Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TENGGAT 5 Januari yang dipatok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak terpenuhi. Hingga hari itu, Senin pekan lalu, Perusahaan Umum Bulog hanya mampu meneken kontrak pembelian beras 21,9 ribu ton dengan pedagang dan petani di dalam negeri.
Jumlah itu jauh dari cukup untuk memenuhi kekurangan batas aman stok beras pemerintah di gudang Bulog: 1 juta ton. Bolong yang harus ditambal mencapai 132 ribu ton. Karena itu, pilihan impor beras langsung diambil. Esoknya, Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, menerbitkan izin impor beras 110 ribu ton kepada Bulog.
Gelombang protes langsung meruyak. Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani Indonesia, Agusdin Pulungan, khawatir beras impor akan menekan harga beras di dalam negeri. ”Bulog tidak serius menyerap beras domestik,” katanya.
Ia menyebut sejumlah indikasi ketakseriusan itu. Salah satunya, Bulog hanya berkonsentrasi melakukan pembelian di Jawa, yang harga berasnya sudah melampaui harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 3.550 per kilogram. Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, yang masih menjual sesuai dengan HPP, tidak dilirik. Padahal, produksi gabah di kedua provinsi itu sekitar 9,7 persen dari produksi nasional.
Seorang pejabat Departemen Pertanian juga menuduh Bulog sengaja mempersulit penyerapan beras dengan memberikan syarat-syarat yang terlalu berat. Contohnya, calon pemasok diwajibkan menyediakan 2,5 persen dari beras yang akan dijual. Belum lagi soal denda keterlambatan hingga 2,5 persen dari nilai kontrak.
Dengan sederet persyaratan itu, para pemilik beras di Jawa Tengah, yang sebetulnya sanggup menyediakan 24.700 ton beras sesuai dengan HPP, belakangan menyerah. Bulog memang akhirnya mencabut persyaratan itu. Namun, waktu yang tersisa tinggal 7 jam dari tenggat 5 Januari pukul 24.00 WIB.
Kegagalan pengadaan beras dari dalam negeri, seperti yang terjadi pada bulan ini, bukan yang pertama. Sepanjang tahun lalu, Bulog juga tidak berhasil memenuhi target pengadaan beras. Dari rencana awal 2,2 juta ton, Bulog hanya bisa membeli 1,55 juta ton. Jika dibandingkan dengan stok pada 2003 yang 1,9 juta ton, dan 2004 sebanyak 1,7 juta ton, perolehan itu jelas jauh menurun.
Stok yang sudah rendah itu masih pula digerus oleh penyaluran beras untuk rakyat miskin 180 ribu ton per bulan. Akibatnya, pada November lalu, stok Bulog tinggal 950 ribu ton. Itu pula yang menjadi pendorong dibukanya pintu impor beras tahap pertama pada bulan yang sama sebesar 70.050 ton.
Direktur Utama Perum Bulog, Widjanarko Puspoyo, tak menampik kegagalan sepanjang 2005 dan Januari 2006 itu. Tapi ia menolak keras tuduhan telah sengaja mempersulit pengadaan beras dengan memberikan persyaratan superketat.
Menurut dia, kendala utama yang merintangi pengadaan beras tak lain adalah harga gabah dan beras yang di atas patokan pemerintah. Widjanarko mengutip data BPS yang menyebutkan, selama 10 bulan pada tahun 2005, harga rata-rata gabah kering panen Rp 1.460 per kilogram. Sedangkan HPP gabah ketika itu hanya Rp 1.330 per kilogram.
Nah, ketika harga bahan bakar minyak naik pada 1 Oktober lalu, harga gabah dan beras pun ikut terdongkrak. Dari berbagai daerah dilaporkan, sepanjang bulan ini harga rata-rata beras medium telah naik dari semula Rp 3.000-3.500 menjadi Rp 3.800-Rp 4.000 per kilogram.
Harga ini jelas di luar jangkauan Bulog. Sebab, berdasarkan Instruksi Presiden No. 13/2005 tentang Kebijakan Perberasan, Bulog dibatasi harga pembelian beras Rp 3.550 per kilogram. Instruksi ini dikeluarkan pada 10 Oktober 2005 sebagai pengganti inpres sebelumnya, yang menetapkan HPP Rp 2.790 per kilogram.
Dalih Bulog didukung Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kalimantan Selatan, Sriyono. Petani di daerah itu tak bersedia melepas berasnya ke Bulog karena harganya lebih rendah ketimbang harga pasar yang mencapai Rp 3.900 per kilogram.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan, Amal Natsir, mengatakan bahwa meski harga beras medium masih Rp 3.400 per kilogram, bukan berarti Bulog dapat mengumpulkan beras dengan mudah. Sebab, meski Sulawesi Selatan surplus 1,2 juta ton per tahun, kelebihan beras itu sudah dijual ke daerah lain yang kekurangan. ”Perlu diketahui juga, Bulog bukan membeli beras dari pedagang, tapi gabah petani yang saat ini belum panen,” katanya.
Tipisnya stok beras di daerah juga membuat Bulog harus ”rebutan” beras dengan Bupati Karanganyar, Banyumas, dan Wonogiri. Ketiga bupati di Jawa Tengah itu meminta pemilik beras menjual barangnya ke pasar ketimbang ke Bulog. Selain karena stok yang semakin tipis, harganya pun sudah kelewat tinggi.
Menindaklanjuti instruksi itu, dalam suratnya kepada Bulog, 11 Januari lalu, sebuah penggilingan beras di Karanganyar memohon pembatalan kontrak pengadaan beras dengan Bulog yang sudah diteken sebanyak 165 ton. Bupati Karanganyar, Rina Iriani Sri Ratnaningsih, turut menandatangani surat itu.
Persoalan lain menyangkut kesalahan penghitungan stok di daerah akibat penyimpangan yang dilakukan beberapa Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan. Lembaga ini adalah pengusaha setempat yang mendapat dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) senilai total Rp 460 miliar.
Tugasnya tak lain adalah membeli gabah petani untuk menambah serapan Bulog, sekaligus menjaga agar harga beras tidak jatuh. Dana itu bukan cuma-cuma, tapi harus dikembalikan ke pemerintah paling lambat 15 Desember 2005, setelah beras terjual.
Tapi kenyataannya, meski beras sudah habis terjual, dana itu tak kunjung dikembalikan. Kepada Dinas Pertanian setempat, pengurus Lembaga mengaku beras belum terjual. Informasi salah inilah yang kemudian menjadi bahan laporan Dinas Pertanian dengan kesimpulan bahwa stok beras masih ada.
Buat Agusdin, semua penjelasan Bulog itu tak bisa diterima. Pangkal persoalan sebenarnya, menurut dia, tetap pada kebijakan HPP. Karena itu, ia mendesak pemerintah kembali menaikkan HPP dengan memberikan tambahan subsidi Rp 150 per kilogram, sehingga HPP menjadi Rp 3.700 per kilogram.
HPP sekarang, kata Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia ini, sudah tak patut lagi. Petani terimpit oleh biaya produksi yang terus meningkat, seperti kenaikan harga pestisida, benih, dan transportasi. ”Harus ada kebijakan khusus agar HPP sewaktu-waktu bisa diubah,” katanya.
Pemerintah sepertinya berat menerima usul itu. Kepada Tempo, Menteri Pertanian Anton Apriantono mengatakan, sulit bagi pemerintah untuk mengubah HPP secara mendadak. Sebab, HPP berkaitan erat dengan subsidi di APBN, yang terikat dengan Undang-Undang APBN.
Walau HPP tidak ditambah, Anton tetap optimistis target pengadaan beras dalam negeri sebanyak 2,1 juta ton tahun 2006 bakal tercapai. ”Saya yakin, kalau ada niat lurus dan kuat untuk menyerap gabah dan beras dari petani, insya Allah bisa,” ujarnya.
Menurut Widjanarko, kenaikan HPP juga akan membuat subsidi negara membengkak. Tahun lalu saja, dengan HPP beras Rp 2.790 per kilogram, subsidi yang dikeluarkan mencapai Rp 2.343 per kilogram untuk 2 juta ton pengadaan beras buat rakyat miskin. Ini berarti total subsidi mencapai sekitar Rp 4,68 triliun.
Karena itu, ia lebih setuju jika subsidi diberikan dalam bentuk subsidi input berupa benih gratis bagi tiga juta hektare sawah di sentra produksi beras. Ongkos yang dikeluarkan paling-paling hanya Rp 270 miliar per tahun. Lewat subsidi benih berkualitas ini, diharapkan produktivitas petani bisa ditingkatkan dari 4,5 ton menjadi 7 ton gabah per hektare.
Ramalan BPS dan perhitungan komisi ahli Dewan Ketahanan Pangan memperkuat analisis kader PDI Perjuangan itu. BPS menghitung, lahan padi turun dari 11,9 juta hektare pada 2004 menjadi 11,8 juta hektare tahun lalu.
Dampaknya, produksi gabah kering giling juga turun dari 54.088.468 ton menjadi 53.984.590. Berdasarkan prediksi itulah, komisi ahli itu memperkirakan gabah yang menjadi beras hanya 31.627.628 ton. Dengan total konsumsi sebesar 31.652.556 ton per tahun, berarti Indonesia defisit 25 ribu ton beras.
Sebagian petani rupanya juga tak sepakat dengan usul tentang kenaikan HPP. Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan, Winarno, berpendapat bahwa HPP saat ini sudah ideal untuk menjaga agar harga beras tidak tertekan.
Kenaikan HPP hingga di atas harga internasional, kata dia, malah akan memberikan insentif bagi penyelundup serta mendorong laju inflasi. Ia pun berpendapat kenaikan harga lebih dikarenakan stok beras menurun. Karena itu, ”Solusi paling jitu adalah menambah pasokan,” ujarnya.
Efri Ritonga, Ewo Raswa, Irmawati (Makassar), Khaidir Rahman (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo