Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kebijakan awal pemerintah pusat dinilai tak tepat.
Salah satunya adalah Rumah Sakit di Pulau Galang yang perencanaan dinilai tak matang
Akibat pemerintah tak tegas dan jelas membuat peta jalan penanganan Covid-19
EMPAT petugas berlalu-lalang di gerbang pos 2 Rumah Sakit Khusus Infeksi Covid-19 di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, pada Rabu, 10 Maret lalu. Sesekali, petugas yang dua di antaranya berpakaian seragam Tentara Nasional Indonesia itu saling berbincang. Tak terlihat ambulans atau bus yang membawa pasien yang terjangkit virus corona keluar-masuk rumah sakit itu. Yang kerap hilir-mudik ke dalam fasilitas kesehatan itu justru sepeda motor.
Kondisi serupa juga di pintu masuk lain, pos 1, yang ditutup. Dari tempat itu, Tempo bisa melihat ruangan unit perawatan intensif (ICU). Tak tampak aktivitas di bilik yang di dalamnya terdapat 20 tempat tidur itu. Menurut kepala Rumah Sakit Khusus Infeksi Pulau Galang, Kolonel Khairul Ihsan Nasution, minimnya aktivitas itu karena menurunnya jumlah pasien Covid-19. “Turunnya sudah mencapai 80 persen,” ujarnya ketika dihubungi, Kamis, 12 Maret lalu.
Saat ini, Khairul menuturkan, ada 56 pasien positif corona yang sedang menjalani perawatan. Angka itu, berbeda jauh ketika Rumah Sakit Galang mulai beroperasi pada April 2020 lalu, yakni 300 orang. Sedangkan pasien suspek yang sedang menjalani isolasi, menurut Khairul, saat ini berjumlah 235 orang, yang semuanya merupakan pekerja migran Indonesia.
Rumah Sakit Khusus Infeksi Covid-19 Pulau Galang mulai dibangun oleh pemerintah sejak awal Maret 2020 dengan biaya sebesar Rp 400 miliar. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa, tujuan pembangunan dilakukan untuk menampung warga Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Masalahnya, lokasi rumah sakit itu terlalu jauh dari pemukiman penduduk. Sarma Haratua Siregar, warta Kota Batam yang pernah menjadi pasien positif Covid-19 pada November lalu, mengatakan setelah dinyatakan negatif virus SARS-CoV-2, ia diperbolehkan pulang ke rumah. Namun, tidak ada fasilitas bus atau ambulans yang mengantar Sarma kembali ke rumahnya.
Awalnya, Sarma mengecek ongkos pulang ke Kota Batam di aplikasi transportasi online. Menurut dia, untuk transportasi mobil ongkosnya Rp 500 ribu, sedangkan motor mencapai Rp 300 ribu. Karena besarnya biaya itu, ia pun menunggu lama agar bisa dijemput keluarganya yang sedang bekerja. “Bisa dibayangkan orang yang tidak punya kendaraan,” ujarnya.
Sedangkan fasilitas rumah sakit, menurut Dewi—bukan nama sebenarnya–masih perlu ada perbaikan. Ketika dirawat pada 26 September 2020 lalu, ia sempat kesulitan mencari perawat dan mendapatkan bantuan oksigen. Melia, 26 tahun, mengatakan yang menjadi catatannya adalah pakaian perawat dan pekerja pembersih sama saja. “Kadang ketukar ketika memanggilnya,” ucapnya.
Perihal antar-jemput pasien, Khairul mengatakan, ia hanya melapor ke dinas kesehatan kota maupun provinsi ihwal kepulangan pasien. “Kami terima di tempat, dan pulangkan di tempat. Tapi, kepulangan dan penjemputan ini bukan urusan kami,” ujarnya. Ihwal fasilitas, menurut Khairul, ia dan rekan-rekannya sudah bekerja semaksimal mungkin.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam, Didi Kusmarjadi, mengatakan tanggung jawab antar- jemput pasien memang ada di pemerintahan kota. Namun, menurut Didi, sejak akhir tahun lalu pemerintah kota tak lagi menyediakan fasilitas penjemputan karena anggarannya habis. Menurut dia, infrastruktur yang ada di Kota Batam seharusnya bisa menampung pasien Covid-19. “Kami masih ada asrama haji dan rumah susun. Tapi, kami tak ada tenaga untuk diperbantukan di sana, maupun waktu,” ujarnya.
Ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan pembangunan Rumah Sakit Galang ini merupakan salah satu kebijakan yang perencanaan tak matang lantaran tidak menggunakan data maupun mendengarkan para ahli penyebaran penyakit. “Harusnya, dibuat rumah sakit di masing-masing daerah,” ujarnya.
Pandu juga menyoroti beberapa keputusan pemerintah pusat yang ia anggap tidak relevan dan perlu pembuktian ilmiah. Dia mencontohkan pembuatan obat untuk Covid-19 hingga tak singkronnya pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pembuatan obat untuk Covid-19 kerja sama Universitas Airlangga dengan Badan Intelijen Negara dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat sempat membuat heboh lantaran pada Agustus 2020 lalu disebut akan segera diproduksi massal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo