Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Memburu berita, menyorong nyawa

Suka duka para wartawan perang, mereka memburu berita di tengah desingan peluru. belum banyak wartawan Indonesia yang meliput berita perang, salah seorang diantaranya wartawan TVRI, Hendro Subroto.(md)

3 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENTARA Israel menerobos ke Libanon dari selatan. Kawasan sekitar perbatasan itu sepi karena penduduk mengungsi. Namun, George Azar nekat menuju ke selatan yang dihuiani bom. Taksi yang ditumpanginya lebih dulu kabur. Juru potret amatir berkebangsaan AS itu berlindung di sebuah gedung. Tentara Israel bertaburan di mana-mana. Ketika pertempuran mereda, Azar, yang berdarah Libanon itu keluar mengacungkan sobekan kain putih . Ia ditangkap, dibawa ke Yerusalem. Semua film hasil jepretannya -kecuali yang ia sembunyikan di selangkang kaki- dirampas. Sampai di Yerusalem ia dilepas. Ketika film-film yang ia sembunyikan itu disiarkan, ia kini jadi terkenal. Kini ia bekerja untuk Gamma, kantor berita foto yang berpusat di Paris. Itu terjadi tahun lalu, ketika sarjana muda ilmu politik Universitas California, Berkeley, itu berlibur di Beirut. Baru dua tahun Azar belajar memotret sambil terjun ke lapangan. Seperti kebanyakan wartawan foto di medan pertempuran di sana, ia tidak menggunakan lensa panjang. Ia memotret rata-rata dari jarak 10 meter. "Pekerjaan ini membuat saya merasa hidup di tengah kenyataan," katanya. Para wartawan perang memang memburu berita sambil seolah-olah menyorongkan nyawa. Itu tak berarti bahwa mereka tak punya perasaan takut. "Saya tidak menyukai perang. Tapi setiap kali pertempuran meletus, saya selalu berangkat meliputnya," kata Jacob Anderen, wartawan Ekstra Bladet, koran terbesar di Denmark yang beroplah 250.000. Setiap kali mau menuju ke medan pertempuran, Jacob selalu gugup, tidak bisa tidur, dan tidak doyan makan. "Saya selalu takut. Tapi, begitu tugas selesai, beban mental jadi ringan," katanya. Ada beberapa wartawan perang yang mencoba menenangkan diri dengan minum alkohol atau menelan obat penenang. Ada pula yang mengenakan baju dan helm antipeluru, seperti awak televisi Visnews dari Inggris. Tapi selama ini belum ada wartawan perang di Libanon yang terbunuh karena peluru yang sengaja ditembakkan pasukan-pasukan yang saling bertikai. Umumnya, mereka dihormati oleh kelompok-kelompok itu. Penduduk Beirut pun cukup akrab dengan mereka. Suatu malam, sementara pertempuran berkecamuk, Rita Porena, 46, wartawati Radio Swiss, pulang. "Saya mendapatkan sebungkus roti dan telur di depan pintu, entah dari siapa," katanya. Hal seperti itu sering dialaminya, terutama bila perang berkobar dan toko-toko makanan tutup. Pernah mengajarkan psikologi di Universitas Roma, Rita - yang juga menulis untuk majalah Primo Piano (semacam Foreign Affairs terbitan AS) - lebih suka jadi wartawan. Bertugas di Beirut sejak 1971, ia selalu hadir dalam hampir setiap pertempuran. Ia juga menyaksikan pembantaian di Sabra dan Shatila, "yang mengerikan, memuakkan dan membuat kita marah." Sering Rita harus bertiarap 2-3 jam di parit-parit atau kolong-kolong rumah. Mobilnya bolong-bolong ditembus peluru, tapi ia belum pernah terluka. "Saya bukannya tanpa rasa takut. Soalnya, bagaimana mengendalikan perasaan takut itu," katanya. Xavier Baron, kepala biro kantor berita Prancis AFP di Libanon, senang bertugas di tempat-tempat yang berbahaya, bukan lantaran mau menyorong nyawa dengan percuma. "Saya suka bertugas di sini karena saat ini Beirut menjadi pusat perhatian dunia. Saya tak bisa membayangkan bagaimana melaporkan perang di Tripoli, misalnya, sambil duduk di belakang meja di Paris," katanya. Xavier, yang menulis dua buku tentang Timur Tengah, pada 1970 pernah bertugas di Kamboja, bahkan sempat ditawan di sana selama tujuh minggu. "Ketika itu pasukan AS tak henti-hentinya membom. Saya sudah tak punya harapan hidup, karena sebelumnya sudah 20 wartawan yang meninggal atau hilang, tuturnya. Ia dibebaskan setelah ada perundingan dengan Pangeran Sihanouk dan pemerintah Prancis turun tangan. Wartawan perang mesti gesit dan lincah. Juga berani dan mampu memperhitungkan keadaan. Persyaratan seperti itu dimiliki Terry Anderson, 40, wartawan senior kantor berita AS, AP, untuk Timur Tengah. Maklum, ia pernah bertugas di Vietnam selama enam tahun, sebagai anggota marinir AS. Analisa Terry, tamatan Fakultas Ilmu Politik Universitas Iowa, AS, juga cepat dan tepat. Semua wartawan AP diasuransikan. "Keselamatan mereka sangat penting. Tak ada gunanya mereka mendapat berita penting, tapi nyawanya hilang. Saya tak mau punya wartawan yang berani mati, tapi bisa konyol karena tidak punya perhitungan," katanya. Sangat sedikit wartawan Indonesia yang punya pengalaman menarik seperti itu. Salah seorang di antaranya Hendro Subroto, wartawan TVRI yang pernah mendapat pendidikan para komando. Ia pernah bertugas di Kamboja (1970) dan Vietnam (1973). Ketika di Kamboja, ia mengikuti pasukan Lon Nol. Suatu hari pasukan yang diikutinya terjepit di Tonlebat. Hendro pasrah. Ia menghitung wartawan yang mati di Kamboja: 40 orang. Untunglah, muncul 40 tank Vietnam Selatan membantu, antara lain mengangkut bahan makanan. "Di atas tank-tank itu saya lihat kasur, kursi, kambing, dan ayam," katanya tertawa. Ketika meliput pertempuran di tempat lain, bapak dua anak ini diserempet peluru di dada dan jempolnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus