Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buruknya data Covid-19 di Indonesia masih terus terjadi.
Sejumlah kalangan telah mengingatkan pemerintah perihal pentingnya kejujuran pada data.
Tapi kejanggalan dan dugaan akal-akalan data belum juga berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Irma Hidayana seperti kehabisan akal untuk membuat pemerintah lebih jujur dalam urusan data Covid-19. Inisiator lembaga pemantau wabah bernama LaporCovid-19 ini telah berulang kali mengingatkan pemerintah perihal pentingnya transparansi data sejak pandemi melanda pada Maret tahun alu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telah berkali-kali pula LaporCovid-19 melapor ke pemerintah perihal kejanggalan data yang diperoleh timnya di lapangan. Tapi sekerap itu juga Irma hanya mendapat respons normatif dari pejabat pemerintah. "Mau marah. Saya itu bingung, gemes juga. Masak, data kabupaten, provinsi, dan nasional beda?" kata Irma kepada Tempo, kemarin.
Temuan LaporCovid-19 yang paling anyar adalah kejanggalan data kematian. Organisasi para relawan di bidang kesehatan ini mendapat laporan adanya 26 orang meninggal yang dimakamkan dengan protokol Covid-19 di Malang, Jawa Timur, pada Selasa lalu. Pada hari yang sama, situs resmi pemerintah Jawa Timur tidak mencatatkan satu kematian pun akibat Covid-19 di wilayahnya.
Padahal, sesuai dengan anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), siapa pun yang memiliki gejala klinis mirip Covid-19 harus dikategorikan sebagai kematian akibat pandemi meski belum dites. Dengan demikian, siapa saja yang dikubur dengan protokol Covid-19 harus didata sebagai pasien Covid-19. "Kalau enggak, memang secara sistematis sengaja memanipulasi data kematian," ujar Ahmad Arif, kolega Irma, sesama inisiator LaporCovid-19, kemarin.
Dengan data yang kabur, Arif khawatir masyarakat akan salah memahami bahwa pandemi masih terkendali. Padahal jumlah kematian akibat wabah ini sudah sangat banyak. "Bagaimana mau mengajak masyarakat taat protokol kesehatan kalau tidak diberi data yang benar," katanya.
Selain soal kasus kematian, pemerintah dianggap tak transparan dalam mengumumkan jumlah kasus positif harian. Dalam pengamatan LaporCovid-19, pemerintah selalu berusaha menunjukkan tingkat keberhasilan dalam mengendalikan pandemi dengan prestasi penurunan jumlah kasus.
Padahal, menurut Irma, indikator yang lebih penting dalam pengendalian pandemi adalah tingkat positif atau positivity rate yang diperoleh dari perbandingan jumlah kasus positif dengan angka pengetesan. Semakin tinggi angka pengetesan, angka positivity rate akan kian kecil.
Saat ini, angka positivity rate Indonesia dengan tes polymerase chain reaction (PCR) sebanyak 64.425 masih berada di angka 42,28 persen. Angka ini jauh dari standar yang ditetapkan WHO, yakni maksimal 5 persen. Angka kasus aktif pun masih tinggi, yaitu 549.694 atau 18,4 persen dari total kasus yang terkonfirmasi sebanyak 2,98 juta.
Meski angka positivity rate masih tinggi, pemerintah sudah berancang-ancang akan melonggarkan pembatasan pada 26 Juli mendatang jika jumlah kasus sudah menurun. Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, angka kasus infeksi mulai menurun sejak 15 Juli lalu.
Namun penurunan jumlah kasus itu tak lepas dari penurunan angka testing. Pada 15 Juli lalu, angka pengetesan mencapai 185.321. Sebanyak 118.763 di antaranya adalah tes PCR. Jumlah pengetesan terus jeblok hingga kemarin, yaitu hanya mencapai 116.232 dengan angka tes PCR cuma 64.425.
Petugas menyiapkan peralatan kesehatan untuk pasien Covid-19 di RSPJ Ekstensi Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta, 19 Juli 2021. ANTARA/Dhemas Reviyanto/aww
Seiring dengan menurunnya angka testing, kasus positif yang diumumkan pemerintah juga menurun dalam sepekan terakhir. Kemarin, pemerintah mencatat pertambahan kasus mencapai 33.772 orang atau turun sebanyak 485 kasus dari hari sebelumnya.
Dengan menurunnya pengetesan, Irma menilai pemerintah mencoba mengelabui masyarakat. Pemerintah terindikasi mengakali data demi menunjukkan fakta semu bahwa pandemi telah terkendali.
Penurunan angka testing tentu saja berimbas pada penurunan jumlah kasus dalam beberapa hari terakhir. Ada indikasi bahwa turunnya jumlah kasus ini dibuat "kebetulan" bersamaan dengan berakhirnya masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada 20 Juli lalu. Pembatasan darurat ini dimulai pada 3 Juli lalu. Belakangan, Presiden Joko Widodo mengulur pembatasan darurat hingga 25 Juli mendatang.
Pemerintah diduga ingin membangun citra bahwa pembatasan darurat berhasil menurunkan jumlah kasus positif Covid-19. "Angka itu mengelabui kita seolah-olah kasus sudah turun. Padahal angka kasus turun karena testing juga turun," ujar Irma.
Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, membantah tudingan adanya akal-akalan angka pengetesan ini. Ia mengatakan ada sejumlah kemungkinan yang memicu terjadinya penurunan angka testing, antara lain pengetesan terjadi pada akhir pekan dan keterlambatan dalam memasukkan data. "Penurunan testing bisa terjadi di akhir pekan atau delay input yang berasal dari laboratorium ke sistem data," katanya.
Meski data Satgas Penanganan Covid-19 menunjukkan adanya penurunan jumlah testing dalam beberapa hari terakhir, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengklaim akumulasi testing meningkat dalam skala nasional.
Hanya, kata Nadia, capaian target testing dan tracing di daerah yang menerapkan PPKM level 4, modifikasi dari istilah PPKM darurat, masih rendah. Terutama, kata dia, angka pengetesan dan pelacakan di daerah tersebut terus turun dalam tiga hari terakhir. "Beberapa provinsi masih menunjukkan adanya penularan yang luas di masyarakat dan perlu penambahan testing," ujar dia.
Dalam tiga hari terakhir, Nadia mengatakan hanya ada lima kabupaten dan kota yang mencapai target pengetesan di atas 90 persen: Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Surakarta, Yogyakarta, dan Sumenep. Menurut Nadia, meski kabupaten dan kota lain tak memenuhi target, capaiannya sudah cukup bagus. "Meski begitu, ini perlu ditingkatkan dan dipertahankan, terutama pada saat akhir pekan dan hari libur," katanya.
Tak hanya klaim soal peningkatan jumlah testing, Nadia mengatakan tingkat keterisian rumah sakit mulai turun. Menurut dia, bed occupancy rate (BOR) rumah sakit rujukan Covid-19 yang masih belum menunjukkan perbaikan terjadi di Yogyakarta, Bali, dan Jawa Timur.
Pakar epidemiologi Tri Yunis Miko tak kuasa menahan tangis mendengar data-data yang diumumkan pemerintah. Pakar dari Universitas Indonesia itu tak menyangka pemerintah tega membohongi masyarakat sebanyak ini. "Saya sedih karena saya tahu semuanya. Ini menyakitkan hati nurani saya," kata Miko.
Miko bercerita, pada akhir tahun lalu, ia pernah melakukan survei tentang kondisi penularan wabah di Indonesia. Enggan menyebutkan angka persisnya, ia memastikan hasil surveinya menunjukkan bahwa angka kasus infeksi di Tanah Air sudah mencapai belasan kali lebih banyak dibanding angka yang diumumkan. Hasil survei Miko sejalan dengan proyeksi Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) yang memprediksi lonjakan jumlah kasus di Tanah Air sudah mencapai 20 kali lipat dari yang diumumkan pemerintah.
Menurut Miko, sejak Januari akhir hingga Juni lalu, angka testing yang dilakukan pemerintah rata-rata hanya mencapai 50 ribu per hari. Karena itu, sejak awal Februari, penularan kasus seolah-olah sudah terlihat melandai. "Makanya, yang terjadi sekarang ini kasus meledak karena kita menyembunyikan terlalu lama," kata dia.
Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda, menilai penurunan angka testing untuk menunjukkan penurunan jumlah kasus mengindikasikan inkonsistensi pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan Covid-19. Alasan bahwa penurunan angka pengetesan diakibatkan libur akhir pekan dan delay input data mengindikasikan sistem negeri ini belum siap dan belum serius menghadapi lonjakan jumlah kasus.
Padahal, kata dia, Indonesia telah dilanda wabah Covid-19 selama 1,5 tahun. Olivia masygul entah kapan urusan data ini akan beres. "Yang juga perlu dikaji adalah kemungkinan ketimpangan akses dan sebaran testing di 34 provinsi, termasuk ketimpangan testing oleh swasta dan pemerintah," ucapnya.
MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo