Sejumlah gelandangan dan anak-anak jalanan mati terbunuh di kota-kota besar di Brasil. Mereka ditembaki ''pasukan kematian'' yang banyak disewa para pengusaha kaya. Masalahnya, anak-anak jalanan yang disebut tikus-tikus kota ini mengganggu ketenteraman orang kaya: menjambret, merampok, bahkan membunuh. Tapi perekonomian Brasil memang lagi krisis. Kemiskinan -- juga ketidakadilan -- melahirkan tikus-tikus kota ini. Wellington Barbosa adalah sebuah tragedi. Anak laki-laki berusia 14 tahun itu sedang berjalan-jalan di sebuah jalan yang sibuk di Rio de Janeiro dengan kakak tiri dan pacar si kakak. Tiba-tiba sebuah mobil Volkswagen melintas di samping mereka. Seorang penumpang, berkaus oblong hijau dengan satu gigi yang tonggos, keluar dan melepaskan tembakan dari pistol kaliber 38. Barbosa roboh. Kakak tiri Barbosa dan pacarnya masih sempat tiarap sampai penembak misterius itu masuk ke mobil dan melesat pergi. Tubuh Barbosa yang koma sempat diusung ke rumah sakit. Berita tertembaknya Barbosa segera menyebar ke anak-anak gelandangan lainnya, yang hidup di jalan-jalan di Rio. Sebagai bentuk solidaritas, mereka bergerombol hening di depan rumah sakit. Itu bukan pertama kali mereka berjaga-jaga di depan rumah sakit, menunggu berita tentang teman yang sedang sekarat. Berita malam itu: Barbosa tak bisa diselamatkan. Kakak tirinya memekik. Gerombolan anak-anak gelandangan bubar, masih dengan hening. Bagi mereka, tragedi Barbosa bukan lagi berita baru. Setiap hari di Brasil, diperkirakan, tiga sampai empat orang anak jalanan mati terbunuh. Dan statistik itu meningkat terus dari tahun ke tahun. Tahun 1991 tercatat ada 316 anak mati terbunuh, yang meningkat menjadi 424 anak pada tahun 1992, dan sampai pertengahan tahun 1993 lalu angka kematian anak-anak itu sudah mencapai 298. Mungkin, jika dibandingkan dengan jumlah total penduduk, masih ada negara 2dengan persentase angka pembunuhan anak-anak yang lebih tinggi dari Brasil. ''Bagaimanapun, berdasarkan jumlah itu, Brasil benar-benar menjadi gejala tersendiri,'' kata Agop Kakayan, Kepala UNICEF di Brasil. Apalagi, kenyataannya, banyak di antara anak-anak itu yang dibunuh di jalanan tanpa alasan jelas. Juli lalu, delapan orang anak berusia 11 sampai 17 tahun menjadi sasaran tembak lima orang bersenjata api. Waktu itu ada sembilan orang anak sedang tidur di dekat air mancur di lapangan Paus Pius X, Rio de Janeiro. Di bawah bayang-bayang Gereja Nossa Senhora Candelaria, muncul lima orang yang melepaskan tembakan ke arah sembilan anak yang sedang tidur. Dua orang anak mati dalam tidurnya, enam orang mati di rumah sakit, dan satu orang lagi bisa diselamatkan dari luka tertembak peluru di leher. Berita matinya delapan anak di Candelaria itu menyebar ke seluruh dunia. Dunia internasional memberikan reaksi dan menekan pemerintah agar mengusut pembunuhan itu. Pemerintah Brasil segera bertindak. Empat pelaku dapat ditangkap, dan ternyata kelima penembak itu, termasuk yang masih buron, adalah polisi. Ternyata tak hanya gelandangan yang diburu. Lima minggu setelah peristiwa Candelaria, 20 orang berkedok yang dilengkapi dengan senjata otomatis menyerbu perkampungan Vigario Geral di sebelah Utara Rio de Janeiro. Sebanyak 21 penduduk mati akibat serbuan di malam hari itu. Konon, serbuan itu merupakan balas dendam atas matinya empat orang polisi militer di dekat perkampungan Vigario Geral, yang dibunuh oleh kelompok pengedar obat bius. Tak jelas apakah memang 21 korban tersebut merupakan orang yang membunuh empat polisi militer itu. Kali ini Kongres Brasil-lah yang minta agar dilakukan pengusutan terhadap pihak polisi militer, yang dituduh bertanggung jawab atas kasus Vigario Geral. Namun, juru bicara kepolisian membantah tuduhan itu. ''Tindakan itu bisa saja dilakukan oleh orang-orang yang ingin merusak citra polisi,'' kata Amaral Netto, wakil kepolisian di Kongres Brasil. Alasan lain untuk membantah tuduhan itu adalah pihak kepolisian, termasuk polisi militer, tidak memiliki senjata mesin seperti yang digunakan untuk membunuh 21 korban tadi. Sampai saat ini tak jelas apa dan siapa sebenarnya yang berada di balik pembunuhan beruntun atas anak-anak dan gelandangan di Brasil. Ada teori bahwa pembunuhan itu merupakan aksi mafia yang selama ini sering menggunakan anak-anak sebagai kurir dalam menyalurkan obat bius. Awalnya adalah keinginan anak-anak, yang sama sekali lepas dari kendali orang tua, untuk mencoba kenikmatan obat bius. Para pengedar kelas kakap tak merasa rugi untuk memenuhi keinginan itu. ''Tapi lama-lama mereka mulai terlibat lebih jauh dan sadar tidak ada lagi jalan keluar,'' kata Alba Zaluar, antropologis yang meneliti program pemukiman gelandangan di Cidade de Jues. Berdasarkan penelitian Zaluar dari tahun 1980 sampai 1990, terjadi pembunuhan terhadap 722 orang berusia di bawah 25 tahun, dan semua pembunuhan itu didalangi oleh kelompok pengedar obat bius. Celakanya, para mafia itu malah menggunakan jasa anak-anak juga untuk membunuh ''kurir'' yang sudah tidak disenangi. Alasannya, kurir-kurir kecil yang waktu mencoba-coba masih disebut dengan istilah ''pesawat terbang'' sudah berkembang menjadi ''Boeing'', yang banyak mengetahui rahasia kelompok. Tapi teori Zaluar dianggap sudah ketinggalan zaman. Kini malah berkembang keyakinan, jadi bukan lagi sekadar teori, bahwa pembunuhan itu dilaksanakan oleh ''pasukan kematian'', yang memang khusus dibayar untuk membersihkan kota-kota besar di Brasil dari kaum gelandangan. Di belakang pasukan kematian itu adalah orang-orang kelas menengah dan atas Brasil yang kenikmatan sehari-harinya mulai terusik. Soalnya, kehadiran anak-anak gelandangan di kota-kota besar Brasil memang meningkat pesat. Mereka adalah anak-anak yang lari dari rumah di pedesaan karena kemiskinan maupun karena kekerasan orang tua. Di kota, anak-anak itu bergantung pada aksi kriminalitas untuk bisa bertahan hidup. Hanya sebagian kecil yang bisa bertahan hidup dengan cara bersih, yaitu mengemis ataupun menyemir sepatu. Itu pun dalam suasana persaingan yang berat. Pekerjaan yang paling mudah, dengan hasil lebih menggiurkan, adalah mencopet, mencoleng di toko-toko, maupun mencuri ke rumah orang. Tak sedikit pula dari anak-anak gelandangan itu yang akhirnya terperosok lebih jauh pada tindakan kriminal serius. Pada bulan Maret 1992 lalu, misalnya, seorang anak berusia 12 tahun berniat menjarah rumah seorang dokter. Tetapi yang dilakukannya kemudian lebih sadis lagi, membunuh dokter tersebut. Lantas ada juga sekelompok anak-anak dengan senjata pemukul yang merampok orang-orang yang sedang pesiar di sebuah pantai di Rio. Tak banyak yang bisa diperbuat terhadap para bandit kecil itu karena, kalaupun pelakunya ditangkap, masih ada gelombang anak- anak gelandangan pengganti yang berkeliaran di jalanan. Itu sebabnya perasaan kasihan cepat berganti dengan kebencian. Maka, ketika beberapa anak-anak gelandangan terbunuh, tak sedikit pula orang Brasil yang ''setuju''. Lewat acara talk show di televisi maupun di radio, yang mengundang anggota masyarakat, bisa terlihat bahwa masyarakat mulai memuji aksi pasukan kematian. ''Banyak anak-anak berumur belasan tahun yang terbunuh. Mereka memang layak mati,'' kata seorang pekerja di Rio, Coelho Reis, 23 tahun. Reis, agaknya, tak mau tahu lagi soal akar dari kejahatan anak-anak gelandangan itu. Ia hanya ingin bisa berjalan-jalan lagi di Rio tanpa rasa takut. ''Ketakutan untuk dirampok atau diserang membuat orang-orang berpikir bahwa membunuh para pelaku tindakan kriminal itu akan menolong,'' kata Mayor Altamir Feritas, polisi di Rio. Jelas itu gagasan yang salah besar, tapi kenyataannya sudah merasuk ke dalam benak warga kota-kota besar Brasil. Maka, para pedagang yang merasa sering terteror oleh para pelaku tindakan kriminal memilih membayar pasukan kematian sebagai petugas keamanan. Apalagi mereka melihat sendiri bahwa cara kekerasan ternyata berhasil membuat Rio bersih dari gelandangan. Menjelang KTT Bumi 1992 lalu, misalnya, Rio bisa dibersihkan dari gelandangan dengan pengerahan aparat kepolisian dan militer. Waktu itu sudah ada suara-suara yang berharap agar cara itu dipertahankan. Memang, begitu KTT Bumi usai, tikus-tikus kota itu muncul kembali. Saat ini, berdasarkan penyelidikan Kongres Brasil, terdapat sekitar 180 kelompok pasukan kematian yang bertugas membersihkan para pencoleng. Memang tidak ditemukan pasukan kematian yang khusus memburu anak-anak gelandangan. Tapi pasukan itu juga tak memilah-milah para pelaku tindakan kriminal kelas kakap dengan bandit-bandit kecil. Dalam benak para pasukan kematian, dan cukong yang membayar mereka, bandit adalah bandit, berapa pun usianya. Tragisnya, pasukan kematian itu tak hanya terdiri dari tukang pukul swasta, tapi juga para polisi militer. Peran polisi militer di Brasil memang masih kuat akibat kebijaksanaan tahun 1967 yang memberi otoritas pada polisi militer untuk mengamankan jalan-jalan di Brasil. Waktu itu Brasil di bawah pemerintahan diktator militer. Jadi, polisi militer di Brasil bisa saja langsung menahan anggota masyarakat biasa, tidak seperti polisi militer di negara lain yang hanya mengamankan pihak militer. Dan dengan pendapatan rata-rata sekitar US$ 100, banyak polisi militer ternyata yang mencari tambahan penghasilan sebagai petugas keamanan para pengusaha maupun mafia pengedar obat bius. Ketika permintaan untuk menjadi pasukan kematian meningkat, mereka juga tak malu-malu menyambar kesempatan itu. Sebuah survei mengungkapkan bahwa 20% polisi di Rio de Janeiro mengaku pernah diajak bergabung pada pasukan kematian, dengan salah satu tugas membunuh. Konon, anggota pasukan kematian bisa dibayar hanya dengan US$ 33 untuk satu kali tugas. Lagi pula polisi militer di Brasil tergolong sebagai aparat kepolisian yang tidak disiplin dan ''ringan peluru''. Selama delapan bulan pertama tahun 1993 ini, 135 polisi di Rio dipecat karena terlibat dalam tindakan kriminal. Lantas tahun 1992 lalu, polisi militer di Sao Paulo, kota berpenduduk 16 juta jiwa, membunuh 1.470 orang. Sementara itu, dari 98 anggota pasukan kematian yang ditangkap oleh pemerintah Brasil sejak 1991, sebanyak 38 orang adalah anggota polisi militer. Tragisnya, pengadilan atas polisi yang membunuh gelandangan justru mulai ditentang oleh masyarakat. Agustus lalu, seorang hakim di Sao Paulo menjatuhkan hukuman 12 tahun pada seorang polisi yang diduga menjadi anggota pasukan kematian. Polisi itu membunuh orang yang dianggap sering meneror masyarakat. Ketika hakim memukul palu, ruang sidang dipenuhi suara riuh yang minta keringanan hukuman. Dan itulah yang membuat langkah perlindungan terhadap anak-anak dan gelandangan menjadi makin sulit. Padahal, tak ada jaminan bahwa pembunuhan atas anak-anak gelandangan akan melenyapkan teror yang, sebenarnya, berakar dari masalah kemiskinan. Tak ada statistik yang pasti tentang jumlah anak-anak gelandangan di Brasil, tapi diperkirakan sekitar 200 ribu sampai 3 juta anak-anak Brasil menghabiskan seluruh harinya di jalanan. Artinya, ''Tak ada gunanya membunuh anak-anak jalanan. Selalu jumlahnya akan lebih banyak lagi,'' kata Rosimere, pekerja di tempat perlindungan anak-anak Sao Martinho. Rosimere memang benar. Hanya saja, ia mungkin lupa bahwa anggota masyarakat yang mapan sebenarnya tidak berniat betul mengenyahkan ratusan ribu gelandangan. Mereka hanya ingin tikus-tikus kota diberi pelajaran agar kembali menjadi warga yang tak punya kekuatan untuk mengancam kehidupan sehari-hari mereka. Tapi soalnya bukan hanya sekadar jaminan atas keamanan dan ketenteraman. Apalagi dengan bayaran nyawa orang lain. ''Setelah tokomu dirampok empat kali dan polisi tidak melakukan apa pun, dan kau sampai pada kesimpulan untuk membasmi masalah itu, apakah begitu sederhananya?'' tanya Tania Maria Salles Moreira, jaksa penuntut umum yang menangani kasus-kasus pembunuhan atas anak-anak dan gelandangan. Moreira mengerti bahwa masyarakat memang sudah frustrasi menghadapi teror dari anak-anak maupun gelandangan. Tapi tetap saja pembunuhan di jalan-jalan bukan aksi yang bisa dibenarkan. ''Orang-orang Brasil perlu diingatkan kembali bahwa ada hak mendasar yang mendahului semuanya, yaitu hak untuk hidup. Kalau kita tidak bisa menjamin hak itu, yang lainnya tidak akan ada,'' katanya. Itu sebabnya selama tiga tahun terakhir ini Moreira bersusah payah mengangkat belasan kasus pembunuhan atas anak-anak ke pengadilan dengan ancaman hukuman sampai 26 tahun penjara. Itu bukan usaha yang mudah karena pasukan kematian tahu betul cara membentengi diri agar tak tersentuh pengadilan. Mereka meneror saksi, menghalang-halangi penyelidikan, dan menyuap hakim. Sementara itu, hukum di Brasil tak punya perangkat untuk melindungi para saksi. Untuk membawa Antonio Camilo de Lima, petugas keamanan yang diduga dibayar untuk membunuh empat orang, Moreira mencoba mengambil sumpah dua orang korban yang selamat di luar pengadilan. Namun, ketika kasus itu sampai ke pengadilan, salah seorang saksi ternyata sudah mati, dan yang satunya menghilang. Hambatan lain muncul dari rekan sejawat yang tak sekukuh Moreira. Seorang jaksa penuntut umum pernah minta kepada hakim di ruang pengadilan agar melepas Pedro Capeta, pengusaha yang dituduh bertanggung jawab atas beberapa pembunuhan. Capeta bebas, dan penuntut umum itu mengundurkan diri tanpa alasan jelas dengan meninggalkan berkas-berkas yang belum diselesaikan. Tapi Moreira tetap melanjutkan kasus itu walau beberapa kali menghadapi ancaman. Kini siang-malam ia terpaksa didampingi oleh dua orang pengawal. Sebagai harapan bagi hidup anak-anak gelandangan di Brasil, ia memang harus bisa bertahan hidup. Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini