Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minggu dua pekan lalu, Raghad Hussein sedang asyik menonton opera sabun di televisi. Tiba-tiba sebuah berita penting menyela di layar, menayangkan sebuah sosok yang begitu ia kenal: ayahnya sendiri, Saddam Hussein. Dia tak percaya melihat ayahnya diperiksa hingga ke lapisan email giginya, setelah dicokok dari "lubang tikus"-nya. Berjam-jam lamanya putri sulung Saddam ini memastikan penangkapan itu dengan menelepon kerabatnya. Sesudah yakin, ia hanya bisa terduduk di lantai, menangis.
"Kenyataan ini begitu menyakitkan," ujarnya ketika diwawancarai televisi CNN, Kamis pekan silam. Wanita 35 tahun ini menumpahkan segala unek-uneknya. Ia sama sekali tak menyangka, ayahnya yang tak gampang menyerah bisa tertangkap. Raghad Hussein semakin sedih karena kemungkinan sang ayah bakal diadili di Irak. Jika ini terjadi, Saddam Hussein sulit mendapat perlakuan yang adil karena pengadilan di sana berada di bawah bayang-bayang pemerintahan sementara bentukan Amerika Serikat. "Kami menginginkan dia disidang secara adil di bawah pengawasan lembaga hukum internasional," kata Raghad, yang kini berada di Amman.
Isyarat memang telah dikedipkan petinggi Dewan Pemerintahan Irak jauh hari, bahkan sebelum Saddam ditangkap, dengan dibentuknya sebuah pengadilan khusus bagi Saddam dan rezimnya. Setelah bekas pemimpin Irak ini dibekuk, mereka pun sepakat mengadili di depan publik negerinya. Kecil kemungkinannya melibatkan hakim-hakim internasional. "Kami hanya memintanya jika dianggap perlu," ujar Adnan Pachahci, seorang anggota Dewan Pemerintahan.
Bukan cuma putri Saddam yang risau. Para aktivis hak asasi manusia juga ikut mengkhawatirkan nasib bekas diktator itu jika diadili di Irak. Dicemaskan, pengadilan tersebut akan diselimuti rasa dendam. Apalagi jika hakimnya berasal dari Syiah, kalangan yang sempat dibantai oleh rezim yang dipimpin Saddam. "Memang penting bagi rakyat Irak untuk mengadili Saddam. Tapi, tak kalah pentingnya pula mencegah pengadilan jadi arena balas dendam," ujar Kenneth Roth, Direktur Eksekutif Human Rights Watch. Ia menyarankan agar ahli hukum internasional dilibatkan dalam proses pengadilan itu.
Yang paling dikhawatirkan, jika Saddam dituntut dengan hukuman mati. Ini bisa saja terjadi, kendati Dewan Pemerintahan Irak menunda pemberlakuan hukuman mati hingga penyerahan kedaulatan Irak, Juli tahun depan. Siapa yang bisa menjamin aturan ini tidak diubah? Apalagi Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, amat geram terhadap musuh bebuyutannya ini. "Saddam adalah pembunuh. Keadilan bagi seorang tiran yang paling kotor seperti dia adalah hukuman mati," ujarnya.
Keinginan seperti itu bisa dinilai sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Kalangan aktivis hak asasi berpendapat, diktator sejahat apa pun tetap berhak untuk hidup. Bahkan Presiden Iran, Mohammad Khatami, juga tidak setuju Saddam dihukum mati. Padahal, dalam perang Irak-Iran, rakyat Khatami pernah menjadi korban pembantaian tentara Saddam.
Dari catatan sejarah sendiri tidak ada yang bisa diteladani dalam "menghukum" diktator yang brutal. Mussolini digantung di depan publik, Hittler bunuh diri, Pol Pot lari ke hutan hingga mati, dan Nicolae Ceausescu diseret keluar dan ditembak usai pengadilan yang singkat.
Mungkinkah Saddam diadili oleh Mahkamah Internasional? Sulit sekali. Kejahatan sang diktator lebih banyak dilakukan sebelum 20 Juli 2002, saat Mahkamah Internasional (International Crime Court) dibentuk. Padahal akta ini tidak berlaku surut. Selain itu, Amerika Serikat sendiri, yang tidak mau ikut menandatangani akta itu, sudah pasti tidak mau menggiring Saddam ke sana.
Bisa saja ia diadili oleh pengadilan internasional yang disponsori PBB. Hanya, selain biayanya besar, juga dibutuhkan waktu yang lama. Untuk mengadili kejahatan perang di Yugoslavia, misalnya, dibutuhkan dana hingga US$ 94 juta buat membayar 778 staf peradilan dari 63 negara.
Pilihan yang paling mungkin, menurut sejumlah pengamat internasional, mengadilinya lewat pengadilan campuran. Pengadilan tetap digelar di Irak tapi sebagian hakimnya berasal dari negara lain. Cara ini pernah dipakai untuk mengadili kejahatan perang di Kamboja dan Sierra Leone.
Biasanya, menurut Arief Havas Oegroseno, Direktur Hukum Internasional Departemen Luar Negeri Indonesia, pengadilan campuran menggunakan dua tingkat: pengadilan tingkat bawah yang dipimpin oleh hakim-hakim Irak, lalu pengadilan tingkat banding yang diisi dengan hakim lokal dan internasional.
Apa pun jenis pengadilan yang akan digelar buat Saddam, sederat tuduhan telah tersusun. Kemungkinan besar ia akan dijerat dengan dua tuduhan utama: pembunuhan kaum Kurdi pada 1988, dan pembantaian sekitar 30 ribu kaum Syiah di Irak Utara dan Selatan.
Yang cukup pelik, mengumpulkan fakta-fakta yang akan dipakai untuk menuntut Saddam. Meskipun puluhan korban pembantaian didapati dalam kuburan massal yang ditemukan (lihat, Setumpuk Dosa Saddam), tak satu pun yang memiliki data forensik lengkap. Kebanyakan para korban ini digali hanya untuk mengenali apakah ada kerabat mereka di sana, dan dikubur lagi. Belum lagi dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengumpulkan berbagai dokumen resmi pemerintahan Saddam. Sebab, tidak bisa menuntut Saddam hanya dari pengakuan orang yang pernah disiksa Saddam. Rabu pekan lalu, Dewan Pemerintahan Irak baru berkumpul untuk membicarakan teknis penyidikan dan pengadilan, termasuk menentukan para hakimnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang semula diabaikan, juga tidak tinggal diam. Jumat pekan lalu, Sekjen PBB, Kofi Annan, meminta Dewan Pemerintahan Irak supaya duduk semeja dengan PBB pada 15 Januari nanti. "Kini saatnya duduk bersama. Saya harap kami akan mengeluarkan keputusan bagaimana pengadilannya," Annan menegaskan. Sedikitnya, Annan ingin memastikan, meskipun pengadilan itu dilaksanakan di Irak, harus ada kepastian diberlakukannya standar hukum internasional.
Dewan Pemerintahan Irak akhirnya menyambut ajakan Annan. Bahkan, menurut Pachachi, Dewan sangat mengharapkan bantuan PBB, terutama saat transisi kedaulatan Irak Juli nanti tahun depan. Jadi, untuk sementara, Raghad Hussein bisa mengusir kecemasan atas nasib ayahnya.
Endah W.S. (berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo