DULU, waktu mendengar Ronald Reagan terpilih sebagai presiden Amerika mengalahkan Jimmy Carter, saya terkesima. Reputasi politik tokoh tua bekas bintang film ini sangat konservatif. Dialah gubernur yang membabat gerakan mahasiswa, berhasil dengan gemilang mematahkan huru-hara di kampus, dan mendorong exodus guru besar terbaik kembali ke universitas yang lebih liberal di Utara. Dialah gubernur California yang dengan tegar memihak big business dan mengesampingkan gerakan lingkungan. Ke mana lalu elang Amerika tahun 70-an? Kampiun gerakan konservasi alam, hemat energi, antipencemaran, kampanye pembatasan keborosan? Mana jejak jago-jago "batas pertumbuhan" (limit to growth), "akhir zaman melimpah ruah" (the end of affluence), dan penghijauan Amerika? Mana nuansa pekik Alvin Toffler, si peramal bencana yang gegap gempita? Atau Frances Lappe, yang menghitung tercecernya butir padi dan gandum yang meleset dari tangan si papa? Ke mana gerangan perginya kesadaran universal Amerika, hak asasi, dan lengking balada menyelamatkan umat manusia dari akibat keserakahan, kecerobohan, dan ketidakpedulian? Ternyata, sepuluh tahun sudah cukup bangsa Amerika dikenyangkan oleh momok malapetaka yang konon bakal datang seabad lagi. Mereka terperanjat datangnya bencana yang menimpa Amerika hari itu. Pengangguran, kemerosotan ekonomi, resesi, bahkan kelaparan bisa melanda negara kaya raya itu menjelang Reagan tampil. Kemudian di depan matanya disaksikan golekan tubuh dan nasib pengungsi dari Amerika Latin dan Asia yang menumpang hidup. Di luar negeri, kehormatan Amerika dipermainkan dengan peran yang pelik dan ruwet di Iran, Nikaragua, El Salvador, dan Libanon, setelah pelajaran pahit yang tak ingin diulang pada perang di Vietnam Selatan. Dalam keadaan demikian, iklim Amerika diliputi semangat menyelamatkan diri dari bencana hari ini. Semangat menegakkan akunya Amerika yang guncang oleh bom, pengangguran, dan kemerosotan ekonomi. Keterlibatan Amerika dalam peperangan yang tidak dimengerti banyak rakyatnya tetapi membawa korban remaja dan prajurit Amerika di mana-nana. Amerika butuh simbol, butuh cermin dan balon yang dapat melambungkan harga diri kembali. Tetapi Amerika juga butuh pragmatisme dalam memberantas kemerosotan ekonomi. Terlalu lama terpesona dengan elang untuk menyelamatkan umat manusia, terlalu lama dikecewakan oleh impian menjadi kampiun peradaban dunia, demokrasi, kebebasan, hak asasi, dan apa lagi - sementara ke-Amerika-annya goyah oleh krisis demi krisis, baik di dalam maupun di luar negeri. Maka, tampillah Ronald Reagan. Musuh-musuh Amerika dihinpunkan direka-reka untuk dihancurkan. Dalam rangka membangkitkan semangat kejagoan Amerika, gambar tokoh negara lain, seperti Khomeini, Fidel Castro, dan Muammar Qadhafi, ditempelkan di papan-papan sudut kedai minum yang ramai dikunjungi pekerja atau penganggur. Sambil setengah mabuk, pejuang-pejuang itu ingin menegakkan martabat Amerika dengan melempari musuh-musuh itu dengan anak panah. Kaum pengungsi, yang dengan jujur dianggap parasit masyarakat Amerika, diteriaki, dikucilkan. Bekas wakil presiden Vietnam Selatan Cao Cy, sahabat Amerika bertahun-tahun dalam perang Vietnam, yang kini menumpang hidup di sana, dinistakan - dituduh sebagai gembong perampok, pemeras, dan segala bentuk kejahatan yang dimotori orang-orang asal Vietnam yang beroperasi di Amerika. Di bidang ekonomi? Tinggalkan itu politik belas kasihan kepada orang Amerika atau orang mana pun di dunia yang miskin dan malas. Amerika adalah kerja keras, lugas, bersaing. Survival of the fittest. Rangsangan berproduksi dan berprestasi. Biarkan ekonomi tumbuh pesat, kendurkan beban pajak. Bila perlu dorong pertumbuhan Iewat belanja pemerintah, sampai defisit besar sekalipun. Bantu ekonomi untuk dan oleh bangsa Amerika, bila perlu dengan cara apa pun dan atas kerugian siapa pun. Termasuk merangsang suku bunga bank di Amerika meningkat demikian rupa sehingga dapat menyedot dolar dari negara-negara sekutunya baik di Eropa, Timur Tengah, Amerika Latin maupun Asia, untuk kepentingan Amerika. Itulah jejak Reagan. Itulah pahlawan kebangkitan harga diri. Kini, persoalan banyak yang sudah terpecahkan. Apa yang diminta bangsa Amerika, Reagan-lah yang punya nyali untuk memberi. Tidak soal benar bagaimana cara dia memerintah. Tidak peduli apakah ia di sidang kabinet sering tertidur. Atau pendengarannya rapuh. Biar gugup waktu berdebat, atau keliru menyebut negara penting sahabat Amerika. Let Reagan be Reagan. Mau mengumpat dammit atau shut up di depan khalayak terhormat, atau omong ngaco di corong radio secara spontan, Reagan jujur mencerminkan diri bangsa Amerika saat ini. Ia idola Amerika, ia pengejawantahan kehendak bangsa ketika dilanda krisis kehormatan dan harga diri. Saya terpesona dengan real politiek dalam soal kepemimpinan bangsa ini. Ternyata terlalu naif untuk berharap bahwa presiden negara adikuasa itu harus seorang yang adiluhung atau adiguna, maha mulia timdak tanduknya dan mahabisa menghadapi kerumitan dunia. Tidak perlu. Sebuah tahap sejarah, sebuah era perjalanan bangsa, menuntut corak dan warna kepemimpinan sendiri. Sia-sia kita mereka-reka mana yang pantas bagi Amerika, menurut citra yang terpatri di benak kita. Bangsa perkasa, sumber inspirasi, kampiun kebebasan dan demokrasi, sebutlah apa stereotype Amerika. Semua itu ilusi belaka. Dalam kenyataan, derap langkah bangsa itu mengikuti jejak kodrat keberuntungan dan kesialannya. Mungkin stereotype Anda tentang Amerika benar, secara umum, tetapi tidak dalam era khusus sebuah kurun zaman - zaman Amerika dilanda krisis kejagoannya, zaman Amerika harus menjawab persoalan hari ininya. Ia membutuhkan pemimpin seperti Reagan. Selamat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini