TENTARA Israel menerobos ke Libanon dari selatan. Kawasan
sekitar perbatasan itu sepi karena penduduk mengungsi. Namun,
George Azar nekat menuju ke selatan yang dihuiani bom. Taksi
yang ditumpanginya lebih dulu kabur. Juru potret amatir
berkebangsaan AS itu berlindung di sebuah gedung. Tentara Israel
bertaburan di mana-mana.
Ketika pertempuran mereda, Azar, yang berdarah Libanon itu
keluar mengacungkan sobekan kain putih . Ia ditangkap, dibawa
ke Yerusalem. Semua film hasil jepretannya -kecuali yang ia
sembunyikan di selangkang kaki- dirampas. Sampai di Yerusalem ia
dilepas. Ketika film-film yang ia sembunyikan itu disiarkan,
ia kini jadi terkenal. Kini ia bekerja untuk Gamma, kantor
berita foto yang berpusat di Paris.
Itu terjadi tahun lalu, ketika sarjana muda ilmu politik
Universitas California, Berkeley, itu berlibur di Beirut. Baru
dua tahun Azar belajar memotret sambil terjun ke lapangan.
Seperti kebanyakan wartawan foto di medan pertempuran di sana,
ia tidak menggunakan lensa panjang. Ia memotret rata-rata dari
jarak 10 meter. "Pekerjaan ini membuat saya merasa hidup di
tengah kenyataan," katanya.
Para wartawan perang memang memburu berita sambil seolah-olah
menyorongkan nyawa. Itu tak berarti bahwa mereka tak punya
perasaan takut. "Saya tidak menyukai perang. Tapi setiap kali
pertempuran meletus, saya selalu berangkat meliputnya," kata
Jacob Anderen, wartawan Ekstra Bladet, koran terbesar di Denmark
yang beroplah 250.000. Setiap kali mau menuju ke medan
pertempuran, Jacob selalu gugup, tidak bisa tidur, dan tidak
doyan makan. "Saya selalu takut. Tapi, begitu tugas selesai,
beban mental jadi ringan," katanya. Ada beberapa wartawan perang
yang mencoba menenangkan diri dengan minum alkohol atau menelan
obat penenang. Ada pula yang mengenakan baju dan helm
antipeluru, seperti awak televisi Visnews dari Inggris.
Tapi selama ini belum ada wartawan perang di Libanon yang
terbunuh karena peluru yang sengaja ditembakkan pasukan-pasukan
yang saling bertikai. Umumnya, mereka dihormati oleh
kelompok-kelompok itu. Penduduk Beirut pun cukup akrab dengan
mereka. Suatu malam, sementara pertempuran berkecamuk, Rita
Porena, 46, wartawati Radio Swiss, pulang. "Saya mendapatkan
sebungkus roti dan telur di depan pintu, entah dari siapa,"
katanya. Hal seperti itu sering dialaminya, terutama bila perang
berkobar dan toko-toko makanan tutup.
Pernah mengajarkan psikologi di Universitas Roma, Rita - yang
juga menulis untuk majalah Primo Piano (semacam Foreign Affairs
terbitan AS) - lebih suka jadi wartawan. Bertugas di Beirut
sejak 1971, ia selalu hadir dalam hampir setiap pertempuran. Ia
juga menyaksikan pembantaian di Sabra dan Shatila, "yang
mengerikan, memuakkan dan membuat kita marah." Sering Rita harus
bertiarap 2-3 jam di parit-parit atau kolong-kolong rumah.
Mobilnya bolong-bolong ditembus peluru, tapi ia belum pernah
terluka. "Saya bukannya tanpa rasa takut. Soalnya, bagaimana
mengendalikan perasaan takut itu," katanya.
Xavier Baron, kepala biro kantor berita Prancis AFP di Libanon,
senang bertugas di tempat-tempat yang berbahaya, bukan lantaran
mau menyorong nyawa dengan percuma. "Saya suka bertugas di sini
karena saat ini Beirut menjadi pusat perhatian dunia. Saya tak
bisa membayangkan bagaimana melaporkan perang di Tripoli,
misalnya, sambil duduk di belakang meja di Paris," katanya.
Xavier, yang menulis dua buku tentang Timur Tengah, pada 1970
pernah bertugas di Kamboja, bahkan sempat ditawan di sana selama
tujuh minggu. "Ketika itu pasukan AS tak henti-hentinya
membom. Saya sudah tak punya harapan hidup, karena sebelumnya
sudah 20 wartawan yang meninggal atau hilang, tuturnya. Ia
dibebaskan setelah ada perundingan dengan Pangeran Sihanouk dan
pemerintah Prancis turun tangan.
Wartawan perang mesti gesit dan lincah. Juga berani dan mampu
memperhitungkan keadaan. Persyaratan seperti itu dimiliki Terry
Anderson, 40, wartawan senior kantor berita AS, AP, untuk Timur
Tengah. Maklum, ia pernah bertugas di Vietnam selama enam tahun,
sebagai anggota marinir AS. Analisa Terry, tamatan Fakultas Ilmu
Politik Universitas Iowa, AS, juga cepat dan tepat.
Semua wartawan AP diasuransikan. "Keselamatan mereka sangat
penting. Tak ada gunanya mereka mendapat berita penting, tapi
nyawanya hilang. Saya tak mau punya wartawan yang berani mati,
tapi bisa konyol karena tidak punya perhitungan," katanya.
Sangat sedikit wartawan Indonesia yang punya pengalaman menarik
seperti itu. Salah seorang di antaranya Hendro Subroto, wartawan
TVRI yang pernah mendapat pendidikan para komando. Ia pernah
bertugas di Kamboja (1970) dan Vietnam (1973).
Ketika di Kamboja, ia mengikuti pasukan Lon Nol. Suatu hari
pasukan yang diikutinya terjepit di Tonlebat. Hendro pasrah. Ia
menghitung wartawan yang mati di Kamboja: 40 orang. Untunglah,
muncul 40 tank Vietnam Selatan membantu, antara lain mengangkut
bahan makanan. "Di atas tank-tank itu saya lihat kasur, kursi,
kambing, dan ayam," katanya tertawa. Ketika meliput pertempuran
di tempat lain, bapak dua anak ini diserempet peluru di dada dan
jempolnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini