Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah filosofi Syafruddin Temenggung tatkala didapuk untuk memimpin Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebuah superinstitusi dengan gunungan masalah yang berlapis-lapis: tut wuri pada pemikiran Nelson Mandela. "Saya ingin menjadi seperti Nelson Mandela," ujarnya kepada TEMPO. Pemimpin besar dari Afrika Selatan itu berhasil membawa negerinya menuju rekonsiliasi setelah politik pemisahan kulit berwarna melahirkan gunungan dendam dan penderitaan selama berabad-abad dengan satu mantra, yakni melupakan masa silam-seperti yang ditulisnya dalam Road to Freedom.
Akan halnya Syafruddin Temenggung, dia juga mengurusi sepotong masa silam Indonesia yang tak kalah kelamnya: para konglomerat yang gemar mengemplang utang sehingga merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah. Jadi, haruskah masa lalu para raja utang ini dilupakan begitu saja? "Sebagian besar debitor itu kooperatif dan bekerja sama, tapi sekitar sembilan orang yang bandel tetap menghadapi jalur hukum," kata Syaf-panggilan akrab Ketua BPPN ini. Lalu dia menambahkan, "Toh, tetap ada 'harga' yang harus dibayar bersama."
Syaf melangkah ke pintu BPPN pada April 2002. Didirikan pada 1998 oleh mantan presiden Soeharto, lembaga ini diberi setumpuk kewenangan luar biasa: mulai dari merestrukturisasi bank, mengelola dan menjual aset negara, menagih utang konglomerat, hingga menyeret debitor nakal ke jalur hukum. Awalnya, dengan aset mencapai Rp 600 triliun, BPPN menjadi lembaga "terkaya" di republik ini. Ibarat sapi perah yang sehat dan gemuk, BPPN pun memikat setiap penguasa untuk menempatkan "orang"-nya di institusi ini-dari B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati. Sebut contoh Gus Im, adik kandung bekas presiden Abdurrahman Wahid. Dia pernah menjadi "staf khusus" di BPPN pada era Presiden Abdurrahman. Kepada TEMPO Gus Im mengaku bertugas "memelintir tangan" para debitor yang tak mau membayar utang.
Tak mengherankan bila lembaga ini sampai terhuyung-huyung karena sarat oleh aneka konflik kepentingan. Sejak berdiri, BPPN tujuh kali gonta-ganti pimpinan. Glenn M.S. Yusuf, Cacuk Sudarijanto, Edwin Gerungan, dan Putu Ary Suta, sempat menjadi nakhoda BPPN. Kini Syafruddin Arsyad Temenggung, lelaki kelahiran Palembang 44 tahun lalu, berikhtiar untuk menjadi Ketua BPPN yang terakhir. Pada 17 November lalu, Syaf mempresentasikan rencana penutupan BPPN di depan sidang kabinet. Hasilnya, "Tak ada yang menolak usul saya," ujarnya. Bila tak ada aral, pada 27 Februari 2004 BPPN akan benar-benar dilikuidasi.
Toh, meski palu telah diketukkan, rencana penutupan BPPN masih menyisakan sejumlah tanda tanya besar. Maklumlah, sisa aset yang ditinggalkan BPPN masih sekitar Rp 47 triliun. Banyak yang curiga, penutupan tersebut untuk mengalihkan aset bobrok tersisa ke lembaga lain. Belum lagi soal tudingan permainan politik menjelang Pemilu 2004. Untuk mengupas pelbagai persoalan penutupan BPPN, pekan lalu wartawan TEMPO Setiyardi, Muhamad Teguh, dan Heri Susanto mewawancarai Syaf di ruang kerjanya-di lantai 24 Gedung Aetna, Danamon, Jakarta.
Berikut ini petikannya.
Dalam sidang kabinet pada 17 November 2003, Anda ngotot menutup BPPN. Bagaimana ceritanya?
Penutupan BPPN adalah sebuah keharusan. Saya punya empat landasan: legal, teknis, ekonomi, dan sosial-politik. Secara legal, undang-undang mengharuskan BPPN segera ditutup. Secara teknis, sejak tahun 2001 ada percepatan penyelesaian pekerjaan BPPN. Sebelumnya, BPPN masih mencari bentuk dan tak bisa bekerja karena gonjang-ganjing politik. Nah, saat ini secara teknis BPPN sudah hampir merampungkan tugasnya. Secara ekonomi, sistem perbankan mulai jalan. Kondisi makroekonomi juga membaik. Sedangkan secara sosial-politik, saya ingin bangsa kita melihat ke depan. Banyak hal penting yang dapat dilakukan untuk melakukan perbaikan ekonomi bangsa.
Kami mendengar, Menteri Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Menteri Keuangan Boediono sempat memutuskan untuk memperpanjang tugas BPPN?
Benar. Mungkin karena mereka menerima input dari pelbagai sumber yang keliru. Lagi pula, sebagai menteri mereka punya tanggung jawab yang lebih komprehensif. BPPN merupakan salah satu mata rantai ekonomi kita.
Anda menentang keputusan kedua menteri tersebut?
Birokrasi tak menutup kemungkinan perbedaan pendapat-selama ada argumentasi yang masuk akal. Tapi sebetulnya Pak Djatun tak menolak penutupan BPPN. Sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Pak Djatun memberikan beberapa pertimbangan. Akhirnya beliau bisa menerima penjelasan saya.
Bagaimana dengan Menteri Keuangan? Dia tidak hadir dalam presentasi Anda pada 17 November itu.
Mungkin sedang ada urusan. Saya tidak tahu. Biasalah. Nah, presentasi dalam sidang kabinet pada 17 November itu saya lakukan di hadapan presiden, wakil presiden, para menteri koordinator dan menteri terkait. Dan sidang kabinet setuju untuk menutup BPPN. Tak ada satu pun yang menolak.
Ini salah satu informasi yang sampai ke kami: bahwa Anda menemui Taufiq Kiemas sebelum sidang....
Never ever! Saya tidak bertemu dengan Pak Taufiq. Kalau dengan Pak Laks, (Laksamana Sukardi, Menteri Negara BUMN), saya memang selalu bertemu. Tapi hubungan kami adalah hubungan atasan-bawahan yang profesional. Selama di BPPN saya tak pernah mengambil keputusan dengan intervensi politik.
Ada yang bilang penutupan BPPN adalah salah satu cara untuk menaikkan pamor PDI Perjuangan?
Semua aspek dalam sistem sosial saling berhubungan-seperti bejana berhubungan. Kalau ada partai politik yang mengambil keuntungan dari penutupan BPPN, ya... serahkan pada sistem politik saja. Saya tak punya tujuan ke arah politik, dan saya bukan politikus.
Dari sekian banyak Ketua BPPN, Anda dikenal paling berani mengobral aset negara. Apa filosofi Anda dalam menjalankan BPPN?
Begini. Saya ingin seperti Nelson Mandela, yang berhasil melakukan rekonsiliasi di negerinya dengan cara melupakan masa lalunya dan selalu melihat ke depan. Kita jangan selalu mencari-cari kesalahan masa lalu, tapi justru harus berupaya memperbaiki masa lalu itu. Dan betapa sulitnya melakukan penegakan hukum di republik ini. Di pengadilan, BPPN justru sering dikalahkan. Bahkan banyak aset negara yang kemudian disita pengadilan. Padahal fatwa Mahkamah Agung jelas-jelas melarang hal itu.
Jadi, menurut Anda para konglomerat dengan utang yang mahabesar itu sebaiknya dilupakan saja?
Begini. Saya yakin bangsa kita akan mampu menjadi bangsa yang besar jika kita tidak terpaku pada masa lalu dan mampu melihat ke depan. Nah, dalam soal program penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) memang masih ada sedikit persoalan. Dari 39 debitor, ada 30 yang kooperatif dan sedang dalam penyelesaian. Tapi ada 9 debitor yang tidak kooperatif. Mereka kini tengah menghadapi proses hukum. Sesungguhnya, saya amat sedih melihat berbagai aset BPPN: sungguh bobrok dan mencerminkan perilaku para pengusaha kita dalam berbisnis di Indonesia.
Tapi ramai beredar kabar bahwa BPPN justru menjual kembali aset-aset itu kepada pemilik lama dengan harga murah. Apa komentar Anda?
Tidak! Itu tidak benar. Tapi memang ada "biaya" yang harus ditanggung bersama.
Bagaimana pencapaian target kerja BPPN hingga menjelang tenggat penutupan?
Secara teknis, BPPN hampir merampungkan tugasnya. Restrukturisasi perbankan sudah selesai. Soal aset kredit pada Februari 2004 akan selesai hingga 95 persen. Sisanya, 5 persen terkait dengan the big five: Texmaco, Bali Nirwana Resort, Dipasena, PT Dirgantara Indonesia, dan Tuban Project. Kelimanya bernilai Rp 44 triliun. Kami akan mencoba menyelesaikannya satu per satu.
Bagaimana nasib sisa aset yang ada di BPPN?
Ada sisa aset sekitar Rp 47 triliun dan saham di bank. Akan dibuat satu holding company untuk mengurus sisa aset: saham bank, saham nonbank, aset kredit, dan aset properti. Dalam letter of intent yang baru, pemerintah memutuskan aset ini akan dikelola di bawah Kantor Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Badan ini akan tutup. Berapa besar pesangon yang disiapkan untuk karyawan BPPN?
Kami akan menggunakan batas minimum pesangon di UU Ketenagakerjaan. Besarnya sedang dihitung. Yang pasti, jauh di bawah angka Rp 1 triliun. Saya mendengar ada orang yang mengembuskan isu angka pesangon mencapai Rp 10 triliun. Itu isu ngawur yang dibuat oleh bekas orang BPPN yang telah saya pecat.
Bila BPPN ditutup, yakinkah Anda bahwa krisis perbankan tak akan terulang?
Saya tak ingin kita seperti keledai yang melakukan kesalahan yang sama dua kali. Dulu kita terjerumus ke jurang krisis yang dalam karena buruknya kinerja Bank Indonesia, mismanajemen perbankan, serta bobroknya perusahaan. Nah, ke depan kesalahan ini jangan sampai terulang.
La, justru Bank BNI bobol Rp 1,7 triliun belum lama ini....
Itu yang saya tak habis pikir. Setelah kita baru melewati krisis perbankan, ada pembobolan BNI. Yang menyakitkan hati saya, ada seorang pejabat Bank Indonesia yang menyebut kasus L/C fiktif di BNI sebagai wake up call. (Deputi Senior Gubernur BI Anwar Nasution menyebut istilah "wake up call" dalam wawancara dengan sejumlah wartawan-Red.). Ini benar-benar gila. Berarti selama ini mereka tidur. Sebagai orang muda, saya marah atas pernyataan tersebut. Ngapain aja lu selama ini?
Ada kesan Anda punya masalah pribadi dengan Bank Indonesia?
Saya tak punya problem pribadi dengan BI. Tapi harus jujur diakui bahwa BI telah menjerumuskan kita ke lembah krisis ekonomi yang amat dalam. Bayangkan, kucuran Rp 144 triliun BLBI kepada bank hanya dijamin dengan jaminan sekitar Rp 12 triliun (9 persen). Jelas sudah bahwa BI tak melakukan prinsip kehati-hatian. Saya tak mengada-ada. Data ini terungkap dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan. Agar tak terulang, fungsi BI sebagai lender of the last resort (tumpuan terakhir) memang harus dicabut.
Jadi, Anda setuju dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menggantikan peran BI mengawasi bank?
Ya, seharusnya pemerintah segera membuat OJK. Tak usah pusing-pusing dengan penolakan BI. Soalnya, OJK tersebut sudah diputuskan dalam undang-undang. Kalau pengawasan bank dipisahkan dari BI, kita tak perlu mengeluarkan Rp 650 triliun seperti dulu. Saya heran dengan amendemen Undang-Undang BI (Wawancara dilakukan sehari sebelum pemerintah dan DPR sepakat menunuda OJK hingga tahun 2010-Red.). Jelaslah bahwa pemerintah terlalu lemah.
Berapa recovery rate yang dicapai BPPN?
Recovery rate BPPN sekitar 28 persen. Seharusnya BPPN mendapat bonus dan penghargaan atas prestasi tersebut. Angka tersebut cukup baik jika dibandingkan dengan Malaysia dan Korea, yang pencapaiannya 20 hingga 30 persen. Bahkan recovery rate Cina cuma mencapai 9 persen.
Tapi banyak yang mempertanyakan angka 28 persen itu....
Memang ada pengamat yang tak mengakui formula penghitungan tersebut. Mereka bilang bunga obligasi pemerintah senilai Rp 650 triliun harus dihitung. Katanya, recovery rate-nya cuma 5 persen. Bagi saya, logika berpikir seperti itu tidak jelas. Soalnya, setoran BPPN ke pemerintah sebesar Rp 170 triliun tak dibungakan. Jadi, kita harus membaginya apple to apple.
Korea, Malaysia, dan Thailand recovery rate-nya memang lebih rendah, tapi mereka kan pulih lebih cepat. Sedangkan BPPN mencapai angka 28 persen dalam waktu lima tahun. Apakah ini masih bisa disebut prestasi?
Secara makro, krisis Indonesia jauh lebih dalam dan kompleks. Ongkos krisis kita sebesar Rp 650 triliun sebanding dengan 70 persen produk domestik bruto. Sedangkan mereka cuma 15-25 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berkontraksi 18 persen. Sedangkan kontraksi mereka cuma 5 persen. Belum lagi perubahan nilai tukar kita yang meningkat delapan kali lipat. Sedangkan mereka cuma meningkat dua kali lipat.
Ada penilaian bahwa persoalan justru ada di institusi BPPN sendiri?
Memang, dalam tiga tahun pertama BPPN masih mencari bentuk. Belum lagi akibat gonjang-ganjing politik yang membuat Ketua BPPN gonta-ganti hingga tujuh kali. Lagi pula, dibandingkan dengan lembaga sejenis di Malaysia, Thailand, dan Korea, BPPN adalah sebuah superinstitusi. Mereka cuma punya unit asset management credit (AMC). Sedangkan BPPN mengurusi AMC, nonperforming loan, PKPS, restrukturisasi bank, penjaminan, dan persoalan hukum yang diwariskan bank-bank kolaps. Sebenarnya, yang harus menangani BPPN adalah seorang superman.
Mengapa BPPN membutuhkan waktu tiga tahun untuk sekadar "mencari bentuk"?
Sebagian besar orang BPPN berasal dari swasta. Saya khawatir, penghayatan mereka terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku tak sepenuhnya baik. Itu yang membuat mereka tak bisa tegas mengambil sikap untuk menyelesaikan masalah.
Tahukah Anda bahwa Anda dikenal dengan julukan "Raja Obral"?
Memang, dalam periode saya ada program penjualan aset kredit (PPAK) senilai Rp 130 triliun. Itu merupakan penjualan yang terbesar. Sebelumnya, BPPN tak bisa melakukannya karena terganjal data asset transfer kit (ATK). Data ATK di BPPN, bank, dan debitor berbeda-beda. Sewaktu saya masuk, saya langsung membereskannya. Saya minta para CEO (chief executive officer) bank membuat verifikasi ATK mereka, dan meneken pernyataan bahwa data tersebut benar.
Cukup begitu? Anda tidak memverifikasi ulang sama sekali?
Kami tak perlu melakukannya. Soalnya, pada saat bank direkap, semua kredit macet (nonperforming loan) telah diverifikasi oleh akuntan publik. Jadi, saya cuma memakai akal.
Anda kok berani tak memverifikasi aset yang bernilai ratusan triliun rupiah?
Ini bukan persoalan berani atau tidak berani. Saya cuma berusaha melihat persoalan dengan jernih. Lagi pula, BPPN memang harus menjual semua aset tersebut. Ada 300 ribu account yang tak mungkin dikelola BPPN. Tapi saya tak mengobralnya sembarangan. Yang besar kami restrukturisasi dulu. Seperti Asia Pulp and Paper (APP), yang menjadi restrukturisasi utang terbesar di Asia. Syukurlah, recovery rate APP mencapai 44 persen.
Bagaimana dengan utang Texmaco?
Texmaco memang belum selesai. Mereka dulu mendapat kredit Rp 27 triliun. Anehnya, kemudian masih mendapat fasilitas L/C yang dijamin BPPN. Bayangkan, kreditor menjamin debitornya yang belum membayar utang. Texmaco diberi banyak kemudahan oleh BPPN sebelum saya masuk. Nah, saat ini saya tak mau melakukan kesalahan yang sama. Saya memang memfasilitasi pertemuan Texmaco dengan perbankan. Tapi saya tak mau melakukan intervensi.
Apa rencana BPPN atas nasib Texmaco?
Saya akan menjual Texmaco. Memang ada yang ingin Texmaco dijadikan industri strategis. Dalam sidang kabinet ada yang minta dilakukan audit teknologi terhadap perusahaan ini. Saya tak akan menghalangi usul tersebut. Yang pasti, tugas saya adalah menyelamatkan uang negara yang tertanam di sana. Saya tak ingin ada tambahan beban rakyat karena utang Rp 28 triliun Texmaco belum dibayar.
Bagaimana rasanya memimpin superinstitusi yang sarat uang seperti BPPN?
Sebenarnya saya tak mau menjabat di sini. Itu pula yang kerap dipertanyakan orang. Sebelumnya saya hampir jadi duta besar untuk Organisasi Perdagangan Dunia. Saya lebih suka dengan jabatan itu. Tapi beberapa menteri meminta saya menerima jabatan sebagai Ketua BPPN. Saya terima karena ingin menyelesaikan masalah. I have nothing to lose. Kalau tidak benar, saya bilang tidak benar.
Apa yang Anda dapat selama menjadi Ketua BPPN?
Saya jadi mengerti betapa bobroknya manusia-manusia Indonesia di masa lalu. Bayangkan, ada bank yang menerima jaminan berupa tanah kuburan. Ini membuat saya stres.
Menteri Yusril Ihza Mahendra sempat cemburu dengan gaji Anda. Boleh tahu berapa yang Anda terima setiap bulan?
Saya tak mau menyebut angkanya. Pokoknya, sebanding dengan direktur utama bank sekelas Bank Danamon. Soal gaji Ketua BPPN, besarnya sudah atas persetujuan pemerintah. Mungkin karena aset yang dikelola besar, gajinya pun jadi besar. Tapi kalau Yusril cemburu, saya tantang dia untuk jadi Ketua BPPN. Nanti saya yang akan keluar.
Benarkah orang-orang BPPN mempunyai gaji besar dan fasilitas yang supermewah?
Sebelum saya masuk, memang banyak sekali fasilitas yang diberikan. Bayangkan, untuk makan siang saja seorang kepala divisi bisa minta diganti oleh BPPN. Setelah saya masuk, semua fasilitas saya pangkas. Saya juga mengurangi karyawan BPPN dari 5.000 menjadi hanya 2.500. Banyak yang saya pecat karena kinerjanya sangat buruk.
Omong-omong, apa rencana Anda setelah tak menjadi Ketua BPPN nanti?
Saya sudah kenyang di birokrasi. Bila selesai di BPPN, saya tak mau jadi birokrat lagi. Tapi, kalau boleh memilih, saya ingin ditempatkan di Portugal. Soalnya tahun depan ada pertandingan bola Piala Eropa. Ha-ha-ha....
Syafruddin Arsyad Temenggung
Tempat, Tanggal Lahir:Palembang, 9 Agustus 1959
Pendidikan:
- SMA 2 Tanjungkarang-1979
- Sarjana, Institut Teknologi Bandung-1983
- Master, Cornell University, New York-1990
- Doktor, Cornell University, New York-1994
Pekerjaan:
- Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (April 2000-April 2002)
- Deputi Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Bidang Investasi dan Pengembangan Dunia Usaha (Juni 2000-April 2002)
- Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (24 April 2002-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo