Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kelaparan: jangan lupakan itu

Perekonomian brasil memang lagi berantakan. krisis ekonomi telah terjadi selama sepuluh tahun. padahal berbagai upaya telah ditempuh. kata orang, ini warisan dari pemerintahan yang selalu berganti kebijaksanaan.

30 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah sebuah tayangan iklan di televisi Brasil. Tampak di layar, adegan di satu ruang keluarga. Sepasang warga sedang makan malam mewah. Yang wanita mengenakan perhiasan mahal, sementara pasangannya bersetelan jas tak tercela. Mereka lalu menyeruput anggur diiringi denting musik. Adegan itu disela wajah si miskin. Seorang wanita berkulit gelap menggendong bayi tengah merenung di muka jendela. Kamera berhenti di sebuah piring kosong yang jatuh di lantai: ''Kelaparan. Jangan lupakan itu''. Statistik Brasil terbaru memperlihatkan bahwa 32 juta rakyat Brasil, atau lebih dari seperlima penduduknya, melarat. Kelompok terbawah ini hanya berpenghasilan di bawah US$ 120 setahun -- sekitar Rp 250 ribu per tahun atau sekitar Rp 20 ribu per bulan. Dengan ''kue kecil'' ini, tak banyak pilihan memang. Bisa membeli makanan, tapi tak punya pakaian, obat, ongkos transpor. Atau bisa menyewa rumah, tapi kelaparan. Sekitar 15 juta di antaranya malah menerima hanya sekitar Rp 125 ribu setahun. Dan 5 juta warga lagi tak menerima dalam bentuk uang, kecuali bekerja sekadar untuk memperoleh makan dan tempat tinggal. Dari keluarga-keluarga melarat ini, seperti umumnya di negara berkembang, lahirlah anak-anak jalanan. Sementara itu, 20% kelompok orang terkaya penghasilannya 32 kali lipat dari 20% yang termiskin -- kesenjangan yang lebih besar bahkan dari negeri miskin seperti Bangladesh (di AS kesenjangannya 9:1, dan di Indonesia belum ada penelitian untuk itu). Itulah sebabnya Brasil disebut sebagai salah satu negara di dunia yang kesenjangan masyarakatnya terparah. Setengah dari kelompok orang miskin ini, atau sekitar 15 juta orang, tinggal di kota. Mereka mengepung kota dengan kampung- kampung kumuhnya -- disebut favelas. Mereka hanya dapat melihat rumah-rumah mewah dari lereng bukit, wilayah favelas itu. Diperkirakan, 800 ribu dari 5,6 juta penduduk bernaung di pondok yang terbuat dari kaleng, kayu tripleks, dan eternit. Rumah yang dibangun dengan bahan dan tenaga seadanya itu suka bergoyang-goyang tertiup angin. Di antaranya ada seorang wanita tak menikah yang punya lima anak. Sehari-hari ia bergelandang dengan dua dari empat anaknya, mencari makan. Si bungsu berusia setahun. Dulu wanita itu pernah mencoba menggugurkan jabang bayi kelima di rumah sakit. Tapi keinginannya ditolak rumah sakit kendati dia sudah mengatakan punya empat anak yang semuanya telantar. Si kecil bersama kakak-kakaknya menjadi penghuni rumah kardus. ''Anak- anakku tak punya harapan,'' kata ibu yang putus asa itu. Inilah sisi kemiskinan yang dinilai paling membahayakan oleh Darcy Ribeiro, senator yang juga antropolog. ''Saya tidak pernah tahu masyarakat lain di mana pun, bahkan di negara yang jauh lebih miskin dari Brasil, yang begitu memperlihatkan ketidakpeduliannya terhadap anak-anak,'' katanya. Dalam konferensi tentang ''anak-anak jalanan'' Mei lalu, ia mengeluarkan data. Yakni, sementara 1.000 anak-anak dibunuh tahun 1991, lebih dari 150 ribu bayi di Brasil meninggal sebelum berusia satu tahun. Penyebabnya adalah jauh dari makanan dan perawatan kesehatan yang layak. Data UNICEF terbaru tentang anak Brasil tidak lebih baik. Ada 2 juta anak-anak Brasil yang kurang gizi. ''Memang lebih mudah membicarakan kekejian yang menimpa sedikit orang daripada melihatnya sebagai masalah sosial yang menjadi tanggung jawab semua,'' kata aktivis hak asasi manusia itu. Maksudnya, pembicaraan tentang kematian anak-anak jalanan yang terus menghangat. Angka kematian bayi itu dua kali lebih besar dari Cina, yang gross domestic product per kepalanya hanya sepertujuh Brasil. Brasil juga menjadi salah satu negara di Amerika Selatan yang memegang rekor tertinggi dalam memiliki penduduk dewasa buta huruf. Selain itu, 5 juta penduduknya yang berumur 7--14 tahun tidak pernah mengecap bangku sekolah sama sekali. Salah satu penyebabnya adalah kebijaksanaan yang pincang dalam mengurus pendidikan ini. Padahal, 20% pengeluaran pemerintah pusat dan daerah sudah ditujukan untuk pendidikan. Namun, dari porsi anggaran ini, 60%-nya dikeluarkan untuk melengkapi fasilitas universitas negeri. Uniknya lagi, 500 ribu mahasiswanya dibebaskan dari uang kuliah, padahal yang masuk ke universitas ini kebanyakan anak-anak orang berada. Sisa dana, 40%, digunakan untuk sarana pendidikan dasar bagi 30 juta anak-anak usia sekolah. Beberapa pengamat menemukan sedikit penjelasan. Bencana yang menimpa anak-anak sekarang adalah akibat dari krisis ekonomi selama 10 tahun terakhir, 20 tahun praktek kediktatoran, dan lima abad ketidakadilan berdasarkan ras. Dalam lima tahun terakhir, Brasil sudah 10 kali ''ganti menteri ganti kebijaksanaan'', bersama dengan 10 kali bergantinya menteri keuangan. Juga sudah 10 kali ganti gubernur bank sentral, lima kali menderita syok terapi ekonomi, dan empat kali ''memotong'' uang. Tahun 1991, satu cruzeiros (mata uang Brasil) sama nilainya dengan satu juta cruzeiros awal 1986. Kini sekitar 1.050 cruzeiros cuma sama dengan US$ 1. Presiden Itamar Franco, yang baru duduk di kantor kepresidenan Januari tahun ini, juga pusing. Hanya dalam tempo tiga bulan, dua menteri ekonominya mengundurkan diri. Sementara itu, target permulaan pemerintahannya adalah mengekang inflasi yang 30% sebulan. Adapun GDP (produk domestik bruto, angka yang sering dipakai sebagai petunjuk produktivitas sebuah masyarakat) pada tahun 1991 bukan meningkat, tapi malah menurun dari angka 1986. GDP riil per kepala menurun 10% dari angka 1978. Menurut wartawan Newsweek, Brook Larmer dan Mac Margolis, Brasil tak punya kemewahan untuk memberantas kemiskinan di daerah slum itu. Uangnya tersedot untuk kewajiban mencicil US$ 120 miliar utang luar negerinya -- sebesar US$ 8 miliar setahun. Selain itu, menurut The Economist, ekonomi Brasil parah karena salah manajemen. Kesengsaraan itu disebabkan oleh pengeluaran pemerintah lokal yang tidak bertanggung jawab, yaitu sejak dikeluarkannya konstitusi 1988 dalam masa transisi dari pemerintah militer ke sipil. Penyusun undang-undang, dengan kesadaran hendak membatasi kewenangan pemerintah pusat, memindahkan pendapatan negara dan tanggung jawab ke pemerintah negara bagian. Maka, pendapatan daerah meningkat. Di bawah konstitusi baru itu, pendapatan pajak daerah naik 12% dari GDP. Sebelumnya, 8%. Namun, banyak kewajiban yang belum diambil alih daerah. Dalam anggaran belanja, pemerintah daerah masih mengeluarkan uangnya secara bebas. Mereka belum melakukan penghematan, seperti yang dilakukan pemerintah pusat dengan merampingkan pegawai. Sebaliknya, di daerah, dalam delapan tahun terakhir, pengeluaran untuk membayar gaji pegawai naik dua kali lipat. Akibatnya, hanya tiga dari semua negara bagian dan kota praja yang tidak bangkrut. Sampai tahun ini, pemerintah daerah masih sibuk membenahi kekacau-balauan ekonominya. Itu sebabnya pengentasan kemiskinan mendapat porsi biaya yang sangat kecil. Tahun lalu, anggaran lembaga perawatan negara untuk anak dan orang dewasa, Rio's Centre of Infancy and Adolescene, hanya setengah dari tahun sebelumnya. Seorang petugas dari UNICEF (badan PBB yang mengurus anak-anak) mengatakan bahwa target program kesehatan, pendidikan, dan pembangunan sosial sebenarnya adalah anak-anak. ''Orang dewasa bisa bertahan kalau dananya disunat, tapi anak-anak bisa keburu mati,'' katanya. Itu setelah ia mendengar kabar bahwa ada bocah dua tahun yang meninggal di tangga rumah sakit yang kepadatan pasien. Tragisnya, itu rumah sakit ketiga yang menolak pasien tersebut. Dalam menghadapi kemelaratan ini, sikap masyarakat mendua. Ada yang lebih repot mengurus hartanya. Untuk kelompok ini, yang untung petugas keamanan. Mereka kebanjiran order. Bangunan- bangunan apartemen mewah tak ubahnya bagai benteng. Patroli keamanan siang-malam, ditambah dengan pengintai elektronik dan pagar baja. ''Kelaparan memenjarakan kami,'' teriak si kaya lewat iklan di televisi. Artinya, karena banyak yang kelaparan, kejahatan meningkat, dan si kaya yang digarong. Termasuk juga di jalanan. Ada yang menyebut, kriminal di jalan- jalan Rio de Janeiro atau Sao Paulo lebih keras daripada di kota-kota besar Amerika. Dengan senjata pistol, pisau, dan pecahan gelas, mereka bukan hanya hendak mencopet duit dan perhiasan, tapi juga sepatu. Keresahan penduduk terhadap soal anak-anak ini bukan tak menarik perhatian para politikus di negeri itu. Ketika dulu berkampanye, Presiden Collor de Mello menyatakan ambisinya menjadi ''presiden untuk anak-anak''. Ia membaca keresahan masyarakat yang bakal memilihnya. Segera, setelah duduk di kantor kepresidenan, De Mello menunjuk seorang menteri urusan anak-anak di kabinetnya. Ia juga merancang sekolah khusus yang buka 24 jam. Maksudnya untuk menampung anak-anak jalanan yang tak teratur jadwal kehidupannya. Ia juga mengerahkan dana secara nasional untuk membiayai pelajaran keterampilan dan pemberantasan buta huruf. Tapi, sampai tahun lalu, pengumpul dananya masih jalan di tempat dan hanya empat dari 3.000 sekolah yang berjanji mau menolong anak-anak jalanan benar-benar memenuhi janjinya. Pengganti De Mello, Presiden Itamar Franco, meneruskan ''program pemberantasan buta huruf dan pelajaran keterampilan''. Untuk itu, Franco menjanjikan dropping dana US$ 1 miliar. Hanya sedikit dana yang sampai ke sasaran. ''Tidak ada yang menghargai program ini karena bukan dalam rangka pengumpulan suara,'' kata penduduk Kota Recife, Ana Vasconcelos, menyindir. Akhirnya, yang muncul adalah ratusan kelompok swasta yang bertujuan menyediakan permukimam, pendidikan, dan pekerjaan. Tapi yang paling populer adalah lembaga Ibase. Ini tak lain karena lembaga itu dipimpin oleh bekas pembangkang, Herbert de Souza, yang dikenal dengan panggilan Betinho. Pemerintah menunjuk Betinho mengepalai satuan tugas pemberantas kemiskinan, bahu-membahu antara swasta dan pemerintah saat ini. Betinho kembali ke tanah air pada 1979, setelah mengasingkan diri ke Cili dan Argentina selama 17 tahun karena dikejar-kejar rezim militer Brasil kala itu. Ketika itulah ia membentuk Ibase, lembaga penelitian sosial. Kini, lewat lembaga itu, bekas pembangkang ini tanpa lelah berkampanye memerangi kemiskinan dan ketidakadilan. ''Ketidakadilan itulah yang membuat masyarakat sakit,'' kata Betinho, yang mengidap AIDS karena tranfusi darah. Target pertamanya adalah memberantas kelaparan di daerah kumuh Guarabu, dekat bandara Galeao di Rio de Janeiro. Karisma lelaki itu memancing ribuan sukarelawan. Mereka membanjiri lembaga penelitiannya, sampai Betinho merasa perlu menyewa sebuah rumah dan menggaji satu tim pembantu. Pemerintah menyediakan tempat untuk membuka 400 cabang Ibase dan meminjamkan pekerja untuk proyek ini. Ribuan orang berkeliling dengan sepeda, mengetuk hati penderma. Semuanya untuk membiayai apa yang disebut ''menggilas kelaparan''. Para pengusaha secara sukarela menyumbang truk untuk mengangkut makanan. Sekian perkumpulan mengeluarkan kupon makan gratis di sejumlah restoran. Agen-agen iklan siap membuat kampanye memerangi kemiskinan di media secara cuma-cuma. Barangkali mereka ''termakan'' juga oleh perkataan Betinho. ''Perut kosong di Guarabu dan seribu kampung kumuh lainnya bukan hanya masalah 32 juta kaum papa, tapi bom waktu untuk seluruh masyarakat Brasil.'' Sejauh ini, usaha yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat juga membawa hasil. Contohnya adalah apa yang dialami Luis Carlos Oliveira. Dulunya pemuda kurus berusia 17 tahun ini adalah anak jalanan. Suatu malam, tujuh tahun lalu, ia lari dari keluarganya yang miskin. Oliveira hendak mencari hidupnya sendiri. Mulanya ia menggelandang di sepanjang Copacabana. ''Rumahnya'' dari satu trotoar ke trotoar lain. Oleh salah seorang yang masih terhitung keluarga, Oliveira diajak menjadi pengasong permen. Tapi ia akan dihajar kalau ketahuan menilap duit. Toh kemudian Oliveira terjebak dalam kelompok anak-anak bejat yang suka mencuri dan menenggak obat bius. Maka, ia sering menjadi intaian polisi dan satuan pengaman, dan kemudian dilarang tidur di pinggir jalan. ''Mereka tak membiarkan kami tidur barang sekejap,'' kata Oliveira. Mencari kerja yang benar bukan perkara mudah buat Oliveira. Maklum, ia sudah bertahun-tahun tak duduk di bangku sekolah. Akhirnya, anak itu berjumpa dengan pekerja sosial untuk Penyelamat Anak-Anak Nasional. Oliveira berjanji akan meninggalkan narkotik dan kembali ke sekolah. Sambil sekolah, ia dicarikan kerja di hotel bintang lima Caesar Park. Kini ia bekerja di bagian dapur, dan ia bangga dengan pekerjaannya walaupun gajinya kecil. Oliveira punya cita-cita memiliki rumah sendiri. ''Siapa pun bisa melakukannya. Soalnya punya kemauan atau tidak,'' katanya gagah. Tapi masih berjuta-juta orang tak bisa segagah Oliveira. Bunga Surawijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum