Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menakar Risiko Langsing Jalur Cepat

Program pelangsingan tubuh selalu menarik perhatian. Reality show sebuah saluran televisi kabel sukses menayangkan lomba cepat langsing yang diikuti peserta berbobot jumbo. Puluhan kilogram berat badan terpangkas dalam lima bulan. Menurut beberapa ahli kesehatan, penurunan bobot sebesar itu bisa berisiko, terutama untuk jangka panjang.

22 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAVID Gurnani, 26 tahun, muncul ke panggung setelah menerjang poster penutup pintu. Poster bergambar David versi jumbo robek terburai. Satu simbol, David sudah mengalahkan kegemukannya. Tak ada lagi pipi supertembam dan badan tambun berlemak. David kini langsing. Berbalut T-shirt ketat dengan jas, gerak-geriknya gesit.

Selasa dua pekan lalu, di Selangor, Malaysia, di panggung final The Biggest Loser Asia—kompetisi penurunan berat badan produksi Hallmark Channel—David bersama tiga finalis menjalani penimbangan akhir. Satu per satu naik ke timbangan. Giliran David, hup, penunjuk digital berhenti di angka 74. Dia berhasil ”memeras” badannya dari 157 kilogram, saat awal mengikuti program lima bulan sebelumnya.

David menyandang gelar The Biggest Loser Asia. Finalis lainnya, Martha Lai (Hong Kong), dari 127 menjadi 87 kilogram; Aaron Mokhtar (Malaysia), dari 159 menjadi 99 kilogram; dan Carlos Antonio Miquel (Filipina), dari 132 ke 83 kilogram. Keempat finalis itu telah menyisihkan 26 peserta lainnya. Mereka mencatatkan penurunan berat yang fantastis. Dalam tempo 80 hari menjalani program di karantina, penurunan berkisar 30-40 kilogram, rentang 24-35 persen dari berat awal.

Capaian itu mengundang decak, mengingat banyak orang kesulitan menurunkan berat badan. Tapi capaian itu menyisakan tanya. ”Apa tidak kaget tubuhnya, takutnya ada dampak negatif,” kata Ririe Bogar, pendiri Extra Large Community Indonesia—komunitas orang gemuk. Riri dengan komunitasnya rajin berkampanye: hidup gemuk yang sehat.

Program The Biggest Loser memang berat. Tanpa obat pelangsing, hanya program diet ketat dan latihan fisik. Olahraga dimulai pukul 5 pagi, jalan kaki 9,5 kilometer. Diselingi sarapan, lanjut lagi latihan di pusat kebugaran mulai pukul 08.00 selama tiga jam. Setelah istirahat siang, pukul 17.00 jalan kaki 3,5 kilometer, dan berlatih lagi tiga jam sampai pukul 23.00.

Untuk mendukung aktivitas tersebut, asupan tak bisa seenaknya. Para kontestan pria mengkonsumsi 1.500-1.600 kalori dan kontestan perempuan 1.200-1.300 kalori setiap hari. Menu sarapan biasanya cereal Weetabix, susu rendah lemak, dan buah-buahan. Kadang diganti dua potong roti gandum, keju rendah lemak, atau dua potong sosis ayam. Menu siang nasi merah; roti atau kentang sebagai karbohidrat; protein ayam, ikan, daging; serta sayuran dan buah. Malamnya hampir sama, tapi lebih dominan protein dan buah. ”Cami-lan masih boleh, biasanya kacang almon, apel, anggur, dan pir,” kata David.

Atas ”pemerasan” tubuh seperti itu, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga Suharto mengaku khawatir akan dampaknya. Organ manusia tak dapat dipacu bekerja berlebihan. ”Seumpama pabrik, ada produksi maksimum,” katanya. ”Jangan hanya pakai parameter asal masih hidup.” Menurut Suharto, batas aman penurunan berat badan adalah empat kilogram sebulan, atau sekilogram per minggu. Standar itu juga mengacu pada program penurunan berat badan astronot Badan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA).

Pola diet dan latihan fisik pun harus disesuaikan dengan target batas aman itu. Penurunan berat mengikuti alur pembakaran yang perlu mobilisasi. Ketika gula darah sebagai sumber kalori habis, lemak dibakar, menyusul protein ketika lemak berkurang. Metabolisme ini melibatkan juga ginjal untuk pembuangan dan lever serta jantung, paru, persendian, dan otot yang menunjang gerak tubuh.

Jika organ-organ itu terlalu dipaksa, beragam risiko menunggu, seperti gangguan ginjal, lever, dan persendian rusak. ”Ada silence destruction, pasti ada yang kalah,” kata Suharto. Dia mencontohkan, pernah program penurunan berat atlet secara ekstrem dilakukan, hasilnya rata-rata terganggu keseimbangan asam-basa. Ketika gerak jalan Jakarta-Yogyakarta dilakukan nonstop, banyak ditemukan peserta mengalami hematori, darah keluar bercampur urine.

Lantas bagaimana porsi gemblengan fisik yang tepat dan aman bagi tubuh? Tak ada standar umum. ”Sangat individual,” kata Suharto. Itu bergantung pada kondisi tubuh masing-masing. Porsi latihan harus terpantau setiap periode. Hanya ada ancar-ancarnya. ”Untuk kehidupan normal, dua jam sehari sudah bagus. Untuk program, lima jam sehari sudah berat,” katanya. Latihan kardiovaskuler dan latihan beban harus diimbangi asupan seimbang untuk mencegah defisit kalori yang bisa merusak sel-sel vital.

Soal kalori ini, ada rumus dari dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan gastronomi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Ari Fahrial Syam. Kebutuhan basal kalori manusia untuk hidup normal rata-rata 30-40 per kilogram berat badan ideal. Berat ideal dengan standar normal indeks Broca adalah tinggi badan dikurangi 100, kemudian direntang 10 persen. Misal, pemilik tinggi 160 sentimeter, berat idealnya rentang 54-66 kilogram. Orang ini membutuhkan 1.500-1.800 kalori setiap hari.

Dari sisi pola diet, program pelangsingan tidak boleh terlalu ekstrem. Jika kebutuhan kalori kurang, ada potensi gangguan hormonal atau enzimatik. ”Yang terjadi proses penghancuran tubuh,” katanya. Dia mengaku sering menerima pasien dengan beragam keluhan setelah menjalani diet ekstrem dan latihan fisik keras. ”Ginjal rusak, lever kena, dan badan terlihat kuat tapi loyo.”

Soal porsi beban fisik yang masih aman, Ari juga berpendapat itu tak ada standar umum. Bisa disesuaikan masing-masing orang mengikuti penurunan berat ideal. Mengenai penurunan yang aman, Ari lebih longgar. Menurut Ari, penurunan bertahap sekitar 10 persen dari berat semula setiap bulan masih aman. Pemeriksaan kesehatan menyeluruh harus dilakukan setiap periode. Jika capaiannya melebihi itu, ada potensi kenaikan berat lebih pesat lagi andai lengah menjaganya. Istilahnya yoyo syndrome, yakni mekanisme feedback dari tekanan semula. ”Balas dendam tubuh yang ditekan,” katanya.

Para peserta kontes sendiri mengaku tidak mengalami kelainan pada tubuhnya. Mereka justru merasa lebih bugar dan sehat. ”Tidak lagi sakit kepala dan pinggang,” kata David. Aaron Mokhtar pun tak lagi malas bergerak, merasa pening, atau nyeri punggung. Tapi jangan lengah. ”Tempaan keras itu efeknya jangka panjang,” kata Suharto.

Harun Mahbub (Malaysia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus