Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Saling Balas di Laut Selatan

Kawasan Laut Cina Selatan memanas lagi belakangan ini. Filipina menjalin kerja sama pertahanan dengan India dan memperkuat klaim wilayah maritimnya.

13 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Militer India memamerkan misil Brahmos hasil kerjasama dengan militer Rusia, yang dibeli oleh Filipina, di New Delhi, Januari 2015. Reuters/Adnan Abidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Suhu politik di kawasan Laut Cina Selatan memanas lagi belakangan ini.

  • Filipina membeli rudal jelajah supersonik India.

  • Negara-negara Barat juga pamer kekuatan.

KAPAL-KAPAL perang dan pesawat tempur berbagai negara sedang berseliweran di Laut Cina Selatan sejak Januari lalu. Kapal perang Kanada dan kapal induk Inggris melintasi laut ini untuk mengikuti latihan perang bersama angkatan laut Australia, Jepang, dan Amerika Serikat. Armada angkatan laut Amerika Serikat dan kapal selam Prancis mulai bergerak ke laut itu pada Februari lalu, sementara kapal perang Jerman akan tiba pada bulan ini. Mereka melintasi Laut Cina Selatan atas nama “kebebasan navigasi”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara itu, Cina akan menggelar latihan militer selama sebulan penuh di kawasan ini. Administrasi Keselamatan Maritim (MSA) di Beijing mengumumkan latihan akan berlangsung sepanjang bulan ini di “zona melingkar” dalam radius 5 kilometer di sebelah barat Semenanjung Leizhou antara Hong Kong dan Vietnam. Menurut kantor berita Cina, Xinhua, Kementerian Pertahanan Cina menyatakan Negeri Tirai Bambu bertekad menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan. Kementerian juga dengan tegas menentang negara mana pun yang meningkatkan kehadiran militer di wilayah tersebut atas nama “kebebasan navigasi” dan mengganggu kepentingan bersama negara-negara di kawasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ada aksi saling balas di antara kedua pihak dan pihak lain sedikit ramai saat ini,” kata Oh Ei Sun, peneliti senior Asia Tenggara di Singapore Institute of International Affairs, kepada media Amerika Serikat, VOA. Tidak biasanya, dia menambahkan, negara-negara Eropa ikut terjun ke tengah keributan ini.

Kedua pihak yang dimaksudkan Oh Ei Sun adalah Amerika Serikat dan Cina. Amerika merupakan sekutu Filipina, yang kini bersengketa dengan Cina dalam soal Laut Filipina Barat. Menurut Carl Thayer, profesor emeritus Asia Tenggara di University of New South Wales, Australia, para pemimpin Cina secara khusus “tersengat” oleh kapal-kapal angkatan laut Amerika yang melintasi Laut Cina Selatan baik pada masa Donald Trump maupun belakangan ini di bawah kepemimpinan Joe Biden. Dia mengungkapkan, Cina berharap kehadiran Biden akan memperbaiki hubungan Amerika-Cina yang selama ini tegang.

Reaksi negara-negara Asia Tenggara juga menghangatkan situasi. Filipina menerjunkan lebih banyak kapal ke Laut Filipina Barat, yang masuk kawasan Laut Cina Selatan, pada Februari lalu. Langkah itu diambil terutama setelah Cina menerbitkan aturan baru yang mengizinkan pasukan penjaga pantai menembak kapal asing yang melintasi kawasan lautnya. “Ini sebagai reaksi atas hal tersebut karena nelayan kita mencari nafkah di Laut Filipina Barat dan kami melindungi mereka sebagai bagian dari mandat kami,” tutur Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Filipina Letnan Jenderal Cirilito Sobejana seperti dikutip Rappler.

Laut Filipina Barat adalah bagian dari kawasan Laut Cina Selatan milik Filipina. Negeri Panda menyatakan laut itu masuk wilayahnya berdasarkan klaim “Nine Dash Line” atau sembilan garis putus-putus yang menghubungkan pulau-pulau di Laut Cina Selatan yang dulu mereka duduki pada masa Perang Dunia II. Klaim ini membuat Cina menguasai hampir seluruh kawasan Laut Cina Selatan.

Negara-negara lain di kawasan ini umumnya mengukur garis pantainya berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada 1982. Filipina, yang menggunakan hukum laut internasional ini, menggugat Cina di Pengadilan Permanen Arbitrasi di Den Haag, Belanda. Pada 2016, pengadilan memenangkan Filipina dan menyatakan Cina tak berhak menggunakan klaim Nine Dash Line. Presiden Cina Xi Jinping menolak putusan itu. “Cina tidak akan pernah menerima klaim atau tindakan apa pun berdasarkan putusan itu,” ucap Xi.

Pekan lalu, wakil pemerintah Filipina dan India meneken pakta pertahanan yang akan membuka jalan bagi pembelian peralatan pertahanan India, termasuk BrahMos PJ-10, peluru kendali jelajah supersonik tercepat di dunia. “Kami sangat berkomitmen untuk bergerak maju di bidang mana pun yang dikehendaki Filipina. India ingin melihat Filipina yang kuat dan tangguh di Indo-Pasifik,” ujar Duta Besar India untuk Filipina, Shambhu Kumaran, kepada media Filipina, Inquirer, Kamis, 11 Maret lalu. “Itu adalah kepentingan bersama kami dan kami akan bekerja sama untuk memastikannya.”

BrahMos adalah misil supersonik jarak menengah yang dapat ditembakkan dari kapal, kapal selam, pesawat terbang, dan peluncur darat. Versi awal rudal bikinan perusahaan patungan India dan Rusia ini dapat mencapai jarak 290 kilometer. Tahun lalu, India telah berhasil mengujinya untuk jarak yang lebih jauh, sekitar 400 kilometer, dan kini sedang mengembangkan misil yang dapat meluncur lebih dari 1.000 kilometer.

Shambhu Kumaran membenarkan kabar bahwa negaranya telah menawarkan pinjaman lunak senilai US$ 100 juta atau Rp 1,4 triliun lebih untuk kebutuhan pertahanan Filipina. “US$ 100 juta adalah jumlah indikatif. Kami dapat menimbang (untuk menawarkan) jumlah yang lebih besar jika Filipina mempertimbangkan platform dari India,” katanya.

India berkepentingan membendung pengaruh Cina di kawasan Asia. Negeri itu kini sedang bersengketa dengan Cina di Lembah Galwan, wilayah perbatasan kedua negara. Bentrokan pasukan penjaga perbatasan kedua negara sempat pecah pada tahun lalu, tapi tidak dengan senjata api, melainkan pentungan.

Selepas penandatanganan kontrak, Filipina akan menjadi pembeli pertama BrahMos, terutama di bawah visi Perdana Menteri India Narendra Modi untuk memperluas ekspor alat pertahanan negerinya. Menurut media India, EurAsian Times, militer Filipina masih kalah kelas dan kalah jumlah dibanding Cina. Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengakui hal tersebut tahun lalu, ketika dia menyatakan lebih baik bagi Filipina untuk menempuh “upaya diplomatik” dengan Cina atas sengketa Laut Cina Selatan karena Cina memiliki senjata dan Manila tidak. Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana juga mengakui bahwa Filipina “belum 25 persen” mencapai kemampuan pertahanan minimum yang kredibel.

Kawasan Laut Cina Selatan kaya akan sumber daya laut dan cadangan minyak. Brunei Darussalam, Cina, Malaysia, Filipina, Indonesia, Taiwan, dan Vietnam mengklaim bagian masing-masing dari kawasan maritim tersebut. Cina menguasai 90 persen kawasan ini berdasarkan klaim Nine Dash Line. Sekitar sedekade lalu, Cina aktif mengembangkan pulau-pulau di kawasan ini dan memperkuatnya dengan pasukan keamanan.

Cina bahkan telah mengembangkan pulau karang di Kepulauan Paracel menjadi Kota Sansha, yang menjadi kota baru dari Provinsi Hainan. Menurut laporan US Naval War College pada Januari lalu, kota itu kini meliputi 280 pulau, karang, dan laut di sekitarnya seluas sekitar 2 juta kilometer persegi atau lebih dari dua setengah kali Pulau Kalimantan.

Filipina mengklaim Laut Filipina Barat untuk kepentingan para nelayan dan terutama eksplorasi minyak. Pada 2019, Duterte meneken keputusan presiden yang memungkinkan pihak ketiga terlibat dalam kontrak yang dimenangi perusahaan minyak nasional Filipina. Kontrak eksplorasi minyak itu berlaku untuk kawasan seluar 7.200 kilometer persegi di perairan Palawan Barat di Laut Filipina Barat. Namun Duterte sempat mengakui bahwa dia pernah diperingatkan oleh Xi Jinping bahwa eksplorasi ini akan “menimbulkan masalah”.

Cina telah menerbitkan dokumen resmi tentang kebijakan militer berjudul “Pertahanan Nasional di Era Baru” pada Juli 2019 yang menekankan orientasi pertahanan dan perdamaian. Dokumen itu juga menggariskan bahwa negeri tersebut terus-menerus menurunkan tingkat pertumbuhan anggaran pertahanannya dan mencurahkan pengeluarannya untuk memajukan reformasi militer dan meningkatkan kesejahteraan personelnya.

Sejauh ini, pemerintah Cina belum merespons perkembangan mutakhir kerja sama militer Filipina-India dan langkah Filipina memperkuat klaimnya atas Laut Filipina Barat. Aksi saling balas di kawasan Laut Cina Selatan tampaknya masih akan terus berlangsung.

IWAN KURNIAWAN (VOA, RAPPLER, INQUIRER, CNN FILIPINA, EURASIAN TIMES)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus