Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Beradu Siasat Bentuk Poros Ketiga

Kelompok partai politik menengah berupaya membentuk poros ketiga dalam pemilihan presiden 2024. Menekan terjadinya polarisasi masyarakat seperti pada pilpres 2014 dan 2019.

25 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta, 30 September 2021. TEMPO/Daniel Christian D.E

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah partai politik menengah berupaya membentuk poros ketiga dalam pemilihan presiden 2024.

  • Syarat presidential threshold sebesar 20 persen membuat sejumlah partai tak bisa mengusung sendiri kadernya untuk maju dalam pilpres 2024.

  • Masyarakat perlu belajar dari pengalaman pemilihan presiden 2014 dan 2019.

JAKARTA — Sejumlah partai politik menengah berupaya membentuk poros ketiga dalam pemilihan presiden 2024. Partai Demokrat, misalnya, ingin membentuk poros ketiga agar masyarakat memiliki banyak pilihan untuk memilih pemimpin yang dianggap terbaik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat, Herzaky Mahendra, mengatakan, selain untuk memberi banyak pilihan, poros ketiga bisa mencegah terjadinya polarisasi masyarakat serta menekan penyebaran hoaks dan praktik politik uang. "Karena itu, Partai Demokrat ingin agar ambang batas presidential threshold adalah nol persen," kata dia, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presidential threshold merupakan ambang batas perolehan suara partai politik untuk mengusung calon pemimpin yang bakal berlaga dalam pemilihan presiden. Pengaturan besaran ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) pada pilpres 2024 mendatang kemungkinan ditetapkan sebesar 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah.

Herzaky mengatakan masyarakat perlu belajar dari pengalaman pemilihan presiden 2014 dan 2019. Dalam dua pilpres dengan ambang batas 20 persen menghasilkan hanya dua pasangan yang maju dalam perhelatan pemilihan presiden itu. Dampaknya, dalam dua elektoral itu, publik terpecah belah dalam dua kubu, yakni antara pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Perpecahan yang sudah terjadi pada 2014 menguat pada 2019 karena calon presiden yang maju adalah orang yang sama.

Untuk memuluskan rencana pembentukan poros ketiga, Partai Demokrat—kelompok oposisi—mengagendakan silaturahmi dengan partai-partai lain. Secara intens, kata Herzaky, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dan jajarannya juga bersilaturahmi dengan pemimpin partai politik lainnya. Tak hanya itu, Agus dan jajaran juga bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh nasional, alim ulama, media massa, dan pejabat negara.

Saat disinggung kemungkinan Partai Demokrat mengusung Agus ke pilpres 2024, Herzaky menjawab diplomatis dan normatif. Herzaky mengatakan bahwa memang ada aspirasi dari kader dan masyarakat agar Ketua Umum Partai Demokrat bisa menjadi salah satu calon dalam pemilihan presiden 2024. Namun, menurut dia, hingga hari ini Agus Yudhoyono belum berpikir ke arah sana. "Nanti apabila waktunya sudah tepat, tentu akan mulai memikirkannya," kata Herzaky.

Syarat presidential threshold sebesar 20 persen membuat Partai Demokrat tak bisa mengusung sendiri kadernya untuk maju dalam pilpres 2024. Pada pilpres 2019, Partai Demokrat hanya meraih 7,77 persen suara. Bukan hanya Demokrat, sejumlah partai lain pun kesulitan memenuhi ambang batas syarat mengusung calon presiden untuk pemilu mendatang. Sebut saja Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 6,84 persen suara, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 8,21 persen suara, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan 4,52 persen suara. Partai-partai dengan perolehan suara seperti itu bisa dikatakan sebagai kelompok partai menengah.

Pada pilpres 2024, partai besar yang meraup suara tinggi, seperti PDI Perjuangan dan Golkar, digadang-gadang akan membentuk dua poros. Jika partai lain ingin membentuk poros ketiga, setidaknya tiga partai harus bergabung untuk bisa memenuhi ambang batas presidential threshold.

Sekretaris Jenderal PAN, Eddy Soeparno, mengatakan bahwa partainya bersikap realistis atas kondisi yang ada. Meski menginginkan Ketua Umum Zulkifli Hasan bisa maju dalam pilpres 2024, PAN tidak akan memaksakan jika daya dorong tokoh dari lingkup internal partai kurang kuat. "Target untuk menang pemilu, itu satu hal yang penting," ujar Eddy.

Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan (kiri) saat kegiatan Workshop Nasional DPP PAN di Nusa Dua, Badung, Bali, 5 Oktober 2021. ANTARA/Fikri Yusuf

Sebelumnya, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PPP, Achmad Baidowi, mengatakan bahwa partainya membuka peluang untuk bergabung dengan poros ketiga dalam pemilihan presiden 2024. Meski begitu, ia mengatakan PPP belum membahas lebih lanjut karena waktunya masih lama. "Apakah PPP tertarik dengan poros ketiga? Misalkan saja Partai NasDem, PAN, dan PPP bergabung, maka bisa saja itu sudah 21 persen. Itu memang memungkinkan," ujar Baidowi.

Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno, menilai ada kecenderungan partai politik mana pun, termasuk golongan menengah, akan berkoalisi dengan partai yang mengusung calon presiden potensial menang. Partai-partai tersebut tak sekadar maju tapi kemudian kalah. "Intinya, partai politik ini targetnya taktis. Mereka bergabung dengan calon yang berpotensi menang," tutur dia.

Untuk itu, menurut Dedi, ada-tidaknya poros ketiga sangat bergantung pada kemungkinan tokoh menang di pilpres. Ia mencontohkan, partai politik menengah banyak yang bergabung dengan partai besar pada pemilu lalu ketika calon presidennya adalah Joko Widodo. Namun, pada pilpres 2004, sejumlah partai bergabung dengan Demokrat yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam proses negosiasi calon koalisi, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, mengatakan bahwa setiap partai politik tentunya ingin mengajukan nama kader masing-masing. Namun ini hanya berlaku bagi partai politik yang memang punya tokoh layak mengikuti kontestasi pilpres. Dedi mengingatkan, ujung dialog adalah kesepemahaman.

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting, Sirojuddin Abbas, menuturkan banyak faktor ketika partai politik mulai mempertimbangkan dan mengkalkulasi sebelum memilih bergabung ke partai yang lebih kuat atau membuat poros sendiri. Pertama, nilai partai dalam koalisi ditentukan oleh seberapa vital kontribusinya terhadap koalisi. Kedua, potensi kemenangan tokoh yang diusung. Terakhir, kata Sirojuddin, adalah keselamatan bagi partainya sendiri. "Mana di antara pilihan koalisi partai tersebut yang bisa membantu mereka selamat dari parliamentary threshold," ujar dia.

MAYA AYU PUSPITASARI | MIRZA (MAGANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus