Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WARUNG Kopi Tiam Nikmat penuh pengunjung selama Imlek dan Cap Go Meh tahun ini. Maklum, banyak orang Singkawang yang selama bertahun-tahun merantau datang kembali ke kampung halaman mereka. Tidak hanya untuk merayakan kedua hari raya itu, tapi juga menjadi panitia Festival Cap Go Meh terbesar selama ini. Jadilah mereka rapat atau sekadar hang out di tempat-tempat makan dan minum favorit. Nah, salah satu tempat kongko mereka adalah Warung Kopi Nikmat yang terletak di sebuah bangunan bergaya Melayu-Cina di pusat Kota Singkawang, tak jauh dari Kelenteng atau Pe Kong Bumi Raya.
Dari pagi—sekitar pukul tujuh—hingga malam, sejak Imlek pertengahan Februari lalu hingga perayaan Cap Go Meh dua pekan kemudian, bangku-bangku kayu itu tak pernah sepi tamu. Selain kopi khas Singkawang—yang dibuat di teko berwarna tembaga dengan moncong pipa panjang—disajikan penganan buatan sendiri, seperti roti panggang isi srikaya, sus, keik jagung, dan telur ayam kampung setengah matang. Suasana dan sajian di Kopi Tiam Nikmat inilah yang mengobati rindu para perantau Cina Singkawang bila pulang kampung. Menurut Nusantyo Setiadi, salah satu ujung tombak panitia perayaan Cap Go Meh, pada hari-hari biasa Kopi Tiam Nikmat tidak seramai ini. Pengunjung sehari-hari justru lebih banyak dari etnis Melayu di Singkawang.
Tidak hanya Kopi Tiam Nikmat yang dijadikan ajang berkumpul dan bernostalgia. Banyak tempat kuliner lainnya yang juga menjadi sasaran klangenan, seperti warung bubur babi, bubur sapi, rujak Singkawang, kwetiau, serta tak ketinggalan choi pan—kue bulat berkulit lembut dari adonan tepung yang dikukus dan berisi bengkuang. Ada lagi, kangkung juhi, yang penjualnya tetap mempertahankan kualitas sotong yang dijualnya sejak 1970-an.
Cerita tentang seluk-beluk Singkawang ini dituturkan dengan antusias oleh panitia Festival Cap Go Meh yang mengundang Tempo ke kota mereka, akhir Februari lalu. Masing-masing seperti berkontes memperkenalkan kota mereka. Kenangan di masa kecil dan remaja—yang sebenarnya bukan kisah gembira—pun mereka tuturkan dengan santai. Mimi, perempuan berusia 40 tahunan, yang kini punya bisnis konfeksi di Jakarta, misalnya, dengan ceria berkisah tentang larangan masuk sekolah berbahasa Mandarin setelah 1966. Dia dan teman-temannya harus sembunyi-sembunyi datang ke tempat belajar agar tidak kepergok tentara.
Keadaan sekarang tentu saja sudah jauh lebih baik bagi warga Singkawang kaya. Sejak reformasi, terutama sejak Presiden Abdurrahman Wahid menghapus semua kebijakan yang mengakibatkan diskriminasi bagi etnis Cina, warga Singkawang yang sudah sukses lebih leluasa mengaktualisasi diri. Mereka mulai mengikuti pemilihan sebagai wakil rakyat. Bahkan Hasan Karman, yang bernama asli Bong Sau Fan, berhasil terpilih sebagai wali kota etnis Cina pertama di Indonesia berkat dukungan warga Singkawang yang berhasil di bidang ekonomi.
Para pengusaha Singkawang yang merantau ini juga memiliki kebebasan membesarkan daerah mereka. Salah satunya dengan menyelenggarakan perayaan Cap Go Meh terbesar di Singkawang tahun ini. Tidak seperti di masa Orde Baru, mereka sudah tidak memiliki hambatan politis bila ingin mengangkat acara kultural dan keagamaan mereka.
Mereka pun bekerja all-out. Yang menjadi panitia festival tak ragu urunan tenaga dan uang. ”Bisnis untuk sementara kami tinggalkan,” kata Lio Kurniawan, Ketua Panitia Festival Cap Go Meh. Segala daya dikerahkan untuk menyukseskan festival, tanpa mempersoalkan keuntungan materi.
Lio dan Nusantyo Setiadi termasuk dua orang yang tersibuk di jajaran panitia. Mereka mengurus hajatan ini dari pameran foto di Salihara, Jakarta, sampai festival di Singkawang sejak Imlek hingga Cap Go Meh. Total biaya yang dikeluarkan lebih dari Rp 3 miliar.
Yang menarik, meski sudah sukses dalam bisnis, ikatan di antara warga Singkawang ini tetap kuat. Salah satu yang membuat mereka kompak adalah Kaliber’s, yaitu Ikatan Alumni Sekolah Menengah Pertama Bruder Singkawang. Mereka sama-sama lulusan sekolah Katolik tertua di sana.
Selain itu, warga Singkawang di perantauan, terutama di Jakarta, diikat oleh kesamaan bidang bisnis, seperti konfeksi. Mereka menguasai bisnis di bidang pakaian dari hilir hingga hulu. Sekitar 3.000 dari 5.000 toko di kawasan Tanah Abang, Jakarta, adalah milik perantau Singkawang. Dari jalur bisnis berubah menjadi kekerabatan di antara warga. ”Warga Singkawang di Jakarta cukup kompak,” kata Nusantyo.
”Kekerabatan bisnis” ini juga membuat perantau Singkawang maju di berbagai bidang dan menyumbang sesuai dengan bisnisnya. Menurut Lio Kurniawan, beragam kebutuhan festival merupakan sumbangan kawan-kawannya. ”Ada yang bisnis besi menyumbang besi untuk panggung, yang usaha kembang api urun kembang api,” katanya.
Sumbangan itu tidak terbatas pada perayaan budaya Cina. Perantau Singkawang yang sudah kaya mulai tertarik membangun kampung halaman lebih serius. Menurut Lio, keinginan tersebut mulai muncul sekitar 10 tahun silam. Lio, misalnya, mengajak kolega pengusaha Singkawang mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi sembilan tahun silam. Laki-laki yang memiliki usaha di bidang pengiriman barang internasional itu memanfaatkan teman bisnisnya untuk ikut serta memberikan beasiswa kepada warga miskin di Singkawang. ”Sekolah tinggi ini memang untuk warga Singkawang yang kurang mampu agar bisa mendapat pendidikan tinggi,” katanya.
Wali Kota Singkawang Hasan Karman, yang dari etnis Cina, pun bersemangat mengajak warga kaya berinvestasi di kota kelahiran mereka. Dia ingin pengusaha di bidang konfeksi membuka usaha di Singkawang. Dan Hasan tidak kesulitan melobi para pengusaha itu, karena sama-sama lulusan SMP Bruder Singkawang.
Masih cukup banyak mimpi Hasan, Lio, Nusantyo dan kawan-kawan untuk Singkawang. Wali Kota Hasan, misalnya, ingin membuka bandar udara di Singkawang dan mengembangkan pariwisata. Setelah sukses Festival Cap Go Meh ini, semangat untuk membuat daerah mereka terkenal makin menggebu. Mereka bertekad acara tahun depan harus lebih meriah lagi. Mereka membicarakan rencana dan mimpi-mimpi sembari mengisap cerutu di rumah wali kota, malam hari selepas jam dinas.
Mungkin memang layak mereka menikmati keberhasilan. Sebab, sukses bisnis perantau Singkawang bukan berawal dari modal kuat, melainkan nekat. Para pemuda waktu itu—pada era 1970—terpaksa keluar dari Singkawang karena memang tidak ada pekerjaan di daerah itu. Izin membuka usaha sulit, karena etnis Cina selalu dalam pengawasan pemerintah dan tentara. Lio, misalnya, merantau ke Jakarta setelah lulus sekolah menengah atas pada 1979. Namun dia tidak bisa kuliah karena tidak punya kartu tanda penduduk. Setelah setahun di Ibu Kota, barulah Lio bisa meneruskan kuliah di Universitas Tarumanagara jurusan manajemen. ”Banyak teman saya yang berhasil bahkan tidak lulus SMA,” kata Lio.
”Jadi untung kami nekat keluar dari Singkawang,” kata Nusantyo, yang kini punya usaha produk interior kantor. Kalau tidak, mereka masih tetap menjadi bagian dari jaring kemiskinan dan penindasan di kampung halaman mereka sendiri. Beruntung juga, iklim politik berubah, sehingga mereka berani tampil di depan.
Ya, para perantau ini memang berhasil mengubah denyut Singkawang. Meski tidak seramai Imlek, pada perayaan Cap Go Meh dan Ceng Beng—sembahyang kubur—mereka bisa pulang ke Singkawang sebulan sekali, sekadar reuni dengan teman dan nongkrong di Kopi Tiam Nikmat. Ongkos tiket pesawat sudah bukan masalah. Kembali ke kampung halaman adalah hal mudah dan indah. Bahkan ada yang mulai membangun vila di daerah gunung pinggir kota untuk tempat tinggal di masa tua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo