Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
La fiesta esta terminada, pesta itu lekas berlalu. Sebuah penangkapan, sebuah pesta kemenangan, dan sekonyong-konyong kita pun melihat satu persoalan baru di pucuk tumpukan masalah kompleks di Negeri Seribu Satu Malam itu: pengadilan Saddam Hussein (lihat, Kecemasan Sang Putri).
Kita tahu, persoalan Irak setelah perang singkat yang mengakhiri kepemimpinan Saddam Hussein itu sama sekali tidak sederhana. Di Kota Bagdad, ada orang-orang seperti Yahya Hassan, 35 tahun, serta ratusan orang muda lain yang merayakan penangkapan Saddam bak merayakan pesta perkawinan meriah. Malam itu, Sabtu malam, beberapa jam setelah penangkapan bersejarah itu dimaklumkan, Yahya Hassan bergabung dengan massa yang menari, menyanyi bersama, melemparkan kembang gula ke udara.
Tapi inilah Irak. Esok harinya, tatkala tayangan di televisi masih memutar adegan Yahya yang bersuka-cita, tiba-tiba muncul satu lukisan berbeda: bertolak belakang, tapi melengkapi pesta-pora Yahya. Di Husseiniya, kota yang terletak 30 kilometer di sebelah utara Bagdad, sebuah Toyota Land Cruiser penuh muatan bahan peledak meluncur menerobos pagar kantor polisi Zuhour. Polisi lantas menyambut dengan berondongan senapan-tembakan jitu yang akhirnya memicu ledakan besar yang menewaskan delapan orang, termasuk enam polisi, dan melukai 20 lainnya.
Inilah panorama Irak kini. Saddam, pemimpin berpistol-bersenapan yang jadi simbol perlawanan, telah ditangkap sonder melawan di lubang persembunyiannya yang sempit. Tapi perlawanan terhadap kehadiran pasukan dan kepentingan Amerika Serikat berikut sekutunya tak kunjung berakhir. Kekerasan dan pertumpahan darah adalah gambaran keseharian di berbagai kota di Irak, terutama di Bagdad dan sabuk Segitiga Sunni, Irak dari utara sampai barat di luar wilayah suku Kurdi.
Di Tikrit, kota kampung halaman Saddam, sekitar 160 km dari Bagdad, perlawanan langsung meledak sehari setelah pengumuman penangkapan tersebut. Hari Minggu, dua pekan lalu, sekitar 700 warga tumpah ke jalan dan berteriak: "Saddam ada di hati kami, Saddam ada di darah kami." Tak pelak, dalam waktu singkat, baku tembak dengan pasukan Amerika pun pecah. Terakhir, Selasa pekan silam, sergapan mendadak dan ledakan bom mengakibatkan tiga tentara Amerika terluka. Pasukan Amerika menangkap 11 tersangka gerilyawan yang berencana melakukan penyergapan. Baku tembak juga terjadi di Fallujah, 50 kilometer dari Bagdad, kota berpenduduk mayoritas Sunni yang rajin mengangkat senjata.
Di Tikrit dan kota-kota yang menjadi kantong kaum Sunni lainnya, Saddam mungkin masih menjadi tambatan hati masyarakat. Tapi, di luar itu, tampaknya rasa benci terhadap pendudukan Amerika dan sekutunya melampaui rasa sayang dan hormat pada Saddam Hussein. Itulah yang mendorong baku tembak di Samarra, sekitar 100 km dari ibu kota. Di Ramadi, tak jauh dari Fallujah, sekitar 750 warga membakar dua kantor cabang partai yang terwakili dalam Dewan Pemerintah Irak. "Kami berperang bukan untuk Saddam," ujar Ahmed Jassim, seorang mahasiswa di Fallujah. Dari mulutnya, meluncur alasan kenapa ia bertempur menentang Amerika: "Kami berjuang untuk negeri kami, untuk kehormatan, untuk Islam."
Keberadaan sosok seperti Ahmed Jassim, anak muda yang terpaksa mengangkat senjata, terlibat dalam gerilya kota, sebenarnya antara ada dan tiada. Pasukan Amerika hanya bisa menyaksikan samar: mereka beraksi, menghantam kepentingan-kepentingan Amerika; sesudah itu raib, berbaur dengan masyarakat biasa. Namun, Brigjen Martin E. Dempsey, Komandan Divisi Lapis Baja I, menaksir kekuatan mereka mencapai 5.000 orang: seribu di Bagdad, sisanya di kota-kota lain. Belakangan, para pejabat di Washington mengakui makin banyak kelompok pemberontak yang harus dihadapi. Setidaknya ada 15 kelompok tersebar di seluruh tanah Irak. Terakhir, penangkapan Saddam sedikit membawa titik terang. Dokumen yang ditemukan saat penangkapan Saddam menunjukkan adanya 14 sel gerakan bawah tanah. "Menurut saya, jaringan yang ada di sini jelas bertanggung jawab untuk pendanaan sel," ujar Dempsey.
Irak adalah habitat sejumlah gerakan perlawanan. Di sana, pelbagai kelompok berjuang dengan nawaitu yang berbeda, tapi dengan langkah yang sama: memerangi Amerika. Di negeri itu, anggota Partai Sosialis Baath yang berkuasa di masa Saddam "menyelamatkan" diri. Demikian pula jaringan intelijen Saddam, Garda Republik. Kelompok nasionalis Fedayin menentang pendudukan pasukan asing Amerika, bersekutu dengan kelompok-kelompok agama yang ingin memerangi orang kafir (Amerika). Stasiun televisi Al-Jazeera pernah mempelajari ideologi mereka yang beragam: nasionalis, sosialis, hingga Islam salafi.
Setelah serangkaian bom mobil dan bom bunuh diri, kabarnya kerja sama di antara mereka makin meningkat dan rapi. Biasanya bekas pendukung Saddam—anggota Baath, Garda Republik, atau Fedayin—melakukan serangan terpisah di kantong-kantong terpisah di Segitiga Sunni, kawasan ke arah barat dan utara Bagdad. Mereka juga melakukan gerilya di ibu kota, yang penuh dengan pasukan internasional.
Salah satu kelompok jaringan sel yang sempat terbuka dipimpin oleh Abu Ali, bekas tentara di masa Saddam yang pernah mendapat latihan program persenjataan di Eropa. Pria yang bermarkas di Bagdad ini memimpin jaringan beberapa sel yang dalam sebuah pertemuan November lalu pernah menghadirkan delapan komandan sel perlawanan dari sel-sel yang berbeda, tidak cuma dari kelompok pendukung Saddam. Kelompok ini cukup terkoordinasi dalam operasi dan menggunakan hierarki yang ketat. Persenjataan mereka pun kian canggih, meski bikinan sendiri. Selain ada AK-47 ataupun mortir, menurut Abu Ali, mereka sedang mengembangkan peluncur rudal helikopter dari darat.
Selama ini, kalau mereka melakukan operasi, sel-sel di berbagai kota langsung di bawah komando Abu Ali. Mereka bersama mempertimbangkan informasi soal gerakan pasukan Amerika dan pemilihan target. Ketika sudah dipastikan targetnya dan sel tersebut sudah siap, serangan dilakukan secara independen oleh sel yang ada di kota tertentu. Tetapi terkadang dilakukan rotasi operasi, yakni sel di sebuah kota akan melakukan operasi di wilayah lain untuk mengelabui pasukan Amerika dalam mengidentifikasi mereka
Di samping mereka, Amerika dan Inggris juga menyebut-nyebut kelompok jaringan Al-Qaidah, yang kemungkinan besar lewat kelompok Ansar al-Islam. Ada laporan yang menyatakan Al-Qaidah berencana mengalirkan US$ 3 juta yang biasa digunakan di Afganistan untuk operasi di Irak. Tanah bekas kekuasaan Saddam yang sekarang dikuasai Amerika dan sekutunya ini sepertinya akan menjadi panggung utama kelompok yang dipimpin Usamah bin Ladin ini. Pada Maret lalu, markas Ansar yang berbasis suku Kurdi dan bermarkas di wilayah pegunungan bagian utara Irak ini dihujani bom oleh pesawat-pesawat pasukan Amerika. Ratusan pejuang dan warga di sana tewas dalam serangan tersebut. Menurut seorang pejabat intelijen Amerika, sel-sel Ansar juga beroperasi di Bagdad, Kirkuk, Mosul, Samarra, dan Haweja.
Kelompok lain yang juga diwaspadai dan memberikan warna sendiri dalam gerakan perlawanan adalah kelompok mujahid asing. Mereka menganggap perjuangan di Irak adalah jihad menyingkirkan penguasa kafir dari negeri muslim. Meski jumlahnya tak seberapa, secara psikis ini besar bagi perlawanan. Mereka berdatangan dari negara-negara lain di Timur Tengah seperti Yordania, Arab Saudi, Suriah, dan Yaman, serta sedikit dari Barat. Bagaimana nasib para musuh Saddam kini?
Irak adalah negeri yang terbelah. Di kawasan selatan, ada kelompok Syiah yang menjadi bulan-bulanan rezim Saddam tapi sekarang belum memberi jaminan setia kepada pemerintahan dukungan pendudukan Amerika. Syiah, mayoritas di negeri itu (di atas 50 persen), mengamati perkembangan ini dengan hati-hati. Kaum Syiah tentu saja tidak menyukai Saddam, tapi itu tak membuat mereka berdiri di satu kubu dengan pasukan pendudukan Amerika. Sentimen anti-Amerika pernah mengemuka Juli lalu di Najaf dan Basrah. Ribuan warga turun ke jalan dan berteriak-teriak agar Amerika segera cabut.
Kita tahu, keberadaan tentara Amerika di Irak bukan untuk mencari popularitas—apalagi di bawah tekanan-tekanan kelompok di atas, di bawah ancaman bom mobil dan bom bunuh diri. Amerika mencoba membersihkan Irak dari kelompok-kelompok pro-Saddam, namun musuh-musuh baru yang sama sekali tidak pro-Saddam bermunculan. Menghadapi perang gerilya kota, pasukan Amerika seolah mengikuti cara Israel meredam perlawanan Palestina. Memenjarakan keluarga tersangka pejuang gerilya, mengisolasi sebuah kampung dengan kawat berduri, bahkan kadang menggunakan buldoser buat menghancurkan bangunan yang digunakan penyerang. Hal itu terjadi di Samarra, yang konon tempat bersembunyi 1.500 gerilyawan.
Berapa lama Amerika akan bertahan? Qusay dan Uday, putra Saddam bekas Kepala Intelijen Brigade Nasional, tewas dalam tembak-menembak Juli lalu. Tapi Brigade Nasional cepat mengkonsolidasi diri, tak lekas limbung. Dua pekan lalu, Saddam sendiri, dengan rambut yang awut-awutan dan wajah letih, tertangkap di sebuah "lubang tikus". Ia lebih menyerupai seorang tua yang mencoba menyelamatkan diri ketimbang terlibat dalam perlawanan anti-Amerika. Saddam mungkin simbol perlawanan yang memudar. Tapi, serangan terhadap Amerika Serikat tak kunjung kendur. Hingga pertengahan pekan lalu, setidaknya 314 tentara Amerika tewas di Irak, sejak Presiden Bush mengumumkan pertempuran besar telah usai, Mei lalu.
Purwani Diyah Prabandari (Al Jazeera, BBC, ABCNews, The Guardian, Time)
Kantong-Kantong Perlawanan Anti-AS
Samarra
Ramadi
Falluja
Mosul
Najaf
Nasiriya
Tikrit
Bagdad
Basra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo