Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami mulai bergerak melakukan penelitian atas harta kekayaan Soeharto dan keluarganya." Penegasan ini disampaikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus yang juga ketua Tim Penyelidikan Harta Soeharto, Antonius Sujata, Kamis lalu kepada TEMPO. Ucapan itu tampaknya dilontarkan untuk menepis anggapan bahwa Kejaksaan Agung tak melanjutkan pengusutan dalam kasus harta simpanan yang menghebohkan itu.
Setelah mantan presiden Soeharto mendatangi gedung Kejaksaan Agung, 25 September lalu, sepekan kemudian Jaksa Agung Andi Muhamad Ghalib membentuk Tim Penelitian dan Klarifikasi serta Tim Penyelidikan Harta Kekayaan H.M. Soeharto, yang terdiri dari 62 orang jaksa senior. Tim ini memiliki kewenangan melakukan segala tindakan litigasi dan nonlitigasi serta perundingan dalam upayanya menyelidiki kekayaan Soeharto dan keluarganya dalam bentuk harta bergerak dan tidak bergerak, baik di dalam maupun di luar negeri.
Maka, selain mengevaluasi data awal dari buku George Adi Tjondro, Dari Soeharto ke Habibie, dan laporan Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia, Christianto Wibisono, mereka juga aktif mendatangi Badan Pertanahan Nasional. Maksudnya, untuk meneliti tanah milik keluarga Soeharto yang tersebar di beberapa tempat. Mereka juga meminta laporan dari semua kejaksaan tinggi di daerah dan akan menghubungi orang yang memiliki informasi yang dibutuhkan, seperti Herman Sarens Sudiro.
Gugatan Kerusuhan Mei
Kasus kerusuhan Mei akhirnya berlanjut di pengadilan. Adalah lima lembaga swadaya masyarakat–di antaranya Solidaritas Nusa Bangsa dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia--yang menggugat pemerintah agar membayar ganti rugi material Rp 2,5 triliun dan imaterial Rp 50 triliun. Kelima tergugat—antara lain Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Kepolisian RI--dianggap lalai dalam melindungi dan menjaga keamanan masyarakat.
Berlanjutnya gugatan itu karena upaya perdamaian mengalami jalan buntu. Kedua belah pihak bertahan pada prinsipnya masing-masing. Kuasa hukum Dephankam, Brigjen TNI Imron Anwari, meminta penggugat mencabut perkara terlebih dulu sebagai syarat perdamaian. Adapun penggugat--melalui kuasa hukum Johnson Panjaitan--menolaknya karena menilai sampai sekarang pemerintah belum mengungkapkan fakta mengenai apa sesungguhnya yang terjadi dalam kerusuhan itu. Maka, Imron meminta ketua majelis hakim Imam Poernomo agar tetap meneruskan pemeriksaan perkara.
Polisi Keluar dari ABRI
"Sama saja bohong," komentar mantan Kapolri, Jenderal (Purn.) Kunarto, menanggapi pernyataan Panglima ABRI Jenderal Wiranto, 3 Oktober lalu, bahwa mulai tahun 2000 Polri akan keluar dari ABRI. Alasannya, Polri "cuma" akan dipindahtempatkan dari Markas Besar ABRI ke Dephankam. Padahal, dengan perangkapan jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan-Panglima ABRI seperti sekarang ini, ia mengkhawatirkan independensi Polri tetap akan sulit terwujud.
Selama ini banyak pihak menilai Polri--sebagai institusi yang diberi kewenangan oleh hukum untuk melakukan pemaksaan--tidak lebih sebagai "tukang stempel" dan kerap dijadikan kambing hitam bagi pendekatan keamanan ABRI dalam kehidupan sipil. Itu terlihat, misalnya, dalam kasus penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa Tri Sakti.
Kunarto menilai, yang paling ideal bagi kemandirian Polri adalah menempatkannya di bawah Departeman Dalam Negeri atau Departemen Kehakiman, sebagaimana lazimnya di negara-negara demokratis. Tapi, Kapolri Letjen Roesmanhadi mengungkapkan, menurut UU Kepolisian, Polri memang berada di bawah Dephankam. Cuma, ada keputusan Menhankam yang melimpahkan pembinaan Polri ke Pangab. Jadi, katanya, yang dilakukan sekarang cuma mengembalikannya ke struktur semula sebagaimana ditetapkan undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo