Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUJAN interupsi di gedung DPR RI sepertinya tak mengenal musim. Meski masa reses, yang dimulai 10 Desember lalu, baru saja berakhir, sidang paripurna pertama di tahun ini, Kamis pekan lalu, berlangsung riuh. Sejumlah anggota Dewan langsung membombardir rapat dengan interupsi tentang persoalan impor beras, begitu Ketua DPR, Agung Laksono, usai berpidato.
Kubu Partai Banteng langsung mengusulkan voting. Parlemen diminta bersikap dalam soal kontroversi impor beras tahap kedua sebanyak 110 ribu ton, yang rencananya didatangkan dari Vietnam oleh Perusahaan Umum Bulog, bulan ini.
”Hak angket harus segera direalisasikan,” kata Epyardi Asda, anggota Komisi Pertanian dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebelum masa reses, usul mengenai hak penyelidikan yang diteken 113 anggota Dewan memang telah diserahkan ke pimpinan DPR.
Usul ini diusung oleh enam fraksi: PPP, PAN, PKB, PKS, PDS, dan PDI Perjuangan. Sekitar 30 anggota DPR lainnya juga mengusulkan hak interpelasi. Namun, kata Epyardi, kedua kelompok telah sepakat mengajukan hak angket. ”Mereka telah bergabung,” kata juru bicara tim hak angket ini.
Buat pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, persoalan ini tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi—jika klaim Epyardi benar—usul hak angket kini didukung oleh lebih dari seperempat anggota Dewan, yang totalnya mencapai 547 anggota.
Alarm juga telah dibunyikan Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Panitia Ad Hoc II Dewan Perwakilan Daerah. Bukan tak mungkin persoalan penolakan impor beras bakal memicu konflik Presiden beserta jajaran kabinetnya dengan para gubernur dan bupati yang disokong penuh anggota DPRD.
Kekhawatiran itu tampaknya bukan isapan jempol belaka. Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad, mengaku telah mengontak Gubernur Sulawesi Utara untuk menahan beras impor yang masuk ke Pelabuhan Bitung. ”Saya juga akan menelepon gubernur lain,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia ini, seusai deklarasi Dewan Beras Nasional di Jakarta, Jumat pekan lalu.
Boikot beras impor akan dilakukan di sembilan pelabuhan di luar Jawa, yang menjadi tempat mendaratkan 110 ribu ton beras impor asal Vietnam. Kesembilan pelabuhan itu adalah Belawan (24.600 ton), Dumai (7.000 ton), Bitung (16.800 ton), Balikpapan (6.750 ton), Ambon (6.000 ton), Sorong (11.000 ton), Jayapura (6.000 ton), Kupang (19.850 ton), dan Lhok Seumawe (12.000 ton).
Suara lantang juga datang dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, sebagai gubernur ia tak bisa menolak kebijakan pemerintah pusat dalam soal impor beras. Namun, ”Kalau memang beras impor itu untuk stok nasional, jangan dijual di Jawa,” ujarnya.
Menjawab berbagai kekhawatiran itu, Direktur Utama Bulog, Widjanarko Puspoyo, sebetulnya telah menyatakan beras impor memang hanya untuk mengisi kekurangan stok beras Bulog. Tidak untuk dijual ke pasar. Namun protes telanjur meruap di mana-mana.
Dua mantan presiden, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, termasuk yang tidak bisa mempercayai penjelasan mantan anak buahnya itu—Widjanarko diangkat semasa pemerintahan Abdurrahman. Menurut Megawati, kebijakan impor beras merupakan bencana bagi petani. Padahal, pada 2004, ”Indonesia sudah swasembada,” ujarnya.
Gus Dur menyatakan, pemerintah seharusnya melacak dulu penyebab hilangnya beras dari pasaran, sebelum memutuskan kebijakan impor. ”Beras itu cukup, kok,” katanya. Karena itu, ia curiga ada pihak yang ”bermain” menimbun beras, sehingga mendorong perlunya impor.
Kecurigaan itu pula yang kini mendorong sejumlah anggota DPR mengajukan usul untuk menggunakan hak angket. Epyardi bahkan terang-terangan menunjuk Bulog di balik segala kisruh ini. ”Bulog terlalu berambisi untuk impor beras,” katanya. Karena itu, lewat hak angket, DPR akan meminta data-data stok beras ke Bulog, Menteri Perdagangan, Ketua Dewan Ketahanan Pangan, dan Badan Pusat Statistik.
Setelah mengecek data-data itu, penelusuran akan dilakukan langsung ke Vietnam. ”Kami akan mencari tahu, ada kepentingan apa di balik impor ini, dan siapa yang bermain,” ujarnya curiga.
Isu impor beras kembali memanas setelah Menteri Perdagangan, pada 6 Januari lalu, akhirnya memberikan izin kepada Bulog mendatangkan beras asal Vietnam sebanyak 110 ribu ton. Keputusan itu diambil karena, hingga akhir Januari, stok beras di gudang Bulog hanya 868 ribu ton—kurang 132 ribu ton dari stok aman 1 juta ton. Sedangkan harga beras telah merangkak naik di atas harga patokan pemerintah Rp 3.500 per kilogram.
Presiden sebetulnya telah memerintahkan Bulog menyerap beras domestik dulu, sebelum keputusan impor dijatuhkan. Namun, hingga tenggat 5 November, beras yang bisa diserap dari dalam negeri diperkirakan hanya 31,6 ribu ton.
Gelombang protes langsung meruap. Orang pun kembali menengok pengalaman dua bulan sebelumnya, ketika pemerintah mengeluarkan izin impor beras tahap pertama 70 ribu ton. Total beras yang akan diimpor 250 ribu ton. Rencananya didatangkan dalam tiga tahap hingga akhir Januari ini, sebelum masa panen raya.
Saat itu kebijakan ini pun ditentang banyak pihak karena dinilai amat merugikan petani, yang baru terimpit kenaikan harga bahan bakar minyak pada 1 Oktober tahun lalu. Pertimbangan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa impor beras untuk menekan inflasi, juga dinilai ”mengorbankan” petani.
Kelompok penentang impor beras mendapat tambahan ”amunisi”, ketika Menteri Pertanian Anton Apriantono juga menolak rencana itu. Alasannya, produksi beras nasional, setelah dikurangi total konsumsi, masih surplus 2,1 juta ton. Data sebaliknya dilansir Badan Pusat Statistik, yang justru menyebutkan Indonesia dibayangi defisit beras 650 ribu ton.
Untuk menyelesaikan perbedaan itulah, komisi ahli Dewan Ketahanan Pangan yang diketuai Presiden melakukan penghitungan kembali. Dewan yang dibentuk pada Desember 2001 oleh Presiden Megawati ini beranggotakan 13 menteri plus Kepala Bulog dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Berdasarkan perhitungan dengan data statistik 2004 yang telah diperbarui, hasilnya seperti dinyatakan Anton selaku Ketua Harian DKP pada 19 Desember lalu, terdapat defisit beras 25 ribu ton. Itu sebabnya, kata Widjanarko, impor harus dilakukan.
Bulog sendiri, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 7/2003 tentang pendirian Perum Bulog, diwajibkan menjamin penyediaan stok beras nasional. Dari hasil studi Universitas Gadjah Mada, untuk negara seluas Indonesia dengan gudang Bulog yang tersebar di berbagai pelosok, besarnya stok penyangga atau buffer stock beras pemerintah di Bulog adalah 0,75-1,3 juta ton.
Perhitungan ini didasarkan pada rasio utilisasi terhadap stok sebesar 3-5 persen dalam formula Organisasi Pangan PBB (FAO). Juga telah memasukkan kewajiban penyediaan cadangan beras darurat negara-negara Asia Tenggara (Asean) yang diperkirakan 250 ribu ton.
”Sebagai jalan tengah, diambil patokan 1 juta ton,” kata Widjanarko. Namun selama ini stok beras pemerintah yang kerap disebut iron stock ini pun sesungguhnya baru bisa dipenuhi 350 ribu ton. Sisanya, sekitar 600 ribu ton, merupakan beras jatah rakyat miskin. Padahal, total konsumsi beras setahun sekitar 32 juta ton.
Melihat besarnya kekurangan itu, Widjanarko mempertanyakan ribut-ribut impor beras lima bulan terakhir ini. Lagi pula, toh operasi pasar harus dilakukan untuk meredam lonjakan harga beras yang dampaknya langsung memukul rakyat miskin, khususnya petani kecil dan orang miskin kota.
Dari 13,7 juta petani kecil, sebanyak 13,2 juta hanya punya lahan kurang dari seperempat hektare. ”Mereka hanya pegang beras dan gabah beberapa saat setelah panen,” katanya. ”Setelah itu, mereka harus membeli beras.”
Adapun jatah beras untuk rakyat miskin, yang dijual pemerintah Rp 1.000 per kilogram, memang jauh dari memadai. Dari 15,7 juta keluarga miskin, hanya 10,8 juta yang bakal kebagian jatah tahun ini, naik dibanding tahun lalu yang 8,3 juta.
Jatahnya pun diturunkan dari semula 20 kilogram menjadi 15 kilogram sebulan. ”Karena itu, kalau pemerintah terus menaikkan harga pembelian beras domestik, yang diuntungkan saat ini pedagang beras,” kata Widjanarko. ”Beras sudah tidak di petani.”
Di berbagai daerah, harga beras sepanjang pekan lalu terus melangit. Di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, beras termurah yang biasanya dijual Rp 2.200 per kilogram melonjak menjadi Rp 3.500. Akibatnya, penjualan beras anjlok. ”Sehari biasanya 2 ton, sekarang 1 ton pun tidak,” kata seorang pedagang beras.
Di Manado, Sulawesi Utara, harga beras terus merangkak naik sejak November lalu. ”Saya tidak tahu kenapa harga naik terus,” kata Madi Latif, seorang pedagang beras di Pasar Bersehati, Manado. Menurut Broeri Tanauma, dari Dinas Perdagangan Sulawesi Utara, lonjakan harga dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak, Oktober lalu.
Di sejumlah daerah yang biasanya surplus beras, seperti Nusa Tenggara Barat, harga beras juga tinggi. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan NTB, Abdul Munir Oesman, bisa jadi itu karena sempat terjadi gagal panen, terutama di Kabupaten Bima.
Dari hasil pemantauan BPS, harga beras di tingkat eceran selama tiga bulan hingga pekan pertama bulan ini telah naik 7,23-8,46 persen. Untuk meredam gejolak harga itulah, sejumlah daerah—termasuk dua daerah penghasil beras di Jawa Tengah: Karanganyar dan Wonogiri—meminta Bulog melakukan operasi pasar.
Bupati Karanganyar dalam suratnya, 5 Januari lalu, meminta Bulog mengalokasikan beras untuk operasi pasar sebanyak 100 ton. Menjawab berbagai permintaan itu, Bulog mulai Senin pekan lalu telah melancarkan operasi pasar di delapan provinsi, antara lain Maluku, Aceh, Papua, serta di sebagian Jawa dan Sumatera. ”Karena stok beras memang sedang tipis,” kata Widjanarko.
Berdasarkan siklusnya, puncak produksi beras di Indonesia dalam setahun memang hanya berlangsung lima bulan, yaitu Maret hingga Juli. Panen raya dalam periode itu menghasilkan sekitar 60 persen dari total produksi. Karena itu, kata pengamat ekonomi pertanian, Bustanul Arifin, jika memang ada kekurangan stok beras di gudang Bulog, sebetulnya tak jadi soal mengimpor.
”Saya tak sepakat jika ada larangan impor permanen,” katanya. Yang jadi soal selama ini adalah stok beras yang tidak transparan, di samping silang-sengkarut di tubuh kabinet, hingga membingungkan masyarakat. ”Akibatnya, muncul anggapan pemerintah sekadar mencari justifikasi untuk impor beras.”
Metta Dharmasaputra, Ewo Raswa, Yophiandi, Mawar Kusuma, Imron Rosyid (Solo), Ahmad Alheid (Manado), Sujatmiko (Mataram), Syaiful Amin (Yogyakarta)
Jalan Berliku Impor Beras
24 Juni 2005 Menteri Perdagangan berniat memperpanjang larangan impor beras hingga akhir 2005, kecuali jika stok Bulog kurang dari 1 juta ton dan harga beras medium di pasar lebih dari Rp 3.500 per kilogram.
9 September 2005 Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Perdagangan, dan Bulog bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla. Bulog akan diberi izin impor beras 250 ribu ton, yang dilakukan bertahap pada Oktober 2005 hingga Januari 2006. Ini untuk menekan dampak inflasi kenaikan harga BBM pada 1 Oktober, karena harga beras mendekati Rp 3.500. Juga antisipasi meningkatnya permintaan beras menjelang Idul Fitri.
22 Oktober 2005 Rapat koordinasi terbatas memutuskan rencana impor 250 ribu ton beras asal Vietnam. Dilanjutkan dengan rapat koordinasi teknis pada 25 Oktober. Menteri Pertanian Anton Apriantono tak sepakat. Alasannya, masih ada surplus beras nasional 3 juta ton.
1 November 2005 Pemerintah mengeluarkan izin impor beras tahap I 70.050 ton dari Vietnam. Anton tetap tak sepakat. Data Departemen Pertanian menunjukkan stok nasional tahun ini surplus 2,1 juta ton (produksi beras 32,8 juta ton, konsumsi 30,7 juta ton). BPS justru memperkirakan adanya ancaman bahaya defisit 650 ribu ton.
19 Desember 2005 Setelah dilakukan penghitungan ulang, Anton Apriantono, selaku Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan, dalam jumpa pers mengakui stok beras nasional defisit 25 ribu ton. Perhitungan berdasarkan survei BPS 1996, yang diperbarui dengan data statistik 2004.
28 Desember 2005 Dalam rapat kabinet, Presiden meminta kekurangan stok beras dipenuhi dari dalam negeri lebih dulu. Tenggat 5 Januari.
6 Januari 2006 Departemen Perdagangan mengeluarkan izin impor beras untuk Bulog 110 ribu ton. Diperkirakan stok Bulog hingga akhir Januari hanya 868 ribu ton. Tambahan dari dalam negeri yang bisa diserap Bulog diperkirakan hanya 31,6 ribu ton.
9 Januari 2006 Bulog mulai melakukan operasi pasar di delapan provinsi. Sebab, pasokan beras di berbagai daerah menipis dan harga beras naik di atas patokan pemerintah Rp 3.500 per kilogram.
12 Januari 2006 Sidang Paripurna DPR setelah reses sejak 10 Desember. Usul untuk menggunakan hak angket yang diteken 113 anggota DPR diminta segera dibahas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo