kakawin Smaradahana (pembakaran Dewa Asmara oleh mata ketiga Dewa Siwa).
Arca Candi Singasari lainnya yang menarik dan muncul dalam kakawin Smaradahana (pupuh VI bait 7) adalah Mahakala. Tokoh ini merupakan penjaga pintu kahyangan kediaman Siwa. Dalam sastra keagamaan India disebutkan, Dewa Siwa mempunyai berbagai perwujudan, antara lain sebagai Mahakala. Tapi, dalam restrukturisasi pantheon Hindu di Indonesia, khususnya Jawa, posisi Mahakala beserta pasangannya, Nandiswara (juga di pamerkan di Museum Nasional), adalah penjaga gerbang kahyangan Siwa.
Dalam kenyataan, sepasang tokoh itu masing-masing beratribut gada dan trisula, terdapat pada banyak candi Siwa di Jawa, termasuk di kompleks Candi Singasari. Kedua arca itu menempati relung atau panel di sisi kiri dan kanan pintu yang menuju ruang utama, tempat bersemayam Dewa Siwa.
Sayang, koleksi karya puncak zaman Singasari itu hanya bisa dinikmati hingga pertengahan November ini. Seusai pameran, koleksi arkeologi milik Museum Etnografi Leiden, Belanda, itu harus dikembalikan. Rencananya, koleksi itu akan dipamerkan di De Niewe Kerk, Amsterdam, Belanda, Desember 2005-Februari 2006.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo