Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kecenderungan Pasar Keuangan 2008

17 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mirza Adityaswara

  • Analis Perbankan dan Pasar Modal

    Sebagai bagian dari tugas rutin, awal Desember lalu saya mengunjungi investor institusi di Singapura dan Hong Kong. Tujuan kunjungan itu adalah untuk memberikan masukan kepada para manajer portofolio saham mengenai prediksi ekonomi Indonesia 2008 dan perkiraan situasi pasar keuangan Indonesia pada kuartal pertama tahun depan.

    Kami menyampaikan pesan kepada investor portofolio untuk mulai berhati hati karena adanya tekanan inflasi di Indonesia menghadapi pembatasan pasokan BBM bersubsidi dan ancaman banjir di musim hujan kuartal pertama 2008. Tapi yang mengherankan, hampir semua investor institusi yang kami temui masih memiliki optimisme yang tinggi terhadap ekonomi dan pasar saham Indonesia. Mereka belum ingin mendengar skenario pesimisme karena selama beberapa tahun terakhir portofolio saham di Indonesia memberikan hasil yang sangat baik.

    Di tengah krisis sub-prime mortgage di Amerika yang berdampak pada perlambatan ekonomi dunia, amat mengherankan bagi orang awam bahwa investor saham masih memiliki optimisme yang tinggi. Keyakinan itu berdasar asumsi bahwa otoritas moneter di Amerika akan menurunkan suku bunga untuk mengangkat ekonominya. Optimisme juga datang karena keyakinan bahwa perlambatan ekonomi Amerika dan Eropa tidak akan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian Asia. Sehingga diharapkan ada pergerakan aliran dana dari portofolio di negara maju kepada portofolio di negara berkembang Asia, termasuk ke Indonesia.

    Pasar keuangan bergerak berdasarkan ekspektasi, sehingga sangat penting mengetahui apakah harga yang terjadi di pasar keuangan saat ini sudah mencerminkan harapan. Apabila angka realisasi lebih baik daripada ekspektasi, maka harga akan naik lagi. Tapi, jika kenyataan lebih buruk ketimbang harapan, harga akan turun.

    Harga saham di pasar keuangan global sudah terkoreksi karena mengantisipasi pelemahan ekonomi dunia yang dipicu oleh krisis sub-prime mortgage di Amerika. Berdasarkan perkiraan ekonom bank investasi Credit Suisse yang diterbitkan akhir November, ekonomi Amerika diperkirakan hanya tumbuh 0,5 persen pada kuartal keempat 2007 dibanding kuartal yang sama tahun 2006. Sampai kuartal kedua 2008, ekonomi Amerika diprediksi masih akan tetap lemah, yaitu hanya tumbuh 1 persen. Karena itu, Credit Suisse memperkirakan bank sentral Amerika masih akan terus menurunkan suku bunga sebanyak 1 persen yaitu dari 4,5 persen menjadi 3,5 persen di awal kuartal kedua tahun depan.

    Dampak pelemahan ekonomi Amerika juga menerpa Uni Eropa. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi di sana melemah dari 1,8 persen di kuartal keempat 2007 menjadi 0,8 persen di kuartal kedua 2008. Penguatan nilai tukar euro terhadap dolar ikut menyumbang perlambatan ekspor Uni Eropa. Sehingga suku bunga euro diperkirakan akan diturunkan di awal semester kedua 2008, dari saat ini 4 persen menjadi 3,5 persen pada akhir 2008.

    Ekonomi Asia non-Jepang juga akan melambat, tetapi diperkirakan masih cukup kuat menghadapi pelemahan ekonomi Amerika. Apalagi negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar dengan ekonomi domestik yang kuat seperti Cina dan India. Memang, terjadi perlambatan ekonomi Cina, tapi diperkirakan hanya turun dari 11,2 persen di kuartal keempat 2007 menjadi 10 persen di kuartal keempat 2008. Korea Selatan dan Taiwan dengan ketergantungan ekspor yang cukup tinggi terhadap Amerika diperkirakan mengalami efek negatif yang cukup dalam. Dengan persepsi seperti itu diperkirakan akan ada pengalihan sebagian investasi portofolio dari kedua negara itu ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia.

    Mengapa Indonesia masih menarik di mata investor portofolio? Pasar saham Indonesia dianggap unik karena memiliki tiga sektor sekaligus, yaitu sektor domestik, sektor energi, dan sektor pertambangan nonmigas. Rendahnya suku bunga akan memicu ekonomi domestik seperti kredit perbankan, otomotif, properti, dan semen. Tingginya harga minyak telah memicu tren jangka panjang, yaitu mencari bahan substitusi minyak seperti batu bara dan minyak nabati (misalnya CPO). Selain itu, tumbuhnya ekonomi Cina dan India membuat permintaan terhadap bahan baku industri seperti nikel dan tembaga diperkirakan akan terus meningkat.

    Lima tahun lalu bisa dibilang tidak ada investor pasar modal yang membicarakan potensi saham sektor pertambangan dan perkebunan di Indonesia. Lima tahun yang lalu sulit bagi pengusaha sektor pertambangan dan perkebunan mencari kredit perbankan dan tambahan modal dari pasar modal. Tetapi sekarang investor strategis dari India, yaitu Tata Power, datang ke Indonesia membeli 30 persen saham anak perusahaan tambang batu bara Bumi Resources. Kita juga mendengar beberapa perusahaan Cina datang ke Indonesia ikut membangun pembangkit listrik bertenaga batu bara. Perusahaan pertambangan BUMN seperti Bukit Asam dan Aneka Tambang mendapat pinangan dari perusahaan Cina, India, Rusia, Jepang untuk membangun infrastruktur penambangan batu bara, nikel, emas, dan bauksit.

    Apakah semua faktor positif tersebut sudah terefleksi dalam harga saham dan indeks Bursa Efek Indonesia? Awal Desember 2007, indeks BEI sudah naik 54 persen menjadi 2.778. Harga saham perusahaan tambang batu bara Bumi Resources tahun ini meroket 577 persen!! Bukit Asam harga sahamnya melonjak 243 persen! Naiknya harga minyak sawit membuat harga saham perusahaan perkebunan Astra Agro Lestari meningkat 102 persen. Yang mengherankan adalah harga saham perusahaan tambang nikel, yaitu INCO Indonesia naik 206 persen dan Aneka Tambang meningkat 180 persen. Padahal, harga produk nikel tahun ini turun 21 persen.

    Beberapa investor mengatakan saham pertambangan menjadi alat hedging alias lindung nilai untuk penurunan nilai dolar terhadap euro dan yen. Timbangan saham sektor minyak, pertambangan, dan perkebunan dalam indeks BEI telah meningkat dari 15 persen menjadi 27 persen dalam waktu dua tahun. Kenaikan itu mengalahkan timbangan sektor perbankan (19 persen) dan telekomunikasi (14 persen).

    Masihkah harga saham Indonesia naik pada 2008? Valuasi saham Indonesia saat ini sekitar 15,4 x PER 0,8 sudah tidak murah, karena lebih tinggi daripada Thailand dan Taiwan. Tapi valuasi itu belum semahal India (20 x PER 0,8) dan Cina (19 x PER 0,8). Faktor positif lain yang menopang kenaikan harga saham di Indonesia adalah rencana departemen keuangan memberikan insentif pajak bagi perusahaan publik. Pasar juga akan positif jika harga batu bara dan kelapa sawit tetap bertahan.

    Kenaikan harga saham sektor domestik seperti perbankan, konsumsi, dan semen akan sangat tergantung kepada rencana pemerintah menjalankan program pengurangan subsidi BBM. Jika BBM bersubsidi dikurangi drastis di kota-kota besar, maka inflasi akan naik di atas 6,5 persen yang disusul penurunan daya beli. Tetapi jika rencana ini dilakukan secara bertahap, harga saham sektor domestik masih mempunyai harapan untuk meningkat.

    Risiko penurunan indeks BEI bisa terjadi jika ekonomi dunia melambat lebih signifikan daripada perkiraan awal. Sehingga membuat harga minyak, batu bara dan minyak sawit turun drastis. Tetapi tampaknya hal itu belum akan terjadi berhubung tren jangka panjang adalah substitusi minyak ke batu bara dan biofuel.

    Di pasar obligasi negara (SUN), program pengurangan defisit anggaran belanja negara menjadi perhatian jika harga minyak bertengger terus di atas US$ 80 per barel. Jika pemerintah ragu memotong anggaran dan pada saat bersamaan produksi minyak terus menurun, maka imbal hasil obligasi negara bisa meningkat sampai di atas 10 persen, karena adanya kekhawatiran atas membengkaknya defisit anggaran dan penurunan surplus neraca berjalan. Bila investor asing menjual obligasi negara, rupiah bisa tetap melemah di sekitar Rp 9.400–9.600 terhadap dolar pada 2008. Namun, kurs Rp 9.600 per dolar belumlah hal yang mengkhawatirkan bagi ekonomi domestik.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus