Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mimpi Indonesia 2010

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cyrillus Harinowo

  • Ketua STIE dan STIMIK Perbanas

    BEBERAPA waktu lalu, Kalbe Farma mengumumkan akan melakukan investasi pada perusahaan susu Morinaga di Cikarang dengan nilai Rp 500 miliar dan menggunakan cash flow intern. Di industri farmasi, langkah semacam itu telah dilakukan oleh beberapa perusahaan.

    Sanbe Farma, misalnya, berinvestasi pada tiga proyek sekaligus di Kota Bandung, yakni rumah sakit internasional, pabrik infus, dan pabrik obat. Sebagian besar investasi itu dibiayai oleh cash flow intern dan hanya sebagian kecil menggunakan bantuan kredit dari bank.

    Pengalaman yang sama dilakukan juga oleh Konimex, yang membangun dua rumah sakit di Kota Solo dan sebuah rumah sakit di Boyolali. Ketiga proyek itu juga dibiayai dana sendiri.

    Meskipun diawali industri farmasi, pengalaman sejenis rupanya meluas ke bidang lain. PT Telekomunikasi Indonesia, misalnya. Baru-baru ini, Telkom mengumumkan akan mengalokasikan modal untuk investasi sekitar Rp 18 triliun pada 2007. Lagi-lagi bersumber dari dana internal.

    PT Aneka Tambang akan membiayai investasi US$ 40 juta tahun ini juga dari dana sendiri. PT Unilever Indonesia malah melangkah lebih jauh. Perusahaan konsumer ini selalu menggunakan dana internal bagi pengeluaran investasi, yang setiap tahun selalu berkisar US$ 30-40 juta atau sekitar Rp 270-360 miliar. Jumlah yang tidak kecil.

    Yang tak kalah menarik adalah sebuah industri tekstil di Solo yang berinvestasi membangun pabrik pemintalan baru. Sepenuhnya menggunakan duit perusahaan. Ini jelas mengejutkan karena, bagi perusahaan tekstil yang dianggap sebagai sunset industry, investasi Rp 400 miliar bukanlah jumlah kecil.

    Perubahan mindset dunia usaha

    Dari berbagai pengalaman tersebut, tampaklah sebuah benang merah. Ternyata krisis 1997 telah membawa perubahan mindset yang sangat penting dalam dunia usaha. Jika sebelum krisis banyak pengusaha memanfaatkan berlimpahnya kredit bank dengan investasi jorjoran, pengalaman selama krisis telah mengubah mentalitas mereka.

    Sebelum krisis, untuk membangun pabrik senilai Rp 100 miliar saja mereka dengan mudah mendapatkan kredit Rp 200 miliar atau lebih. Namun pengalaman selama krisis menyebabkan mereka jauh lebih efisien menggunakan dana.

    Krisis yang terasa hingga lima tahun memang menyebabkan bank-bank tidak mampu memberikan kredit. Akibatnya, dunia usaha yang ingin membangun bisnis, ataupun ekspansi, haruslah pandai-pandai menggunakan dana mereka. Pengaturan cash flow menjadi suatu ilmu penting yang memungkinkan mereka bertindak seefisien mungkin.

    Lihat contohnya di pertanian kepala sawit. Selama lima tahun kredit bank sama sekali tidak mengucur, tapi lahan kelapa sawit justru meningkat dua kali lipat. Sekalipun harus diakui bahwa krisis justru membawa berkah bagi pengusaha sawit, kemauan berinvestasi ataupun ekspansi dengan modal sendiri pada akhirnya membuktikan kuatnya pengelolaan modal mereka.

    Dengan perkembangan itu, struktur permodalan mereka sangat sehat sehingga, pada saat panen, mereka memiliki kemampuan lebih besar untuk melanjutkan ekspansi. Inilah yang akhirnya membuat Indonesia mengalami lompatan besar dalam industri kelapa sawit sehingga negara ini dikenal sebagai the epicenter of the palm oil industry. Inilah istilah pengusaha Malaysia tentang industri kelapa sawit Indonesia, sebagaimana disampaikan oleh Michael Barrett, CEO dari Rashid Hussein Bank, Malaysia.

    Perubahan mindset itu memang membawa beberapa implikasi artifisial, tapi justru sering menjadi perdebatan pokok di Indonesia. Yang pertama, perubahan kebiasaan dalam penggunaan dana ekstern pada akhirnya memang mengurangi minat dunia usaha untuk menggunakan kredit bank. Namun tidak berarti sektor riil mandek. Sektor riil Indonesia sebetulnya bergerak dengan cepat.

    Hal ini secara nyata tampak dalam perkembangan volume (bukan nilai) ekspor serta porsi ekspor dalam PDB yang bersifat tradeable dan pertumbuhan PDB. Indikasi lain adalah plafon kredit yang tidak digunakan (unused loans), yang jumlahnya cukup besar dan terus meningkat. Ini berarti debat tentang rasio kredit (LDR) perbankan yang sering terjadi saat ini sebetulnya banyak salah sasaran.

    Implikasi lain adalah “malasnya” dunia usaha melaporkan kegiatan investasinya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal. Sebagaimana diketahui, banyak investasi dunia usaha tidak dalam bentuk gedung yang dibangun, tapi berupa mesin dan peralatan, menara telekomunikasi, dan sebagainya, yang tidak menyiratkan kebutuhan untuk dilaporkan. Sebagai akibatnya, statistik mengenai investasi PMA dan PMDN di Indonesia pada umumnya tidak lagi menggambarkan realitas di bidang investasi.

    Magnet bagi investor asing

    Perubahan mindset tersebut pada hakikatnya merupakan berkah besar, yang pada akhirnya bermanifestasi dalam bentuk berbagai statistik perkembangan ekonomi, seperti jumlah penjualan mobil di pasar domestik dan ekspor yang meningkat pesat atau lonjakan produksi batu bara yang sangat tajam. Pengalaman Domba Mas Group, yang diobok-obok dengan tuduhan kredit macet, dan kemudian bahkan melunasi seluruh kredit ke Bank Mandiri, memberikan gambaran betapa besar kemampuan dunia usaha mengelola modalnya dewasa ini.

    Pada akhirnya, yang kita miliki saat ini adalah dunia usaha yang lebih kuat dibanding sebelum krisis, yang jauh lebih tahan banting jika terjadi perkembangan di luar kehendak mereka. Dunia usaha semacam ini, serta prospek perekonomian jangka panjang yang semakin cerah, pada akhirnya menarik minat para investor luar negeri untuk menggandeng dunia usaha Indonesia menjadi mitra, atau bahkan mengakuisisinya.

    Pada industri telekomunikasi, kita melihat semakin besarnya minat asing. Selain akuisisi yang terjadi pada Telkomsel, Indosat, dan Excelcomindo, investor luar negeri juga melakukan de novo investment, sebagaimana yang dilakukan oleh Hutchinson dan Charoen Pokphand.

    Demikian juga dengan industri semen, yang dewasa ini diwarnai oleh pemain-pemain besar, seperti Holcim (nomor 1 di dunia), yang telah menguasai Semen Cibinong; La Farge (nomor 2 di dunia), yang dewasa ini masih dalam proses akuisisi Semen Andalas di Aceh; Cemex (nomor 3 di dunia), yang beberapa waktu lalu melepaskan sebagian besar sahamnya di Semen Gresik tapi tetap berminat untuk berusaha di Indonesia; dan Heidelberger Cement (nomor 4 di dunia), yang dewasa ini menguasai Indocement. Bahkan perusahaan semen yang masuk sepuluh besar dunia, Siam Cement dari Thailand, juga akan melakukan investasi baru di Sukabumi.

    Perkembangan yang sangat positif itu membawa dampak positif pula bagi dunia perbankan Indonesia. Perubahan mentalitas dunia usaha pada akhirnya memperkuat keberadaan perbankan kita karena munculnya perilaku yang lebih sehat dalam dunia perkreditan mereka. Dengan regulasi dan pengawasan yang lebih ketat serta pengelolaan risiko yang lebih baik, pada akhirnya bank-bank di Indonesia akan berkembang semakin kuat.

    Dalam beberapa tahun terakhir, dari sisi permodalan, likuiditas, dan profitabilitas, perbankan tampil sangat meyakinkan. Sementara itu, prospek bisnis perbankan yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi serta tingkat pembiayaan, atau financial deepening, yang masih rendah membuat prospek perbankan Indonesia sangat menggiurkan. Sebagaimana dapat kita saksikan, margin bunga di Indonesia masih sangat tinggi sehingga menghasilkan laba sebagaimana dicerminkan oleh return on assets atau ROA dan penghasilan dari modal atau ROEs yang sangat tinggi.

    Perkembangan ini membuat perbankan Indonesia sangat menarik bagi investor asing. Jika pada gelombang masuknya bank-bank asing yang pertama pada 1970-an yang menghasilkan 10 cabang bank asing dan 1 bank campuran dewasa ini hanya menyumbang 10 persen dari aset perbankan, sedangkan gelombang kedua yang dihasilkan Pakto 88 hanya menyumbang 3 persen dari aset perbankan saat ini, maka gelombang terakhir ini telah menghasilkan 30 persen dari aset perbankan hanya dalam beberapa tahun sesudah krisis.

    Proses ini bahkan seperti tidak bisa direm lagi. Setelah bank-bank swasta besar diakuisisi asing melalui program divestasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional, belakangan ini akuisisi mulai terjadi pada bank-bank kecil. Terakhir, Bank BTPN juga diakuisisi oleh Texas Pacific Group dari Amerika Serikat sehingga menambah deretan panjang daftar bank nasional yang berpindah kepemilikan ke investor asing.

    Berbagai perkembangan ini memang bisa dilihat dengan cara berbeda. Nasionalisme yang kuat, tapi mungkin sempit, akan melihatnya sebagai suatu bentuk kolonialisme baru. Bagi yang berpikir lebih terbuka, perkembangan ini justru sehat dan menunjukkan betapa dinamisnya dunia usaha Indonesia.

    Menuai berkah dari krisis

    Setelah sepuluh tahun krisis berlalu, apakah yang terjadi dewasa ini dan bagaimanakah arah ke depan? Dalam beberapa tahun terakhir, baik dunia usaha maupun perbankan, terlebih lagi keuangan pemerintah, mengalami perbaikan yang sangat signifikan. Pendapatan per kapita yang sudah mulai melampaui tingkat sebelum krisis memberikan arti yang dalam pula pada perkembangan tersebut. Lantas bagaimana prospek jangka menengah dan jangka panjangnya?

    Beberapa waktu lalu, Yayasan Indonesia Forum menerbitkan draf awal Visi Indonesia 2030. Meskipun saya memiliki banyak catatan tentang visi tersebut, pada hakikatnya visi semacam itu sungguh sangat diperlukan. Secara independen, PricewaterhouseCoopers, London, bahkan menerbitkan sebuah studi yang berjudul The World in 2050, yang dirilis pada Maret 2006.

    Studi ini sangat sejalan dengan Dreaming with the BRICs yang diterbitkan oleh Goldman Sachs pada 2003. Dalam studi PWC, Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ekonomi nomor 6 di dunia pada 2050. Meskipun tahun tersebut masih jauh, trajectory-nya sebetulnya sudah terlihat sekarang ini.

    Majalah The Economist edisi akhir 2006 menerbitkan sebuah laporan khusus yang berjudul The World in 2007. Diprediksi, Indonesia akan menduduki tempat ke-21 dalam perekonomian dunia dengan PDB (at market exchange rate) sebesar US$ 396 miliar pada 2007. Posisi ini melompat empat tingkat dari 2004, yang masih menempatkan Indonesia pada posisi 25-26 bersama Arab Saudi.

    Ini berarti dalam kurun waktu tiga tahun Indonesia sudah melampaui empat negara, yaitu Austria, Norwegia, Polandia, dan Turki. Indonesia dalam studi tersebut persis berada di bawah Taiwan, dengan PDB sekitar US$ 398 miliar. Dengan melihat PDB Indonesia di kuartal pertama sebesar Rp 915 triliun (sekitar US$ 102 miliar), bukan tidak mungkin pada tahun ini pun Indonesia sudah akan melampaui perekonomian Taiwan.

    Pada 2010, saya memprediksi perekonomian Indonesia akan menghasilkan PDB nominal sekitar US$ 555 miliar dengan asumsi nilai tukar dolar sekitar Rp 10 ribu per dolar AS. Jika ini terjadi. Indonesia akan melampaui empat negara lagi, yaitu Taiwan, Swiss, Swedia, dan Belgia. Ini berarti negara kita akan berada pada kekuatan ekonomi peringkat ke-17 di dunia pada saat itu.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus