Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Ngou berpuyuh putih

Lim Kuang Nguan, 52, dari pontianak melakukan percobaan persilangan darah dari ayam ras putih ke puyuh yang menimbulkan puyuh berbulu putih. Beberapa ahli meragukan cara kerja lim. (ilt)

17 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERCAYAKAH bahwa warna burik burung puyuh bisa diputihkan semulus ayam leghorn lewat transfusi darah? Pengubahan sifat (mutasi) lewat cara itu memang belum ada teorinya dalam biologi, dan dianggap mustahil. Tapi, seorang peternak unggas di Pontianak, Lim Kuang Nguan membuktikan bahwa hal itu bisa terjadi. Lim Kuang Nguan alias Ngou, 52, membeli 50 ekor puyuh di Jakarta. Setahun kemudian, 1974, peternak yang cuma sekolah dasar berbahasa Cina itu ingin menimbulkan kcturunan puyuh putih seperti ayam ras yang dipeliharanya. Mula-mula ia mencoba menyedot darah ayam ras sekitar 1 cc, kemudian dipindahkannya ke puyuh, lewat bawah sayap. Beberapa jam kemudian, puyuhnya teler lalu mati. Berpendapat bahwa mungkin dosisnya kelebihan, Ngou pada percobaan berikutnya mencoba dengan dosis separuh, tapi hasilnya sama saja: puyuh percobaannya mati. Mungkin udara panas? "Saya lalu mencoba pada malam hari," begitu cerita Ngou kepada Djunaini KS dari TEMPO. Tapi, pada percobaan selanjutnya, ia mengurangi darah puyuh dulu sebelum menyuntikkan darah ayam sebanyak pengurangan tadi. Tapi, pekerjaannya jadi agak sulit, karena terjadi pembekuan pada tabung spuitnya. Puyuhnya mati beberapa hari kemudian. Ngou lalu teringat akuades, cairan pencampur obat, yang biasa digunakan untuk menyuntik ternak ayamnya. Tapi, berpikir bahwa barangkali darah itu perlu dicairkan dengan sesuatu yang hangat, Ngou memakai uap bubur sebagai pengganti akuades. Untuk mengurangi risiko kematian puyuhnya, Ngou mentransfusikan darah ayam setetes saja. "Untuk tiap ekor puyuh saya tratisfusikan darah ayam dua kali seminggu selama 24 minggu," tutur Ngou. Kendati puyuh-puyuh itu sudah bertelur sejak minggu-minggu pertama percobaannya, transfusi dijalankan terus. Enam bulan (24 minggu) kemudian, Ngou mengetes hasil percobaannya. Dipilihnya telur dari puyuh yang sudah menerima suntikan darah ayam terus-terusan tadi dan ditempatkannya dalam kandang dengan perbandingan dua jantan dan tiga betina. Selama tiga hari pertama diberikan suhu 103 Fahrenheit, kemudian selama 12 hari di bawah 102, dan dalam tiga hari menjelang tetas, diatur tinggal 100. "Dari 100 telur yang menetas, muncul 40 ekor putih mulus, dan selebihnya seperti induk asalnya," kata Ngou. Ia kemudian memisahkan puyuh putih dengan perbandingan jantan--betina: 2:3. Menurut Ngou, puyuh putih tadi pada usia 40 hari sudah bertelur, sedangkan yang burik masih beberapa hari kemudian - padahal komposisi menu sama: konsentrat 521, seperti biasa, diberikan kepada anak ayam, dan empat minggu kemudian makanan campuran jagung halus (40%), tepung ikan (4%), dedak (30%), dan konsentrat 124. Mengapa begitu, itu resep rahasia Ngou. Keturunan puyuh putih tadi ternyata semuanya putih mulus seperti ayam ras putih. Sedangkan keturunan si burik, ada hitam dan ada putih, dengan perbandingan sama (1:1). Puyuh-puyuh putih yang dikembangkan Ngou itu sudah banyak dibeli dan dibudidayakan di Pulau Jawa dan Sumatera, terutama sejak dipamerkan di Cisarua, Bogor, 1981. Sampai sekarang, kata peternak itu, pesanan masih mengahr, bahkan dari peternak Muangthai dan Taiwan. Willy Rumawas, doktor patologi unggas di Institut Pertanian Bogor yang pernah mengunjungi peternakan Lim Kuang Nguan di Pontianak, Juga pernah membawa 25 ekor puyuh putih itu. Tapi, dokter hewan bergelar Master dari Colorado State University itu berpendapat, penimbulan keturunan baru puyuh seperti dilakukan Ngou itu tak masuk akal. "Secara ilmiah, suntikan darah tidak berpengaruh terhadap struktur genetik," kata Rumawas. RUMAWAS memang belum meneliti puyuh-puyuh dari Pontianak itu. Tapi, dugaannya, puyuh Ngou berasal dari keturunan puyuh Jepang berbulu cokelat yang memang senng menurunkan beberapa anak berbulu putih. Kepala laboratorium perunggasan Lembaga Biologi Nasional (LBN) Bogor, Drs. M. Noerdjito, berpendapat serupa. Seorang stafnya, Ir. Sri Paryanti Waluyo, pernah melihat ada sedikit perbedaan warna antara puyuh koleksi Ngou dan puyuh Jepang. Tapi Noerdjito memperkirakan perbedaan warna itu karena berbeda masa pembibitan saja. Dokter Hewan F. Siregar dari Dinas Peternakan Kalimantan Barat juga meragukan percobaan Ngou. "Kalau ia jujur melakukan persilangan darah, dan tidak menyembunyikan parent stock puyuh itu, ini luar biasa," komentarnya. Tapi, ia curiga, Ngou memasukkan telur puyuh Bangkok atau Taiwan, kemudian menetaskannya. "Boleh jadi mutasi itu timbul lewat perkawinan silang puyuh cokelat dengan merpati atau ayam kate putih," tambahnya. Dewasa ini, banyak puyuh ras Taiwan yang diternakkan di Indonesia. Kabarnya, karena produktivitasnya stabil. Puyuh ras Indonesia juga cukup produktif - seperti ras Jepang - tapi, menurut kalangan peternak, puyuh Indonesia masih peka cuaca. Agaknya, karena puyuh Indonesia yang berJumlah 12 marga itu - gonggong, batu, paruh panjang, mahkota, kepala merah, dan lainlain - belum terlalu lama dijinakkan. Dulu mereka hidup di rimba dan bertelur 3-4 butir setahun. Kini, seorang peternak yang rajin memberinya makanan sekitar Rp 6 per hari, bisa memungut telur mereka setiap hari, sejak usia 42 hari sampai 2 tahun. Harga jual perbutir dewasa ini sekitar Rp 15.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus