DI Libanon, sebenarnya sudah banyak aku melihat kengerian. Misalnya, aku tak ingat lagi berapa kali penembak misterius mengincarku. Aneh, semua itu tidak menakutkan aku. Saat yang mengerikan baru muncul di bar Hotel Commodore, 8 Februari lalu, justru pada sebuah peristiwa yang tidak berdarah. Hari itu kelompok Amal Syiah baru saja mengambil alih kontrol atas Beirut Barat. Sekelompok milisi fanatik Hizbullah (Partai Allah, artinya) sedang mengobrak-abrik sarang-sarang pelacuran dan rumah-rumah minum. Aku sedang duduk di bar saat itu. Kudengar derap langkah memasuki lobi. Aku menoleh, dan kulihat seorang pemuda tinggi besar dengan berewok hitam lebat. Matanya meliar ke mana-mana, dan di tangannya menggayut sepucuk M-16 mengarah ke bar. Si penjaga bar, yang tahu bahwa peristiwa semacam itu bakal terjadi, pagi-pagi telah menyembunyikan semua botol minuman keras dan menggantikannya dengan Pepsi-Cola. Toh milisi itu tak bisa ditipu. Dia melompat ke belakang bar, mendorong bartender ke samping, dan mulai menghantami botolbotol minuman dengan popornya. Selesai, ia keluar lagi, meninggalkan "kolam anggur" di lantai. Aku menggigil ketika itu. Aku merasa berhadapan dengan sesuatu yang tak pernah kuhadapi sebelumnya - wajah garang seorang fanatik. Orang itu dengan ringan saja bisa menghantam aku seperti menghantam botol-botol itu. Dia datang dari Partai Allah, dia percaya pada kebenaran - dengan "K" besar - dia punya M-16, dan dia tak ingin ada yang mengotori pandangannya. Dia kelihatan begitu kuat, sementara aku merasa begitu rapuh. Untuk pertama kali ketika itu aku merasa bukan lagi seorang reporter yang bertugas memberitakan penderitaan orang lain. Aku merasa rumahkulah yang dilanggar, kemerdekaankulah yang diancam bahaya. Tiba-tiba aku merasa menjadi korban kekerasan ekstrem yang selama ini kuberitakan dengan datar dan tanpa perasaan. Semua ditujukan padaku. Kulihat milisi itu, kulihat api di matanya, kulihat juga bagaimana mudahnya dia memaksakan nilai-nilainya kepadaku. Sore itu telah kulihat, toleransi dan jalan tengah tak punya daya sama sekali. Makin lama memang makin tampak bahwa kericuhan di Timur Tengah adalah ladang ekstremis: dunia mereka yang melakukan apa saja untuk tujuannya sendiri. Pengeboman kedutaan Amerika di Beirut - sebuah pengulangan dari yang menimpa Markas Besar AL Amerika di Libanon - adalah karya kaum ekstremis terbaru. Penyerangan di Masjidil Haram di Mekkah, pembantaian terhadap pengungsi Palestina di Libanon, pembantaian di Syria, pencederaan beberapa wali kota Tepi Barat oleh teroris Yahudi, dan perbuatan pasukan pembunuh Muammar Qadhafi adalah babak-babak baru sejarah wilayah ini. Betul, kaum moderat tetap merupakan mayoritas di Timur Tengah. Tetapi mereka tak berdaya. Bagiku tampak jelas benar: toleransi telah tersingkir diwilayah ini. Kulihat toleransi tersingkir di pemilu Israel, ketika Rabi Meir Kahane--si rasialis anti-Arab - mendapat kursi di Knesset, sementara Lova Eliav, yang menginginkan hidup berdampingan secara damai dengan Arab, dilecehkan. Kulihat toleransi dihinakan ketika kutemui, di suatu Jumat bulan Juli 1982, apartemenku porak peranda. Dua kelompok pengungsi Palestina berkelahi memperebutkan gedung delapan tingkat itu. Yang kalah dengan gampang meledakkan gedung itu, membunuh istri sopirku, yang berkebangsaan Palestina, dan dua anaknya. Aku tak akan pernah lupa pada Muhammad, sopirku itu, yang pernah menangis dan mengeluh sebelum kematiannya. "Sungguh tak adil. Aku hanya ingin damai. Tak pernah kusentuh sebuah senapan pun selama hidup." Kulihat toleransi dibunuh di suatu pagi bulan Januari lalu, ketika dua butir peluru menembus kepala rektol Universitas Amerika di Beirut, Malcolm Kerr. Ketika itu dia cuma bersenjatakan payung dan map. Malcoln adalah orang yang selalu berjuang agar Amerika mau mengerti kemauan ma syarakat Islam dan Arab. Kulihat toleransi tersing kir ketika di bulan Mei lalu sekelompok aktivis perdamaian Libanon yang sedang merencanakan suatu arakan damai di garis hijau yang membelah Beirut, ditembaki sekelompok milisi. Dua puluh dua orang ditemukan terbunuh dan seratus tiga puluh luka-luka ketika demonstrasi dihentikan. Tak pernah kulupakan aktivis-aktivis perdamaian Beirut yang berkumpul di garis hijau untuk mengambil kembali prasasti pualam yang rencananya mereka dirikan di situ. Prasasti yang berbunyi, "Ya untuk Hidup, Tidak untuk Perang." Mereka membawanya pergi seolah membawa mayat. Itu cuma sekadar contoh. Masih banyak yang lain, yang menggelitik pertanyaanku yang jadi semakin keras: mengapa semua itu terjadi mengapa mereka yang paling ekstrem, yang paling keras, yang paling tak pernah berkompromi menjadi begitu kuat? * * * Alasan pertama sederhana saja. Mereka - ekstremis-ekstremis itu - mampu melakukan apa saja dengan cara apa saja untuk memaksakan kehendak mereka. Di Timur Tengah setiap kejahatan ada pahalanya. Jika Anda melakukan kekerasan sekeras-kerasnya - Anda tak akan masuk pen jara. Anda bisa memperoleh 200 dolar. Atau malah diangkat jadi presiden. Kupelajari ini di sebuah kota di Syria, Hama. Februari dua tahun lalu Hafez Assad, presiden negara itu, punya sedikit masalah di Hama. Entah dari mana informasinya, dia yakin bahwa di kota berpenduduk 180.000 itu ada 200 orang anggota organisasi bawah tanah Ikhwanul Muslimin yang merencanakan nemberontakan. Supaya aman, pemerintah mengambil jalan pendek: memberondong kota itu dengan tank dan senapan berat - membunuh kurang lebih 20.000 orang. Sepuluh minggu kemudian, ketika Hama sudah dinyatakan terbuka untuk orang asing, aku berkunjung ke sana. Aku tertegun. Telah kulihat banyak penghancuran di Timur Tengah, tetapi tidak ada yang sedahsyat ini. Sebagian besar kota lumat dan berubah seperti ladang yang habis dibajak. Sebagian lagi dibuldoser rata seperti tempat parkir. Seorang tua bungkuk, dengan rambut awut-awutan, kulihat mengaduk-aduk tanah seluas lapangan bola. Kutanya dia, di mana rumah-rumah kini. "Kau berdiri tepat di atasnya," jawabnya. Aku tanya lagi, di mana orang-orang yang dulu tinggal di "Kau barangkali berdiri pula di atasnya," sungutnya, sambil terus mengaduk-aduk. Kusepak segumpal tanah - kulihat sepotong sepatu tenis tersingkap. Kusepak lagi segumpal tanah - sebuah baju muncul. Kusepak lagi, sesobek foto menyembul. Sesobek foto. Kupikir Assad telah mengumandangkan pesan untuk rakyat Syria, melalui Hama. Dan pesan itu tampaknya ditaati. Tak ada lagi penentangan terhadap pemerintah setelah itu. Stabilitas sungguh-sungguh tercapai. Tak hanya untuk urusan dalam negeri bila pemerintah Syria melakukan tindak seperti itu. Pada tahun 1980 dan 1981 agen-agen Syria melakukan ofensif di Beirut, menembaki beberapa wartawan asing dan Libanon supaya mereka tak berani menulis buruk tentang negeri itu. Sebagai anggota persatuan wartawan di sana, waktu itu, aku bisa bilang bahwa tujuan mereka berhasil. Meski cerita tak bagus tentang Syria tetap muncul, tak ada seorang pun wartawan di Beirut yang menulis tentang Syria tanpa lebih dulu berpikir dua tiga kali. Kaum ekstrem selalu menang karena kesiapan mereka untuk bermain dengan aturan sendiri. Dan aturan mereka berarti aturan seperti di Hama dan aturan seperti di Hama berarti: apa saja boleh dilakukan. Persoalan kaum moderat adalah, sebaliknya, ketakmampuan untuk membela diri. Hasilnya, tak heran lagi, si ekstrem dengan santai meruyak ke mana-mana sementara si moderat hanya bisa bergeser mundur. Apa yang kulihat di Beirut selalu begini: orang-orang yang paling baik, yang paling sensitif, jujur, dan toleran, cenderung tak mempertahankan pendirian mereka. Mereka tak tahu harus bagaimana. Mereka, akhirnya, seperti kaum moderat di mana pun, cuma bisa berserah diri. Beirut Barat masa lalu adalah contoh paling baik. Kota ini awalnya penuh toleransi dan kosmopolitanisme. Tempat orang-orang Kristen, Islam, dan Druze hidup berdampingan. Tetapi ketika tekanan kaum ekstrem meningkat, mayoritas penduduk mestinya kaum moderat - memilih mengemasi barang-barang dan pergi. Hal yang sama juga terjadi di Iran, dan barangkali juga segera akan terjadi di negara Timur Tengah lain: Israel. * * * Tentu, tak semua ekstremis seperti itu - beberapa di antaranya tak pernah mengangkat senjata. Mereka cuma menembakkan kata-kata - dan sukses, tentu saja. Ini membawa kita ke kesimpulan kedua: ekstremis, atau siapa saja yang menolak kompromi, makin kuat karena mereka lebih tahu cara menggunakan bahasa ketimbang kaum moderat. Mereka tahu betul bagaimana menggambarkan dunia mereka dan bagaimana menyodokkan alternatif. Di sini terletak kekuatan mereka yang sebenarnya. Contoh: sehabis Perang Enam Hari, 1967, unsur ekstrem Gush Emunim berhasil memaksa kabinet Israel menyetu jui pemakaian nama Yudea dan Samaria secara resmi untuk daerah yang kita kenal sebagai Tepi Barat Sungai Yordan. Nama itu, yang diulang-ulang di setiap siaran radio dan televisi dan dokumen-dokumen pemerintah, akhirnya dipakai dalam kehidupan politik sehari-hari. Sampai-sampai pemimpin Partai Buruh, Shimon Peres, dalam pemilu lalu menggunakan pula nama yang sama. Gush Emunim tahu betul, membuat nama untuk suatu daerah yang diduduki berarti memilikinya. Mereka tahu, setiap orang Israel yang menyebut daerah itu Yudea dan Samaria tak bisa menyangkal lagi menyatakan daerah itu wilayah Yudaisme seperti dalam Kitab Taurat, dan karenanya sah sebagai milik orang Yahudi. Mengembalikannya kepada Arab berarti menentang Tuhan. Contoh lain tentang dua puluh tujuh orang Yahudi yang ditahan karena tindak kekerasan rasial atas bangsa Arab di Tepi Barat. Beberapa koran Israel awalnya menyebut mereka "teroris Yahudi". Tetapi para pendukung mereka menamakan orang-orang itu "Kaum Bawah Tanah" - istilah yang memberi bayangan gerakan bawah tanah pada riwayat pembentukan Israel tahun 1930-1940. Kini, radio pemerintah sudah mulai ikut-ikutan menyebut mereka "Kaum Bawah Tanah". Dan tampaknya yang lain sebentar lagi akan serta. Kekuatan ultranasionalis Israel juga menguasai arena debat tentang Tepi Barat. Mereka berhasil meyakinkan warga negeri itu bahwa pilihan untuk Tepi Barat adalah pilihan antara Israel dan pemerintahan radikal Palestina yang pro-Soviet. Alternatif lain, federasi dengan Yordania misalnya, telah lama dicoret dari agenda. Jelas, debat itu akan lain seandainya agendanya tidak seperti yang sekarang - misalnya membahas sifat khas Israel sendiri. Pilihannya akan menjadi: Israel harus menampung satu juta rakyat Palestina dengan risiko kehilangan sifat Yahudinya, atau Israel akan mempergunakan jalan yang gampang, yaitu keluar dari Tepi Barat untuk mempertahankan identitas. Para aktivis gerakan "Damai Sekarang" yang moderat sebenarnya tahu persis hal itu. Sayang, mereka tak mau memperjuangkannya. Itulah sebabnya mereka tersingkir. Di dunia Arab, hal yang sama terjadi juga. Kaum ekstrem telah mewarnai dengan kekerasan agenda perbincangan tentang Palestina untuk seluruh gerakan Palestina. Dan agenda itu - tak bisa lain menganggap setiap usaha damai antara Arab dan Israel sebagai pengkhianatan. Alangkah akan lain halnya bila kelompok moderat berhasil ikut memberi warna agenda itu. Misalnya saja: bukan bagaimana memperoleh kembali semuanya, tetapi bagaimana memberi tanah air bagi rakyat dan memperoleh hak penentuan nasib sendiri secara minimal. Dengan agenda seperti itu pilihan akan lebih terbuka. Misalnya begini: "Siapa peduli bagaimana Shimon Peres menyebut Tepi Barat? Toh dia sebenarnya ingin kompromi, dan akan melakukannya seandainya punya kesempatan." Atau begini: "Siapa peduli apa yang dipaksakan Dewan Direktur PLO kepada Arafat? Toh dia akan membuat pilihan sendiri jika kepepet." Memang barangkali tak semudah itu. Aku teringat pembicaraan April 1983 antara Arafat dan Raja Hussein di Amman. Saat itu Arafat setuju membicarakan usul Reagan tentang federasi Tepi Barat dengan Yordan. Tetapi ketika dia terbang ke Kuwait untuk meyakinkan Komite Sentral PLO, dengan keras mereka menolaknya. Siapa yang salah? Barangkali memang Arafat. Bertahun-tahun dia senantiasa mendua. Di depan umum ia bicara keras, sementara pandangan-pandangannya sendiri sebenarnya moderat. Kini, ketika dia akan membawa gerakannya ke jalan moderat yang betul-betul dikehendakinya, tak ada dukungan sama sekali. Massa telah terbuai omongan-omongannya yang galak. Dia tak pernah membentuk basis seperti yang sesungguhnya dikehendakinya. Selama ini dia cuma mengobral pernyataan yang dianggapnya tak punya arti, yang bisa dimanipulasi sesuka hati. Ketika saatnya untuk serius tiba, temantemannya sama sekali tak paham apa yang keluar dari mulutnya. "Apa pula ini - menyetujui rencana Reagan? Kita telah menolaknya di Dewan Nasional Palestina. Anda sendiri yang bilang rencana itu tak punya arti. Anda sendiri juga yang menyetujui pernyataan mengutuk rencana itu.... * * * Orang-orang ekstrem juga tahu pentingnya kesahajaan. Ini membawa kita pada alasan ketiga mengapa mereka selalu menang. Mereka mau, dan mampu, menyederhanakan pandangan ke dalam klise-klise singkat yang menyembunyikan kerumitan dunia nyata. Si ekstrem selalu bisa menggunakan media, karena mereka tahu bahwa media menghendaki kesederhanaan - perbedaan nyata antara hitam dan putih. Seorang pendiri "Damai Sekarang" mengeluh kepadaku tentang kesulitannya berdebat dengan Gush Emunim. "Kalau kamu tanya orang-orang itu, mengapa Israel harus mempertahankan Tepi Barat," kata dia, "jawaban mereka cuma dua kata: 'milik kita'. Siapa Yahudi yang bisa menolak kenyataan bahwa jantung Yudea di pinggir sungai itu?" Hal yang sama juga terjadi pada bangsa Palestina. Si keras punya jawaban kuat jika ditanya mengapa mereka menghendaki seluruh Palestina, bukan separuhnya saja, "Semuanya punya kita." Orang Palestina mana yang bisa mendebatnya? Lalu coba tanya tokoh-tokoh lunaknya, seperti Almarhum Issam Sartawi, mengapa mereka mau berkompromi. Mereka akan memberi jawaban panjang, yang membentang sekian halaman untuk menerangkan mengapa sepotong lebih baik daripada tidak sama sekali, sambil sekali-sekali menengok ke belakang - kalau-kalau ada peluru menyelonong. Malang bagi Sartawi, peluru macam itu betul-betul diterimanya. Benar, di dalam hati, para ekstremis itu barangkali mengakui bahwa jawaban mereka di sisi lain bisa tak adil. Tetapi, di masa kini, siapakah yang mau memperjuangkan keadilan? Yang diperjuangkan adalah keyakinan dan kepentingan - dengan menyederhanakan semua soal. Pada pemilu Israel terakhir, misalnya, musuhmusuh Partai Buruh membuat iklan bahwa Shimon Peres adalah "merpati yang paling putih" - maksudnya sangat menginginkan perdamaian. Iklan lain memuat gambar Arafat, Elias Freij (wali kota Betlehem), Bruno Kreisky, dan Ahmed Jabril (pemimpin fraksi PLO pro-Suriah yang paling keras). Pesan di bawah gambar-gambar itu berbunyi, "Semua orang ini menghendaki Partai Buruh menang." Kenyataannya, orang-orang yang diposterkan itu punya perbedaan pendapat yang sangat besar. Freij menghendaki koeksistensi damai, sedangkan Jabril adalah boneka Suriah yang menolak semua bentuk koeksistensi dan musuh utama Freij. Arafat juga menggunakan cara yang sama dalam berbagai ungkapan verbalnya. Ketika Partai Buruh mengalahkan Likud, ia berkata kepada sebuah koran Kuwait, "Ah, itu cuma ular yang berganti kulit." Betul, kita bisa menganggap bahwa semua itu cuma bualan. Tetapi aku yakin, bagaimanapun semua keliaran itu tetap punya arti - karena, begitu orang mulai menyamaratakan, pembunuhan dan tindak kekerasan lain gampang dilakukan. Penyederhanaan kasar macam inilah yang membikin orang Palestina dengan dingin meletakkan bom di sebuah bis zionis, yang akan membunuh para tentara zionis atau penduduk sipil zionis, aktivis damai zionis atau aktivis perang zionis. Peduli apa? Mereka toh zionis. Kesimpulan itu pula yang membuat kaum Druz tiap hari menghujani Beirut Timur yang Kristen dengan mortir, tak peduli tentara atau sipil yang terkena. Semuanya toh Kristen. Di sisi lain, hal itu juga membikin milisi Falangis dengan tegar membantai para pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila. Para penyergap jahanam itu menganggap bahwa semua yang berbau Palestina adalah "teroris" - tank "teroris", rumah sakit "teroris", dokter "teroris", perawat "teroris". Mereka tak mampu lagi membedakan antara teroris betul-betul, gerilyawan, dan wanita serta anak-anak yang tak berdosa. Mereka bahkan tak sadar bahwa ada penduduk Libanon yang tinggal pula di Sabra dan Shatila karena tertarik pada perumahan murah. Ada sebuah gambar di sebuah koran, sehari setelah pembantaian itu: seorang wanita Libanon telentang di tanah, dengan deretan lubang peluru di dadanya dan sebuah KTP tergenggam erat di tangan. Ia sedang berusaha menunjukkan bahwa ia bukan orang Palestina ketika Falangis - atau Israel - memberondongkan peluru. * * * Masih ada alasan lain mengapa kaum ekstremis merajalela: mereka punya basis yang lebih luas dari yang kita duga. Aku menyadari hal itu pada suatu pagi, di Beirut. Pukul 6.20 saat itu. Dua ledakan membangunkan aku dan istriku. Seluruh rumah bergetar. Kuletakkan bantal di mukaku, sambil mendengarkan sirene ambulans. (Itulah hal yang harus kaulakukan di Beirut sebagai reporter: jika tak ada ambulans, berarti tak ada kejadian serius). Ketika pagi 23 Oktober 1983 itu semakin tinggi, kudengar sirene ambulans semakin banyak mengaum. Suaranya datang dari manamana. Kusambar pakaianku sambil berlari ke mobil. Ambulans yang kuikuti menuju ke pos militer Prancis dan marinir Amerika yang telah meledak karena bom truk. Betul, sebuah peristiwa besar. Tetapi bukan itu yang mengesankan aku. Miriggu pagi itu, dalam perjalanan mengikuti ambulans, di lapangan di dekat rumahku kulihat beberapa orang tengah bermain tenis seperti biasa. Mereka tak kulihat menghentikan permainannya sejenak pun, meski ledakan itu pasti mengguncang tanah yang mereka pijak. Tiba-tiba kurasakan tubuhku menggeletar - aku jadi tahu pandangan sebagian orang Libanon terhadap kejadian seperti itu. Banyak memang yang mengkritik kekerasan di depan umum, tetapi dalam hati sebenarnya mereka bilang begini, "Rasain. Kau, Amerika, boleh rasain bom seperti yang kami alami selama invasi Israel." Invasi itu, menurut keyakinan orang banyak, didukung Amerika. "Kalian datang ke sini katanya mau bikin baik, tetapi nyatanya justru bikin susah. Kini rasain sendiri." Para pemain tenis tadi - juga banyak yang lain di seluruh Timur Tengah - meyakinkan aku bahwa kelompok ekstrem bukan sekadar sempalan kecil masyarakat. Terkadang beda antara si ekstrem dan orang biasa cuma beda antara kemarahan yang diletupkan dan yang terpendam. Contoh pengeboman tadi jelas: kaum ekstrem yang melakukannya sebenarnya cuma meledakkan rasa anti-Amerika yang tumbuh makin subur di Timur Tengah sejak tiga tahun lalu. Keyakinan seperti ini terasa pula ketika aku ke Mesir untuk meliput negeri itu setelah kematian Sadat. Di daerah kumuh yang luas di kota ini, aku menyaksikan banyak orang menyembunyikan sukacita mereka atas kematian "Firaun" itu. Kebijaksanaan ekonomi dan cara hidup Sadat membuat dia terasing dari rakyat. Peluru yang ditembakkan kepadanya sebenarnya cuma peluru sentimen umum. Kuingat seorang petugas hotel berbicara tentang sebuah pesta - yang direncanakan akan dilangsungkan beberapa jam setelah kematian Sadat. Pesta itu berjalan terus. Seorang teman yang baru pulang dari negeri itu bilang, dia hampir tak menemukan sepotong gambar Sadat di tempat-tempat umum. Demikian juga di Israel. Orang-orang yang yakin bahwa teroris Yahudi cuma serpihan kecil penduduk Israel adalah mereka yang membohongi diri sendiri. Banyak bukti yang menunjukkan hal itu. Sebuah pengumpulan pendapat umum yang dilakukan harian Ha'aretzsetelah penahanan 27 teroris mengemukakan bahwa 31,8% publik mendukung - atau paling tidak menyetujui - aksi teror itu. Juga disebut-sebut di dokumen pengadilan bahwa pemimpin-pemimpin pemuka teroris mengunjungi rumah-rumah untuk mencari anggota, tak peduli siapa yang mereka ajak. Bayangan tentang gerakan bawah tanah, yang "sembunyi-sembunyi di liang-liang gua", itu cuma khayalan. Gerakan ekstrem Israel jauh lebih luas dari itu. Seorang teman Israelku bertanya kepada pembantu wanita tua Yahudinya tentang penahanan para teroris. Wanita itu, imigran dari Marokko, berkata, alangkah jeleknya penahanan itu. Bagaimanapun, kata dia, tak adil jika orang Arab dibiarkan punya gerakan bawah tanah sedangkan Yahudi tidak. Jadi, barangkali, yang paling menakutkan di Timur Tengah saat ini bukanlah naiknya pamor ekstremis, tetapi meluasnya basis mereka. Kekerasan ekstrem memakan makin banyak nyawa. Kekuatan ekstrem makin banyak menghimpunkan kader. Bagi setiap tindak kekerasan kita bisa menemukan pelbagai bentuk yang menyetujuinya, paling tidak di dalam hati. * * * Itu membawa kita ke kesimpulan kelima dan terakhir. Ekstremisme berbiak secara berantai ekstremisme berbiak bersama frustrasi, juga bersama ketakpekaan. Sekarang ketiga hal itu campur aduk di Timur Tengah. Terutama di dunia Arab. Dunia tua itu tengah menjalani masa penuh frustrasinya. Di sana ada kevakuman ideologi, sebuah perasaan hampa ketika semua penyelesaian politik telah dicoba tanpa guna. Ideologi-ideologi lama, dari Nasserisme sampai sosialisme Arab, sama sekali tak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan politik, sosial, dan ekonomi dasar mereka. Harapan-harapan ketika minyak melimpah kini terbukti tak berguna. Semua ini menimbulkan rasa sinis dan ketakberdayaan, dan itu melahirkan sebuah frustrasi massal. Di saat seperti inilah muncul kaum fundamentalis agama, menawarkan "penyelesaian Tuhan" sebagai pengganti penyelesaian sekular yang gagal terus. Ekstremisme membiak dengan reaksi berantai. Contohnya Rabbi Kahane. Selama kampanye, Kahane tak banyak cakap - cuma berdiri di depan kamera televisi sambil menyentak, "Beri aku suaramu, dan mereka akan 'kuurus'. 'Mereka' yang dimaksudnya adalah penduduk Arab di Israel. Ketika ia akhirnya dapat kursi, orang-orang geger. "Bagaimana mungkin?" Begitu orang bertanya. "Siapa yang mau memilih seorang ekstremis Xenophobis semacam ini?" Toh, nyatanya, dia terpilih. Keberhasilan Kahane antara lain akibat sikap negara-negara Arab. Dengan selalu menolak negosiasi, dan tak mau mengakui Israel, mereka sebenarnya telah memberi umpan orang-orang seperti Kahane untuk melesat. Orang-orang Arab membohongi diri sendiri dengan mencoba memperoleh yang mereka cari lewat tekanan kepada Israel dari luar. Jalan untuk memberi tanah air buat Palestina mestinya bukan resolusi PBB, pembajakan, ataupun perang, tetapi melalui masyarakat Israel dan demokrasinya - seperti yang dicoba Sadat. Mayoritas orang Israel masih menghendaki kompromi. Tetapi mereka harus dibikin aktif melalui dialog dan pengakuan. Hanya orang Arab yang mampu menjatuhkan Kahane - dengan negosiasi untuk sebuah permukiman politis. Demikian juga dengan Israel. Ketidakpekaan mereka menyebabkan timbulnya ekstremisme. Itu dilakukannya ketika menduduki Libanon Selatan, yang penduduknya 80% Syiah dan 20% Kristen. Tentara Israel justru memaksakan Saad Haddad yang Kristen menjadi gubernur jenderal. Dengan segera milisi Amal Syiah itu, yang sebenarnya bisa menjadi kawan ampuh untuk menghadapi PlO yang merusuhi penduduk di situ, menjadi lawan utama. Menyadari kesalahan itu, Israel lalu berusaha merangkul mereka. Tapi lagi-lagi salah langkah. Bukannya rakyat kebanyakan yang dipilih, tetapi justru para tuan tanah yang sudah sejak lama tak populer lagi. Lebih buruk lagi, Oktober 1983, sebuah kesatuan patroli mereka memaksa lewat, ketika 50.000 orang Syiah sedang merayakan hari raya Asyura - pesta peringatan meninggalnya Hasan dan Husin, anak-anak Ali--di Desa Nabiteyeh. Kerusuhan segera terjadi, dengan akibat dua orang Syiah mati, 15 luka-luka, dan ribuan cedera. Pasukan itu memang lalu dihukum - tetapi segalanya telah telanjur. Orang-orang Syiah itu akhirnya menjadi musuh utama Israel setelah PLO. Perlawanan mereka diorganisasikan di masjid-masjid. Jarang ada hari tanpa tembakan, ranjau darat, granat, atau apa saja yang diarahkan kepada tentara Israel. Makin keras Israel bertahan, dengan memblokir jalan serta menggeledah mobil dan rumah, makin keras rasa benci warga setempat . * * * Penyelesaian apa yang bisa diharapkan di Timur Tengah? Tiap kali aku berpikir seperti itu, tiap kali aku kepengin punya sedikit optimisme - dan aku selalu teringat Moshe Dayan dan Sharm el-Sheik. Bertahun-tahun pahlawan perang Israel itu bersumpah, "Lebih baik perang melawan Mesir demi mempertahankan Sharm el-Sheik daripada -damai tetapi kehilangan Sharm el-Sheik." Sharm el-Sheik, jika Anda lupa, adalah basis militer Israel di ujung selatan Sinai. Lalu Sadat berkunjung ke Israel. Diulurkannya tangan persahabatan, dan Dayan pun tiba-tiba bisa melihat, pada dirinya dan pada diri bekas musuhnya itu, sesuatu yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Tiba-tiba dunia tampak berbeda. Tiba-tiba agenda hidupnya berbalik. Tiba-tiba Sharm el-Sheik tampak begitu tak berarti. Ada satu pelajaran penting di situ. Yaitu bahwa kita punya kekuatan hebat untuk saling membentuk dan bahwa setiap kali Anda menciptakan dinamika baru antarmanusia, semua hal baru menjadi mungkin. Banyak orang yang kujumpai di Israel bertanya, "Kamu sudah ketemu Arafat. Apa dia betul-betul orang moderat?" Aku selalu menjawab begini, "Tahulah. Yasser Arafat sendiri tak tahu - dan akan tetap tak tahu sampai dia diuji." Dibutuhkan seorang Sadat untuk melunakkan Moshe Dayan dan Menachem Begin. Dibutuhkan pula seorang atau beberapa orang Israel untuk menjadikan Arafat moderat. Demikian pula sebaliknya, Arafat harus mampu meyakinkan Israel untuk menjadi moderat. Seperti yang telah ditunjukkan Sadat: manusia bisa berubah. Tetapi Sadat telah tiada. Jiwa kepeloporannya juga mulai mengabur. Di saat-saat yang makin gelap ini, aku khawatir Libanon akan menjadi model masa depan Timur Tengah: adukan semua bentuk kekerasan dan niat buruk. Sembilan tahun dalam perang saudara, ketakutan, keserakahan, dan egoisme membuat setiap komunitas agama di Libanon mencapai titik didihnya. Toleransi dan kompromi adalah masa lampau. Politik di Libanon, kini, adalah politik untuk menjadi paling ekstrem. Dan itu, aku khawatir, akan menyebar ke seluruh Timur Tengah. Aku teringat suatu kejadian yang kusaksikan di Libanon. Tepatnya di Shatila, beberapa hari setelah pembantaian itu. Palang Merah datang ke situ, menumpulkan ribuan jenazah, dan memakamkannya dalam sebuah pekuburan massal di sebuah lapangan kosong. Mereka telah menggali sebuah lubang panjang sedalam empat meter, dan sedang mengangkuti mayat-mayat itu satu per satu ketika aku tiba. Sederetan jenazah diletakkan dan ditaburi kapur, supaya tak berbau, sebelum ditutup dengan selapis tanah. Di atas lapisan ini, mayat berikutnya diletakkan. Begitu seterusnya, sampai lubang terisi penuh. Kulihat seorang bocah Palestina, memakai baju merah dan celana pendek, sedang duduk di sebuah bangku kecil. Umurnya tentu belum delapan tahun. Dia memakai sebuah topeng putih untuk menahan bau busuk yang menyebar - topeng yang terlalu besar, hingga terjatuh di lehernya. Matanya basah oleh tangis. Kelihatannya ia sedang mengawasi anggota keluarganya - atau bahkan barangkal di seluruh keluaranya -- dikuburkan. Aku ingat, sambil mengawasi anak itu, aku berpikir: seharusnya tak seorang pun boleh menyaksikan penguburan sengeri ini. Apalagi anak kecil. Aku sedih. Luka apa yang kini sedang terbentuk dalam kalbu anak ini? Nafsu balas dendam seperti apa yang kini mengisi hatinya? Jadi, begitulah terjadinya, pikirku. Begitulah lingkaran.itu selalu berputar. Satu generasi mengawasi generasi lain pergi bersimbah darah. Dan sebuah generasi baru menuntut balas, generasi baru ekstremis yang tak mampu lagi memilah-milah, dan tak bisa menolak untuk dilahirkan. Aku hanya bisa berharap, pelajaran yang diberikan Sadat segera diikuti sebelum terlambat. Dan seorang anak akan terangkat kembali dari takdirnya yang penuh dendam. Jika tidak, aku khawatir, suatu saat anak-anak itu akan menetapkan acara bukan hanya untuk Timur Tengah. Tetapi untuk kita semua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini