Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kembali Ke Rumah Kayu

GEMPA besar yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat, empat bulan lalu, telah meluluhlantakkan semua bangunan permanen di Dusun Tangga.

28 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rumah adat suku Sasak di Dusun Tangga, Lombok, Nusa Tenggara Barat. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itu termasuk rumah Kirdin dan istrinya, Sareh. Sebelum diguncang gempa, rumah tembok beratap genting milik Kirdin berdiri tegak di pojok persimpangan, tepat di ujung pengkolan Jalan Sambik Jengkel.

Ketika Tempo menyambangi daerah tersebut, akhir November lalu, hanya reruntuhan bata yang tersisa dari rumah Kirdin. Di depannya terdapat berugak, saung dari kayu khas Lombok, tempat Kirdin dan istrinya tinggal selepas gempa. ”Habis hancur rumah saya,” ujarnya.

Seraya menanti bantuan pembangunan rumah dari pemerintah, yang menurut mereka tak kunjung turun, Kirdin dan Sareh berencana segera membangun kembali rumah mereka. ”Tapi kami maunya rumah kayu. Enggak berani lagi rumah tembok,” ucap Sareh.

Kepala Dusun Tangga Muhammad Abdul Aziz mengatakan seluruh 133 keluarga di dusunnya bersepakat memilih rumah kayu sebagai tempat tinggal baru mereka. ”Warga sudah trauma dengan rumah berbahan semen,” katanya.

Gempa itu menyebabkan kerusakan parah. Jumlah rumah yang hancur mencapai hampir 72 ribu unit di berbagai daerah. Guncangan lindu juga menewaskan 563 jiwa, yang sebagian besar akibat tertimpa reruntuhan tembok dan atap rumah.

Tidak seperti rumah-rumah tembok yang ambruk terguncang gempa, bangunan berbahan kayu umumnya masih utuh. Dua rumah adat tradisional Sasak di Dusun Tangga, misalnya, tak terlihat doyong sedikit pun. Berugak-berugak warga juga masih tegak berdiri.

Budayawan Sasak, Lalu Agus Fathurrahman, mengatakan -bangunan tradisional Sasak terdiri atas fondasi kayu, dinding anyaman bambu (bedek), dan atap rumbia atau jerami. Umumnya ada dua jenis rumah, yaitu bale balaq, berupa rumah panggung, dan bale jajar, yang berdiri di atas dataran.

Menurut Agus, rahasia rumah tradisional tahan gempa terletak pada sambungan antarkomponen pembentuk rumah. Fondasi dibikin dengan membuat lubang, coakan, atau purus pada kayu. Ketika disambung, kayu saling mengunci. Sambungan diperkuat dengan pasak kayu atau bambu, bukan paku logam. Pada bagian lain, kayu disambung dengan cara diikat menggunakan rotan.

Dengan teknik perakitan seperti itu, rumah tradisional di Lombok dapat berdiri kokoh tapi tetap ”lentur”. ”Sambungannya elastis, ikut goyang jika diguncang gempa,” ucap Agus saat dihubungi dua pekan lalu. Ia menyebut konstruksi model itu sebagai sistem balok-tiang. ”Kalaupun bergeser karena guncangan gempa, rumah tidak akan roboh.”

Ini berbeda dengan rumah permanen, yang bertumpu pada fondasi beton yang tertancap kuat di tanah. Ketika lindu membuat tanah berayun, rumah tembok yang berdiri kaku di atasnya ikut bergoyang. ”Yang selamat dari gempa hanya rumah tradisional. Selebihnya hancur,” ujar Agus.

Bukan hanya penduduk Dusun Tangga yang memilih kembali menggunakan rumah kayu. Di Dusun Tenggorong, Desa Gumantar, yang terletak 5 kilometer sebelah barat Tangga, misalnya, hanya bale jajar dan berugak yang masih berdiri kokoh. ”Pemerintah daerah ingin dibangun lagi rumah dan sekolah permanen, tapi masyarakat menolak,” kata Kepala Dusun Tenggorong, Putradi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus