Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"BOYOT... boyot...! (Gempa... gempa...!),” teriakan warga Dusun Tangga, Desa Selengen, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, terdengar bertalu-talu. Teriakan dalam bahasa Sasak itu mengiringi langkah kaki mereka yang lari berhamburan ke jalan-jalan dan area terbuka, Ahad pukul 19.46 Waktu Indonesia Tengah, 5 Agustus lalu. Guncangan gempa dengan kekuatan 7 magnitudo tersebut mengejutkan warga, yang segera kabur menjauhi bangunan di sekitar mereka.
Remaji, salah satu ketua rukun tetangga Dusun Tangga, tengah menyelesaikan rakaat terakhir salat isya di dalam rumahnya saat lindu itu tiba. Bacaan doanya terputus. Dia masih menduga bahwa getaran akan lekas berlalu, tapi lantai yang dipijaknya terus bergoyang. ”Saya sedang sujud dan menyadari bahwa guncangan gempa berbahaya. Saya susah payah berdiri dan pergi keluar,” ujarnya.
Remaji masih terhuyung ketika ia celingukan mencari anggota keluarganya. Sambil terus berteriak ”Boyot... boyot...!” kepada para tetangganya agar menyelamatkan diri, pria paruh baya ini melihat istrinya selamat di halaman rumah. Remaji seketika berlari ke masjid, tempat ketiga anaknya dan anak-anak lain rutin melakukan salat berjemaah dan mengaji. Ia mendapati bangunan masjid telah roboh, tapi semua anak berhasil melarikan diri.
Muhammad Abdul Aziz bersama warga membongkar reruntuhan bangunan akibat gempa di Dusun Tangga, Desa Selengen, Kecamatan Kayangan, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. TEMPO/Muhammad Hidayat
Sekitar 15 meter dari tempat Remaji berdiri, Kepala Dusun Tangga Muhammad Abdul Aziz duduk sambil merangkul ibunya di dekat tiang listrik di depan rumahnya. Aziz baru saja ngibrit dari ruang tamu, tempat ia tiduran sambil menonton siaran langsung balap sepeda motor MotoGP. Kakek, bibi, dan ibunya, Sunimpen, yang tengah menyirih di ruang tamu, juga mengambil langkah seribu begitu terjadi gempa. ”Saya masih pegang remote televisi saat lari dari rumah,” kata Aziz menceritakan kembali peristiwa tersebut kepada Tempo, akhir November lalu.
Situasi seketika kacau. Gempa memutus aliran listrik dan mengganggu jaringan telepon seluler. Kepanikan membekap dusun terjauh di Desa Selengen yang berjarak 47 kilometer dari Kota Mataram tersebut. Suara teriakan takbir terdengar di jalan-jalan kampung. Banyak orang terjatuh karena memijak tanah yang bergoyang. ”Ibu saya menangis ketakutan,” ujar Aziz. Malam itu, dusunnya riuh oleh suara warga yang mencari-cari anggota keluarga -mereka.
Sepekan sebelum gempa besar itu datang, penduduk Dusun Tangga juga dihantam lindu yang kekuatannya lebih kecil. Mereka dibikin kalang-kabut pada 29 Juli lalu, saat gempa bermagnitudo 6,4 mengguncang Lombok Timur. Belasan orang tewas dan ribuan rumah hancur. Getaran gempa merembet ke beberapa daerah, termasuk Dusun Tangga, yang terpaut sekitar 60 kilometer.
Gempa membuat Muhammad Abdul Aziz dan warga dusunnya tak setenang dulu. -Kendati getaran gempa pertama di Lombok Timur tidak memicu kerusakan di Dusun Tangga, bencana itu membuat beberapa orang di sana dicengkeram ketakutan. Bahkan ada yang tidak berani tinggal di dalam rumah, waswas terhadap adanya gempa yang lebih dahsyat. ”Kami semua tidur di luar rumah terus,” kata Murniah, yang tinggal bersama anak, orang tua, dan kakek-neneknya.
Aziz masih ingat saat ia dan beberapa tetangganya menyaksikan siaran berita tentang gempa Lombok Timur di televisi. Ia mengatakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) ketika itu mengimbau masyarakat Nusa Tenggara Barat, khususnya di Lombok, mewaspadai ancaman gempa susulan meskipun intensitas dan kekuatannya mengecil. ”Kami disuruh waspada sampai tanggal 5 Agustus,” ujarnya.
Berpegang pada informasi BMKG tersebut, Aziz pun berkeliling desa yang dihuni 133 keluarga dengan 448 penduduk itu. Dia menyebarkan woro-woro agar mereka tidak tidur di dalam rumah. ”Lebih baik mencegah daripada nanti ada yang mati,” ucapnya.
Mendapat arahan dari kepala dusun, sejak itu masyarakat melewatkan malam di berugak, saung beratap rumbia khas Lombok, di depan rumah. Yang tidak punya berugak lantas tidur beralas terpal dan beratap langit. Semua perabot yang dipakai sehari-hari juga dikeluarkan dari dalam rumah.
Bertambah hari, kesabaran warga dusun tergerus. Mereka mulai gelisah karena tidak dapat berkegiatan di dalam rumah seperti dulu. Mereka masih merasakan rentetan gempa susulan, meski sudah tidak sekencang guncangan pertama. Sebagian masyarakat lalu berkesimpulan bahwa kondisi sudah aman untuk mereka kembali melewatkan malam di dalam rumah.
Upaya Aziz semula berjalan mulus. Ia terus berpatroli, acap sehari dua kali, untuk memantau warga. Mereka beraktivitas seperti biasa, hanya masuk rumah untuk makan, mandi, atau ganti baju. Selama kegiatan itu tak memakan banyak waktu dan dilakukan dengan pintu depan rumah terbuka, Aziz mengizinkannya. Ketika siang, sebagian besar penduduk pergi ke ladang. Sore hingga malam mereka berkumpul di berugak, yang memang menjadi tempat bersosialisasi masyarakat Lombok.
Bertambah hari, kesabaran warga dusun tergerus. Mereka mulai gelisah karena tidak dapat berkegiatan di dalam rumah seperti dulu. Mereka masih merasakan rentetan gempa susulan, meski sudah tidak sekencang guncangan pertama. Sebagian masyarakat lalu berkesimpulan bahwa kondisi sudah aman bagi mereka untuk kembali melewatkan malam di dalam rumah.
Namun Aziz tak bersepakat. Kepada sebagian warganya yang mulai berkemas sebelum 5 Agustus, pria 25 tahun ini kembali memperingatkan mereka. Ia mendatangi mereka satu per satu dan membujuk mereka mengurungkan niat dan kembali ke berugak. Aziz beralasan penduduk baru diperbolehkan tidur di rumah jika ada imbauan baru dari BMKG yang menyatakan keadaan telah aman. ”Siapa kita bisa memprediksi gempa? BMKG saja enggak bisa secara pasti menentukan kapan terjadinya gempa,” ujar Aziz mengulangi perkataannya kepada warganya.
Masyarakat sempat menerima alasan Aziz dan kembali ke berugak. Tapi itu tidak bertahan lama. Tepat pada Ahad, 5 Agustus, kegundahan warga mencapai puncaknya. ”Ramai warga mau tidur di dalam rumah,” kata Aziz. Beberapa orang melapor kepada Aziz: ”Pak Kadus, si anu mau tidur di dalam. Kalau kami yang bi-langin enggak mau nurut.”
Tidak ingin warganya celaka, Aziz kembali mendatangi mereka. Beberapa kali ia meminta mereka secara baik-baik kembali ke berugak, tapi justru dibalas dengan nada tinggi. ”Pak Kadus, gempa enggak gempa sama saja, kita akan mati. Kalau enggak mati sekarang, besok atau lusa juga kita bakal mati,” tutur Aziz menirukan ucapan warganya yang keras kepala. Aziz membalasnya dengan suara tegas: ”Tapi itu namanya mati konyol!”
Suatu kali Aziz harus menghadapi Mudri, penduduk yang tidak mau lagi tidur di berugak. Menganggap situasi telah aman, Mudri mendesak istrinya, Sumiyati, dan empat anak mereka kembali tidur di dalam rumah. Sumiyati menuruti permintaan pria 50 tahun tersebut, padahal ia dan anak-anaknya masih takut akibat lindu. ”Malam ini sudah aman, enggak ada apa-apa,” kata Mud-ri saat itu.
Mendengar kabar tentang Mudri, Aziz langsung mendatangi kediaman warganya itu. Bungsu dua bersaudara ini mencoba mencegah Mudri dan keluarganya memasuki rumah mereka petang itu. ”Pokoknya jangan tidur di dalam. Kita waspada dulu, setidaknya sampai malam ini,” ucap Aziz, yang didapuk para tetua dan tokoh adat menjadi kepala dusun sejak April 2016.
Mudri menolak imbauan Aziz. ”BMKG bilang sampai 5 Agustus. Ini buktinya aman-aman saja,” ujar Mudri. Tak mempan menasihati Mudri, Aziz gantian membujuk istrinya. Ia sampai menakut-na-kuti Sumiyati, yang punya putri bungsu berusia 11 tahun, Silvia Anjani, agar berubah pikiran. ”Nanti anakmu ikut mati kalau kalian tidur di dalam rumah.” Aziz bahkan mengarang cerita dengan mengaku bahwa ia telah mendapat informasi malam itu bakal terjadi gempa besar dan tsunami di Lombok.
Muhammad Abdul Aziz bersama warga di Dusun Tangga. TEMPO/Muhammad Hidayat
Mendengar penjelasan Aziz, Sumiyati bimbang. Silvia hanya bisa menangis menyaksikan perdebatan orang tuanya dengan kepala dusun. Melihat putrinya ketakutan, Sumiyati akhirnya luluh dan mengurungkan niatnya. ”Saya enggak mau masuk rumah. Kamu kalau mau mati, mati saja sendiri,” kata Sumiyati kepada suaminya. Mudri, yang semula galak, akhirnya keder juga. Mereka sekeluarga malam itu kembali ke berugak.
Sukses membujuk keluarga Mudri, Aziz balik ke rumah untuk melakukan salat isya dan menonton MotoGP. Pintu depan rumahnya selalu terbuka dan ia baru memencet remote control televisi saat gempa bermagnitudo 7 tiba-tiba menyentak Lombok. Kali ini lindu terasa jauh lebih kencang ketimbang sepekan sebelumnya. Getarannya dirasakan penduduk di seantero Lombok, termasuk Kota Mataram, hingga Sumbawa dan Bali. Aziz tak menyangka bahwa bualannya tentang gempa besar benar-benar terjadi.
Akibat guncangan gempa itu, nyaris semua rumah di Dusun Tangga rata dengan tanah. Menurut Aziz, ada 75 rumah yang rusak parah. ”Tersisa satu rumah permanen yang masih berdiri. Itu pun retak-retak. Selebihnya roboh semua,” tuturnya. Bahkan satu-satunya bangunan sekolah di dusun tersebut, Sekolah Dasar Negeri 4 Selengen, porak-poranda.
Namun tak ada satu pun warga Dusun Tangga yang meninggal. ”Untung, kami tak jadi tidur di dalam rumah,” ujar Sumiyati, yang rumahnya turut ambruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo