PADA suatu subuh, Serma Polisi Johanes Ninung mendengar pintu rumahnya diketuk orang. "Pak Dansek ... Pak Dansek!" seru si pengetuk pintu dengan nada terburu-buru. Ninung, Kapolsek Loli di Sumba Barat, NTT, itu segera bangkit dari tidurnya. Ia menanyakan identitas dan maksud kedatangan si tamu. Jawaban yang terdengar, sungguh, membuat bulu kuduk merinding. "Saya Pelipus, Pak. Saya membawa dua kepala manusia. Kepala istri saya dan seorang laki-laki." Sisa kantuk Ninung kontan hilang. Ia memerintahkan agar bawaan Pelipus dibawa saja terus ke asrama polisi. Dan pria kurus berumur 21 tahun itu menurut. Dengan sepotong kayu, ia memikul dua kepala manusia yang sudah diikat menjadi satu itu menuju asrama. Tak ubahnya memikul buah kelapa. Dengan cara memikul pula, Pelipus - tersangka pembunuh - membawa kepala itu dari Desa Pondok. Ia menempuh perjalanan sekitar 15 km, dari dinihari sampai subuh, dengan berjalan kaki. "Semuanya sudah telanjur. Apa boleh buat," ujar Pelipus, yang kini ditahan. Pekan depan - awal Januari 1986 - polisi rencananya akan menyerahkan berkas perkara tersangka ke kejaksaan. Pemenggalan kepala yang mendirikan bulu roma itu terjadi sudah agak lama, 3 November lalu - tapi Sumba, nun jauh di sana, kabarnya memang sering terlambat terdengar. Malam itu merupakan malam kedua Pelipus dan istrinya, Dada Gadi, ibu seorang anak, 21, memanen padi. Mereka tak hanya berdua. Lingo Balu, 18, dan Bili Saingo, 20, - keduanya pria - serta Daido Ngara, wanita, 18, ikut membantu Pelipus yang masih saudara sepupu. Karena jauh dari rumah, mereka tidur di dangau. Lepas makan malam, menurut tersangka, ia mengajak istrinya tidur di dangau yang baru. Sekalian sambil mengawasi padi yang baru dipanen. Sejak malam sebelumnya, kata tersangka, ia merasa tak tenang "Saya mendengar burung berbunyi terus. Jangan-jangan mau ada pencuri," katanya. Yang membuat Pelipus agak kesal, karena istrinya, yang tengah membenahi bekas makan malam, tak menyahut ajakannya. Terpaksa dia pergi seorang diri menuju dangau baru. Saat terbangun di tengah malam, Pelipus mendapati bahwa Dada, istrinya, belum juga menyusul. Dengan rasa penasaran ia balik ke dangau lama. Seketika itu darahnya mendidih. Ia melihat istrinya tengah tidur berpelukan dengar Lingo - keduanya masih dengan pakaian utuh. Di samping kanan tampak Daido, sedangkan Bili tidur di sebelah kiri di tumpukan padi. Tanpa bicara apa-apa, Pelipus menginjak leher istrinya. Parang panjang yang ia genggam berayun cepat sekali menebas dada dan kepala Dada dan Lingo. Ayunan parang berikutnya memisahkan kepala kedua korban dari tubuh mereka. "Mereka saya habisi karena telah berzina," begitu kata Pelipus kepada Bili dan Daido yang ketakutan sekali menyaksikan pembantaian itu. Karena takut pula keduanya mau disuruh mengantar Pelipus ke kantor polisi. Tapi sebelum sampai ke Polsek Loli, keduanya memisahkan diri, dan Pelipus berjalan seorang diri. Visum dokter Bernard Jonathan dari Puskesmas Puuveri menyatakan bahwa pada diri kedua korban tak ditemui bekas persetubuhan. Belakangan Pelipus sadar bahwa tindakannya karena terburu nafsu. Ia menyatakan, selama ini tak ada ulah Lingo yang mencurigakan. Pemuda itu malah dibesarkan oleh orangtua Pelipus. "Dan sejak masa anak-anak, kami tak pernah bertengkar," ujar Pelipus, yang hanya sekolah sampai kelas 1 SD. Menurut orangtua Dada, cara Pelipus mengawini anaknya agak sembrono. Sesuai dengan adat, Pelipus mestinya memenuhi belis (emas kawin) 40 ekor kerbau. Tapi, "Pelipus, yang baru memberi 10 ekor kerbau, langsung masuk kamar Dada," kata Wada, ibu Dada. Begitu gampangnya Pelipus mengayun parang, mungkin ada hubungannya dengan kepandaiannya menebas leher kerbau. Petani muda yang mempunyai sawah cukup luas itu dikenal ahli membabat leher kerbau, saat dilakukan upacara adat Sumba. Tapi, manusia bukan kerbau, 'kan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini