SEPERTI BIASA bila mengawali pengajaran, Hamka meminta para murid membuka topi mereka. Guru berusia 35 tahun itu mengajar di kelas V Sekolah Dasar Negeri 22 Salebbo, Pangkep, Sulawesi Selatan. Sudah 10 tahun Hamka menjadi guru olahraga--masa pengabdian yang cukup lama. Jumat pagi itu, entah mengapa, tidak semua murid mematuhi perintahnya. Seorang murid, Nur Rahmat, 11 tahun, bukannya mengindahkan perintah, malah menelungkupkan kepala di atas meja belajar.
Lama juga Hamka memperhatikan Rahmat. Dikiranya anak itu sakit. Hamka lalu menghampiri dan memegang kening Rahmat. Ia menanyakan keadaan si murid. Mendadak, Rahmat berdiri sambil membentak, "Saya tidak takut sama kamu! Saya akan lapor sama mamaku!" Melihat pembangkangan seperti ini, emosi Hamka tersulut. Ia lantas memukul lengan Rahmat, selanjutnya menyeret siswa itu ke ruang guru.
Di ruang guru, di hadapan para guru dan ibu Rahmat, Husnawati, yang menjabat sebagai wakil kepala SD Negeri 22, Hamka menghardik. "Ajari anakmu baik-baik, agar ia tahu sopan santun!" kata Hamka seraya menunjuk-nunjuk Husna. Meski berkedudukan sebagai atasan Hamka, Husna berdiam diri saja. Namun, empat hari setelah peristiwa pemukulan Rahmat yang terjadi 21 Agustus silam itu, Husna menjadi galau. Hal itu berkaitan dengan kondisi badan Rahmat yang semakin memburuk. Badannya panas dan anak itu sulit tidur. Lengannya memar, di lehernya ada benjolan sebesar telur ayam.
Husna menceritakan keadaan itu kepada suaminya, Bahring, yang juga guru di Sekolah Dasar Negeri 22 Salebbo. Rahmat pun dibawa ke rumah sakit. Belakangan, anak keempat dari enam putra-putri pasangan Bahring-Husna itu dirawat inap karena terserang gejala penyakit tifus. Tak tahan menanggung kesal, Husna mendatangi Hamka. Dengan tenang guru olahraga ini mengatakan bahwa ia tak merasa bersalah. Ia mengaku hanya memukul lengan Rahmat. Husna dan Hamka pun bertengkar. "Lapor saja sama siapa pun. Seharusnya kau beruntung karena anakmu masih hidup," gebrak Hamka.
Husna langsung melaporkan Hamka ke kantor polisi, kantor sosial politik, dan kantor pendidikan dan kebudayaan setempat. Buntutnya panjang. Hamka dipanggil instansi-instansi tersebut dan akan dimutasi. Di beberapa koran diberitakan bahwa Hamka telah memukul Rahmat sampai muridnya itu berlumuran darah. Tak cuma itu. Pasangan Bahring-Husna pun acap mencibiri Hamka. Merasa diperlakukan tak pantas, pada Jumat pagi, 25 September 1998, Hamka mengurungkan niatnya untuk mengajar. Ia balik ke rumah dan, masya Allah, sang guru itu mengambil badiknya.
Seraya menghunus badik, tanpa pikir panjang, Hamka mendatangi Bahring dan berkali-kali menikam ayah dari salah seorang muridnya itu. Pembantaian itu dilakukan di ruang kelas IV, di hadapan para murid dan beberapa guru, termasuk Husna. Akibatnya, Bahring tewas dengan tujuh tusukan di perut.
"Saya mau menangis, tapi tak bisa. Air mata saya membeku di dada. Suami saya meninggal di pangkuan saya," tutur Husnawati. Seusai kejadian, Hamka menyerahkan diri ke Kepolisian Resor Pangkep. Ia mengaku menghabisi nyawa rekannya itu karena dendam. "Mereka menyebarkan berita tak benar ke media massa. Apa saya bersalah bila memukul murid sendiri? Apalagi murid itu memang kurang ajar?" katanya.
Husna membantah keras "pleidoi" Hamka. Menurut Husna, justru Hamka yang berlebihan menghukum muridnya. Rahmat, anaknya, berani menentang Hamka karena dipukul tanpa sebab. "Malah ada saksi yang melihat Rahmat dibanting ke lantai. Kalau cuma dipukul lengannya, mana mungkin lehernya benjol?" katanya.
Kini guru Hamka terpaksa meringkuk di sel tahanan polisi. Tak mustahil ia dijaring delik pembunuhan berencana, dengan ancaman maksimal hukuman mati. Tapi, kalau hakim melihat kasus itu sebagai upaya membela kehormatan--sesuai dengan adat setempat--mungkin sekali vonis terhadap Hamka akan menjadi jauh lebih ringan.
Hp. S., Ma’ruf Samudra/Tomi Lebang (Ujungpandang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini