PELUH masih mengucur deras. Kedua pelipisnya terlihat sedikit lebam. Sementara itu, sorak-sorai 15.000 penonton yang begitu riuh mengelu-elukannya, "Ray... Ray... Ray...." Dukungan penonton itulah tampaknya yang melenyapkan seluruh kelelahan yang menyergapnya, setelah menyelesaikan pertarungan 12 ronde. Lalu, didekatinya Marvin Hagler, lawan yang malam itu ditaklukkannya. "Maaf, Hagler, aku membuat sejarah," desisnya di antara napasnya yang masih memburu. Sugar Ray Leonard, sang juara malam itu, rupanya tak sempat lagi mendengar jawaban Hagler. Ia segera dirangkul oleh sejumlah penggemar. Malam itu, 6 April yang lalu, di Caesars Palace Hotel, Las Vegas, Sugar Ray Leonard membuat sejarah: ia come back setelah hampir lima tahun meninggalkan ring, dan menang. Tak banyak petinju yang mampu melakukan hal seperti ini. Dan dari yang sedikit itu, dalam sejarah dunia tinju, tercatat nama Sugar Ray Robinson, raja kelas welter 1950-an. Dan, siapa lagi bila bukan petinju bermulut besar, Muhammad Ali. Ali tampil kembali menjuarai dunia tinju kelas berat, setelah menganvaskan George Foreman dalam pertandingan bersejarah di Zaire, 1974. Tapi bagi Ali, kembalinya mahkota kejuaraan ke kepalanya - setelah gelarnya dicopot karena menolak menjalani milisi dan dikirim ke Vietnam - bukan perjalanan yang mulus. Sebelum mengalahkan Foreman, dia sempat kalah angka dari petinju "badak" Joe Frazier. Belakangan kekalahan itu ditebusnya dengan memukul KO Frazier. Lama absen dari ring, tampaknya, bukan cuma soal waktu dan latihan. Kegamangan menginjakkan kaki kembali di arena pertandingan disaksikan puluhan ribu pasang mata adalah satu hal. Menjawab pertanyaan-pertanyaan pers, yang cenderung menyangsikan penampilannya kembali, adalah hal lain yang tak kurang beratnya dengan pertandingan itu sendiri. Petinju legendaris, Joe Louisj misalnya, gagal tampil kembali merebut gelar yang sudah ditinggalkannya. Mula-mula dia dikalahkan dengan angka oleh Ezzard Charles. Kemudian, ketika petinju yang bergelar "Bomber Cokelat" ini mencoba lagi, jelek akibatnya. Dia dipukul KO oleh Rocky Marciano, bintang baru yang sedang bersinar di zaman itu. Akhirnya, dia menggantungkan sarung tinju dengan penuh rasa frustrasi. Sementara itu, Sugar Ray Leonard melakukannya mirip suatu keajaiban. Seolah begitu mudah, seakan dewa keberuntungan tak punya pilihan lain, si juara mesti dia. Kini, ia sudah memegang tiga gelar: kelas welter, menengah ringan, dan, terakhir - dengan mengalahkan Hagler - kelas menengah. Padahal mayoritas pengamat tinju mengejek sang penantang, ketika dia mengumumkan niat untuk menjajal Hagler, Mei tahun lalu. Dalam berbagai konperensi pers menjelang pertarungan, wartawan selalu saja menyerangnya dengan pertanyaan yang sama, "Berbagai taktik dan strategi bisa saja Anda kuasai, tapi bagaimana mengatasi karat di tubuh Anda?" Rupanya, mereka menyamakan petinju dengan mesin, yang bila tak dipakai bertahun-tahun lalu berkarat, tak berfungsi. Pasar taruhan di Las Vegas, kota judi yang di jadi kan tempat pertarungan di pergelarkan, memberi angka 4:1 untuk Hagler. Dan secara fisik, memang ada yang kurang menguntungkan bagi Leonard. Pertandingan itu dilangsungkan di kelas menengah, yaitu kelas yang mempertandingkan petinju dengan berat badan sekitar 72,5 kg. Padahal, Ray, yang normal dikenal sebagai petinju kelas welter, bobot tubuhnya hanya sekitar 66,6 kg. Untungnya, soal menaikkan berat tubuh bukan pengalaman pertama bagi Leonard. Pada Juni 1981, ia menaikkan kelasnya ke ringan menengah (kelas 70 kg), ketika menantang dan kemudian mengalahkan juara dunia di kelas itu, Ayub Kalule dari Uganda. Dan mengatrol berat badan sebenarnya sangat riskan. Itu bisa membuat seorang petinju menjadi lebih lamban. Memang, soal cepat atau lamban, bisa dilatih. Di samping itu, yang lebih menentukan, sebagaimana olah raga yang lain, tinju bukan sama sekali bergantung pada kemampuan fisik. Ini terbukti dalam pertandi ngan Leonard-Hagler yang lalu. Marvin Hagler, dengan tubuh yang kekar berbalu otot-otot menonjol, adalah petinju southpaw (kidal). Namun, orang pun tahu, kepalan tangan kanannya tak kurang kerasnya daripada kiri. Dan gelarnya sungguh menyurutkan nyali: Si Raja KO. Catatan rekornya: dalam 66 kali bertanding cuma pernah dua kali seri dan dua kalah di waktu dia mulai bertanding di tinju pro). Dan dari 62 kemenangannya, 52 pertandingan dia menangkan dengan KO. Sementara itu, Sugar Ray Leonard tidaklah sekekar Hagler. Catatan prestasinya pun tidak sehebat lawannya itu. Cuma, banyak orang mengatakan, ia lebih bertinju dengan otaknya daripada kepalannya. Sang penantang memang punya kecerdasan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai Thinking Fighter, petinju yang penuh akal. Coba perhatikan bila ia bermain. Di saat-saat terjepit dan dalam keadaan kritis, tiba-tiba saja ia menemukan gerakan untuk meloloskan diri. Ia memang memiliki daya improvisasi tinggi. Lain daripada itu, pukulannya cepat, dan rahangnya istimewa: tahan dipukul. "Pertandingan di ring bukan cuma melaga fisik, tapi juga perang psikologi," ucapnya suatu kali. Maka, lihatlah. Sergapan-sergapan si pemberang Hagler yang terkenal buas itu dimentahkannya dengan kelitan yang begitu lincah. Leonard, yang dua setengah cm lebih tinggi daripada lawannya, menari mengitari lawan sembari sesekali melepaskan jab-jab tajam. Itulah jurus "menyengat dan terbang seperti lebah" yang dulu dipopulerkan oleh Muhammad Ali. Dan keduanya, Leonard dan Ali, memang satu guru: Dundee pelatih yang telah melahirkan sembilan juara. Penonton pun mengelu-elukan sang penantang: "Ray. .. Ray. . . Ray...." Sesekali, dia ladeni lawannyayang berkepala botak mirip robot tempur dalam film-film video serial fiksi anak-anak itu, untuk bertarung rapat, saling tukar pukulan. Lalu dia, menghindar lagi. Stamina yang prima, sebagai hasil berlatih secara spartan selama hampir setahun penuh, memang amat mendukung penampilannya Tubuhnya terbukti belumlah digerogoti karat. Dua belas ronde usai, dan penonton tetap ramai. Ketika juri mengumumkan hasil penilaian, Caesars Palace senyap sejenak. Dan kemudian, lebih dari sebelumnya, istana tinju itu seperti hendak pecah: 15.400 penonton bersorak untuk Leonard yang dinyatakan menang 2-1 dari Hagler. Boleh dibayangkan, sorakan itu pun bergema pula di manamana: lewat televisi jarak dekat (close-circuit TV) di lingkungan kompleks Caesars Palace, lewat televisi jarak jauh di banyak negara. Juara baru kelas menengah WBC (World Boxing Council), dewan tinju dunia yang kini paling luas pengaruhnya, telah muncul, meski dua badan tinju lainnya, WBA (World Boxing Association) dan IBF (International Boxing Federation), memang tak mengakui pertandingan ini. Ini merupakan konsekuensi sikap kedua badan itu, ketika pertandingan sedang direncanakan. Mereka tak menyetujui rencana tersebut, karena retina mata Leonard yang pernah dioperasi dianggap bisa membahayakan. Bahkan WBA mencopot gelar Marvin Hagler ketika si pemberang itu ngotot meneruskan rencana melawan Sugar Ray, dan menolak usulan pertandingan wajib (mandatory fight) dari badan tinju itu, untuk melawan juara Inggris, Herol Graham. IBF juga mencopot gelar Hagler. Anak muda yang tampan dengan senyum yang menawan itu menjadi pahlawan Amerika. Yakni ketika ia menyumbangkan sebuah medali emas di Olimpiade Montreal, Kanada, 1976, untuk tinju kelas welter ringan. Setelah terjun ke dunia pro, setahun kemudian, dia menaikkan kelasnya menjadi welter. Padahal, di kelas ini bercokol macan muda yang membuat jeri banyak petinju Amerika pada masa itu: Wilfred Benitez, berdarah Puerto Rico, kelahiran Bronx. Nama tersebut terakhir ini adalah juara kelas welter ringan pada 6 Maret 1976, pada usia 17 tahun 6 bulan - juara termuda dalam sejarah tinju hingga sekarang. Setahun kemudian ia menaikkan kelasnya ke welter, lalu menjadi juara pula setelah menjatuhkan mahkota Carlos Plomino. Pada saat itu, Sugar Ray Leonard memasuki tahun ketiga bergelut di dunia tinju bayaran. Selama itu, dia sudah menyelesaikan 25 pertandingan, tanpa sekali pun terkalahkan. Malah, 16 pertandingan disudahinya dengan kemenangan KO. Tibalah saatnya dia memasuki pertandingan berbahaya: menantang Wilfred Benitez. Pada 30 November 1979, di Caesars Palace Hotel, Las Vegas, Nevada, pada umur 23, Leonard berhadapan dengan juara kelas welter yang dua tahun lebih muda. Dalam umur seperti itu, tak perlu disangsikan, kedua petinju tentu mampu menampilkan kekuatan dan kecepatan mereka yang paling maksimal . Inilah sebuah pertandingan yang keras tapi indah. Bak seorang penari balet, Leonard, sang penantang, berputar-putar di ring sepanjang ronde. Pada ronde ketiga, sebuah jab dari sang "penari" membuat Benitez mencium kanvas. Si juara bertahan bangkit lagi sebelum hitungan kesepuluh. Dan para pengamat tinju menyadari, si garang Benitez menemukan lawan setimpal. Pada ronde keenam kening sang juara sobek dan mengeluarkan darah. Puluhan kali pukulan Leonard tak menemui sasaran. Dengan gerakan tubuh yang luwes, sementara kedua lengan menjadi benteng kukuh menjaga rapat tubuhnya, Benitez sering mementahkan serangan lawan. Toh, ketika memasuki ronde ke-15, mahkota kejuaraannya betul-betul terancam. Leonard sudah berada di atas angin, menang mutlak dalam pengumpulan angka. Di ronde terakhir itu, sebetulnya, gelar juara sudah jatuh ke tangannya, cukup dengan mengulur-ulur waktu. Namun, menjelang pertandingan Leonard dan pelatihnya, Angelo Dundee, sudah sesumbar akan menjatuhkan lawan dengan pukulan uppercut kiri. Itulah pukulan yang disodokkan dari arah bawah ke sasaran di atasnya, dengan mengandalkan bantuan dorongan bobot tubuh. Dan ternyata Benitz memang macan, ia tak jatuh sampai pada ronde ke-14. Maka, di ronde terakhir itulah, Angelo Dundee menginstruksikan anak asuhnya bertarung habis-habisan . Di pihak Alfred Benitez, ronde ke-15 itu merupakan satu-satunya harapan. Anak muda Puerto Rico yang ditakuti ini sadar bahwa dia sudah ketinggalan angka, dan hanya bila ia meng-KO penantangnya, ia boleh tetap juara. Maka, yang terjadi adalah suatu pertarungan mati-matian dari gong ke gong. Ternyata, benteng Benitez bobol. Sebuah uppercut pendek Leonard menyodok dengan keras, dan Benitez terjengkang ke kanvas. Wasit pun menghitung. Sebelum hitungan ke-10, dengan terhuyung-huyung ia bangkit. Tapi Wasit Carlos Padila mengiba-kan kedua tangannya sebagai pertanda Benit nggap tak mampu lagi melanjutkan pertandingan. Sugar Ray Leonard mencetak nama besar: ia telah menjatuhkan Benitez yang ditakuti. Dia segera menjadi pujaan Amerika. Dan sejarah rupanya memang telah menyiapkan pentas buat Leonard. Di saat dia tampil ke permukaan, Muhammad Ali telah pudar dimakan usia. Petinju yang di masa jayanya begitu perkasa, pada Februari 1978, dalam usia 36 tahun, kalah angka dari Leon Spinks. Kekalahan itu memang ditebusnya enam bulan kemudian, tapi nyata sudah Ali telah kehilangan sengatnya. Setahun kemudian ia mengundurkan diri. Tapi, dengan iming-iming jutaan dolar, Oktober 1980, si mulut besar ini mencoba tampil kembali, menantang juara dunia Larry Holmes. Malang, Ali, ketika itu 38 tahun, telah menjadi kupu-kupu yang patah sayap. Nasibnya tak berbeda jauh dengan Joe Louis tua ketika dipermainkan Rocky Marciano. Masih untung Ali tak sempat mencium kanvas, dia menyerah di ronde ke-10. Berakhirlah riwayat petinju besar itu. Sugar Ray Leonard muncul pada saat yang tepat. Ia langsung menggantikan Ali sebagai pujaan massa. Dan bisa dibilang ia penerus seni bertinjunya Ali, terutama dengan jurus "lebah"-nya. Kedua mereka memang anak asuh Angelo Dundee. Lain daripada itu, wajahnya yang tampan, mirip bintang film kulit hitam Sidney Poitier, memudahkan dia jadi idola. Kekurangannya, barangkali, dia tak memiliki mulut besar, sekalipun bicaranya amat fasih membiaskan karisma. Entah karena pujaan massa, entah karena promotornya melihat kelebihan Leonard, sejak mula petinju ini dibayar lebih mahal daripada petinju lain. Pada 1977, misalnya, ketika baru saja tampil di gelanggang bayaran, Sugar Ray sudah menerima US$ 40.000 sekali bertanding. Bandingkan dengan Hagler - yang sama-sama tak terkalahkan - yang cuma menerima US$ 1.500. Padahal, si botak itu sudah empat tahun lebih dulu berkubang di ring pro. Itu sebabnya, Hagler selalu menyebut Leonard dengan mengejek: Mr. Middle Class, si Tuan Kelas Menengah. Setelah sekali Ray mempertahankan gelar, dengan menjatuhkan Davey Green di ronde ke, banyak promotor berniat melaganya dengan Roberto Duran, si pendekar Kepalan Batu. Petinju Panama ini, juara kelas ringan yang tak tergoyahkan sejak 1972, memang punya kepalan amat keras. Melihat ketenaran nama Sugar Ray Leonard, rupanya jago Panama itu bernafsu mengejarnya. Dan untuk itu dia meloncat dua kelas, dari ringan (61,2 kg) ke kelas Sugar Ray, welter, yang lebih berat sekitar 5 kg. Direncanakan pertandingan dilangsungkan November 1980, di daerah netral Montreal, Kanada, kota tempat pertama kali Leonard dikenal sewaktu merebut medali Olimpiade. Tapi di Montreal, kota yang indah dilingkungi pegunungan, itu pula Leonard punya pengalaman pahit. Waktunya, Juni 1980. Lawan tandingnya, pahlawan ring pujaan Amerika Latin, si berewokan bernama Roberto Duran. Inilah salah satu pertandingan paling sengit, dan malam itu adalah malam yang mendebarkan. Kedua jago seolah tak mau membuang seditik pun tanpa melancarkan serangan. Masing-masing bernafsu besar merobohkan lawan. Duran menghujani lawannya dengan pukulan pendek yang mengandung dorongan bobot tubuh. Leonard membalasnya dengan jab kiri dan pukulan kanan menyilang. Jab, pukulan lurus itu, memang merupakan salah satu senjata Leonard untuk mengumpulkan angka. Tapi malam itu semakin sering Leonard memukul, lebih banyak Duran membalas. Keduanya babak belur. Dan akhirnya 15 ronde berlalu, juri memutuskan Roberto Duran sebagai pemenang - dengan angka tipis. (Konon, seusai pertandingan, Juanita, istri Leonard, minta suaminya tak bertinju lagi. Sudah barang tentu, Leonard tak mengacuhkan permintaan ini). Banyak orang bertanya-tanya, mengapa Leonard malam itu tak tampil seperti biasanya. Ia seperti lepas kontrol. Beredar kabar, di kubu Leonard rupanya sedang terjadi ricuh keras antara pelatihnya, Angelo Dundee, dan penasihat hukum Leonard, Mike Trainer. Dengan dalih Dundee kurang aktif melatih, Trainer, menegur dan mempersoalkan pembagian bayaran - selama ini pelatih itu menerima 15% dari penerimaan Leonard. Maka, seusai pertandingan, keduanya - pelatih dan anak asuh itu - saling menyalahkan. "Saya pahlawan Olimpiade, sedang dia bandit. Tapi dia menganggap saya cuma jari kelingkingnya. Karena itu, saya ingin memukulnya dengan sepenuhnya melakukan petunjuk berkelahinya," kata Leonard. "Nah, lihat, permainan saya jadi rusak." Sementara itu, Dundee mengeluh, "Ray tak mempedulikan taktik yang saya siapkan dan bertanding sesuka hatinya." Tapi pasal ricuh yang sebenarnya, konon, lawannya, si berewokan dari Panama itu, suatu kali menghina Juanita, istri sang juara. Dan rupanya Juanita adalah daerah peka yang tak boleh disenggol. Leonard sangat bangga akan istrinya, wanita hitam yang rupawan, yang setia mendampinginya. Semasa mereka masih berpacaran, dan Leonard belum menjadi juara, ke mana pun Leonard bertanding, foto gadis itu selalu berada di sakunya, dan sering ditunjukkannya kepada sobat-sobatnya. Yang terang, Dundee dan Leonard tak sampai berpisah. Bahkan mereka segera merencanakan pertandingan ulang. November tahun itu juga, sekitar lima bulan kemudian, di New Orleans, kembali publik disuguhi adu jotos yang seru, dengan bayaran yang memecahkan rekor waktu itu. Kedua petinju masing-masing memperoleh bayaran US$ 8 juta. Bayangkan, jumlah itu hampir dua kali bayaran yang diterima Muhammad Ali ketika bertanding melawan George Foreman, di Kinshasa, Zaire, yang cuma US$ 4,5 juta. Leonard dipersiapkan dengan teknik bermain bersandar di tali ring untuk mengatasi kecepatan sergapan Duran. Inilah taktik yang mengesankan ketika dipraktekkan Muhammad Ali untuk mencundangi raksasa George Foreman. Selebihnya adalah jebakan-jebakan psikologis. Bobot tubuh Leonard dinaikkan beberapa kilogram, sampai kelihatan lebih besar dibandingkan sewaktu pertandingan yang pertama di Montreal, agar nyali Duran yang bertubuh lebih kecil itu rontok. Pada waktu acara timbang badan, Sugar Ray Leonard muncul dengan janggut palsu, kelihatan lebih jorok daripada Duran. Petinju Panama itu memang sengaja tak pernah mencukur cambangnya setiap menghadapi pertandingan, agar kelihatan jorok dan menakutkan setiap lawan. Menjelang pertarungan, Leonard tak lagi menahan diri seperti biasa, tapi melancarkan perang urat saraf. Ia berkoar menyatakan diri sebagai juara sejati, dan memastikan dialah yang bakal menang. Dan terjadilah pembalasan itu. Beberapa ronde berlalu. Segera terlihat Duran terjebak dalam taktik Leonard. Dia kentara sekali amat sulit menjangkau lawan. Pukulan-pukulan keras "si kepalan batu" itu menemukan tempat kosong karena Leonard-mengelak dengan cara berputar di sepanjang tambang. Sebaliknya, ia berhasil mendikte Duran untuk bertanding dalam jarak yang dikehendakinya. Rangkaian pukulannya banyak mendarat di kepala dan tubuh lawan. Sampai ronde ke-7 Leonard sudah mengumpulkan angka lebih banyak. "Kita harus mencari kemenangan KO. Sekarang," teriak Dundee. Leonard memang nyaris berhasil melaksanakan instruksi sang pelatih. Ronde ke-8 itu sepenuhnya milik dia. Tapi inilah yang terjadi: Leonard baru saja mendaratkan kombinasi pukulan, kemudian mundur dan keluar dari jarak pukulan lawan. Roberto Duran memburunya, tapi, tiba-tiba, anak jalanan itu menghentikan langkah dan membalikkan tubuhnya. Lalu berjalan meninggalkan Ray, menuju pojoknya, sembari berteriak-teriak sambil menggelengkan kepala, "No more... no more..." Dia dikerumuni ofisialnya. Juri menyatakan Sugar Ray sebagai pemenang. Inilah sebuah kemenangan perang urat saraf. "Saya tidak tahu alasan yang sebenarnya mengapa Duran meninggalkan pertandingan. Saya pikir karena dia takut," kata Dundee. Yang jelas, Duran memang frustasi. Dia sama sekali tidak menyangka pertandingan akan berjalan seperti itu: terus-terusan didikte lawan. Kebanggaannya sebgai macho (jagoan) Amerika Latin runtuh. Buat apa lagi bertarung? Setelah naik ke kelas menengah ringan, dan mengalahkan Ayub Kalule, petinju Uganda yang bermukim di Copenhagen, Denmark, Leonard berniat mencoba kekerasan tinju anak muda Amerika lainnya, yang namanya sedang meroket: si jangkung Thomas Hearn, juara dunia kelas walter WBA yang tak pernah kalah. Hearn kelahiran Memphis, Tennessee, memang pantas ditantang. Ia meraih gelar WNA dengan mengkanvaskan Pipino Cuevas dalam dua ronde. Padahal Cuevas, macho dari Meksiko, adalah si raja KO -- 29 lawan yang dipecundanginya, 26 di antaranya terkapar KO. Selam dua tahun, Dundee dan Leonard mengamati calon lawan itu. Rekaman pertandingan Tomy mereka pelajari. Akhirnya, September 1981, di Caesars Palace Hotel juga, disaksikan 23.000 penonton (lebih banyak daripada penonton Hagler-Leonard yang lalu), pertarungan dibuka. Barangkali itulah pertandingan tinju yang ditonton oleh banyak orang terkenal. Terliohat Muhammad Ali ada pula aktor Hollywood Jack Nicholson, Bill Crosby, Dean Martin, Burt Reynold, dan sutradara John Huston. Seorang wartawan menulis, malam itu suasana seperti sebuah pertunjukan film perdana. Sesungguhnyalah Hearn pantas jadi juara. Dengan tubuh lebih jangkung 7,5 cm, dan jangkauan yang lebih jauh, ia memanfaatkan pukulan lurus untuk menyetop setiap gerak Leonard. Dan kemudian, tonjokan lurus tangan kiri Tomy merobek alis mata kiri Leonard. Darah pun membeceki pipi kirinya. Untung, Angelo Dundee membawa Enswell, besi putih sebesar korek apai yang direndam di dalam es. Barang itu diperolehnya dari Michael Sabia, seorang dokter dari New Jersey yang gila tinju. Sabia menciptakan alat yang berkhasiat untuk merapatkan luka menganga yang sering dialami petinju. Cukup dengan menempelkan besi dingin itu, luka segera terkatup. Sampai ronde 12 berakhir, Leonard sudah kalah dalam pengumpulan angka. kalau tiga ronde berikut berlangsung seperti ronde sebelumnya, gelarnya jelas copot. Di pojok ring, pada waktu istirahat antarronde itu, Dundee membangkitkan semangat petinjunya, yang kelihatan sudah disergap rasa frustasi. "Hearn bukan tidak bisa ditaklukkan Ray... Kau dengan aku.... Pukul dia, jatuhkan dia... Lakukan itu sekarang juga." Seakan mendapat napas dan tenaga tambahan, begitu bel ronde ke-13 berdentang, Leonard bangkit menggila. Ia seolah punya seribu tangan, yang menggasak Hearn dari segala jurusan. Lalu, sebuah gebrakan tangan kanan yang keras membuat jatuh lawannya. Tapi, si Jangkung masih mampu bangkit. lagi, pada ronde berikut, satu jotosan berat menjungkalkan musuhnya. Hearn masih mencoba berdiri dengan bergantung pada tali ring. Tapi Wasit Pearl Wisely menghentikan pertandingan dan memberi kemenangan TJO (tehnical Knocked out) bagi Leonard. Banyak orang berpendapat, kemenangan Leonard kali ini harus dibayar mahal retina matanya rusak. Yang lain bilang, sudah ketika bertanding melawan Ayub Kalule, kerusakan itu dideritanya. Yang jelas, setelah itu, dia masih sempat mempertahankan gelar dari Bruce Finch, di Reno, Nevada, Februari 1982. Lawan ini dikalahkannya KO di ronde ke-3. Pada suatu hari di bulan Mei 1982, ketika bangun pagi, Ray merasakan ketidakberesan di mata kirinya. Mata itu terkadang diterpa sinar terang, lalu gelap. Diagnosa dokter menyebutkan retina (selaput jala) matanya rusak. Bulan itu juga dia menjalani operasi retinanya di rumah sakit di Baltimore. Dunia tinju cemas, ketika sang juara itu disarankan dokter menggantungkan sarung tinju, bila tidak mau kehilangan pengelihatan. Apa boleh buat, dia tentu memilih matanya, dan pada 9 November 1982, dia akhirnya mengucapkan selamat tinggal pada dunia tinju melalui sebuah resepsi yang mengharukan di gedung Baltimore Civic Center. Resepsi itu dihadiri orang-orang klalangan tinju, juga para penggemar. Sebuah acara yang disebut An Evening with Sugar Ray Leonard, yang tiket masuknya dijual. Tapi bagaimana bisa, seorang juara tinju, lebih dari itu, seorang bintang pujaan Amerika, cuma berpangku tangan menikmati simpanan uangnya? Dan ketika ia masih 26? Cuma dua tahun bertahan, Mei 1984, dia naik ring lagi di Worcester, Massachusetts, menghadapi Kevin Howard, seorang petinju tak terkenal. Sungguh, ini bukan sebuah penampilan yang mengesankan. Dia menyudahi Howard di ronde ke-9, tapi sebelumnya dia sempat pula terjengkang ke kanvas. Dan ketika iotulah, menurut laporan media massa, Marvin Hagler, yang duduk diantara penonton, tertawa terbahak-bahak. Pengalaman jatuh itu yang sebelumnya pernah dialaminya sebelumnya, mungkin membuatnya jadi kelilangan semangat, dan kembali berhenti sebagai petinju. Sampai akhirnya promotor raksasa Bob Arum berhasil mengajaknya keluar dari sarang, untuk bertarung melawan Marvin Hagler. Kini, kembali Sugar Ray Leonard sebagai petinju nomor satu. Ia bertarung 35 kali, hanya sekali kalah dari Roberto Duran. Sebanyak 24 pertarungan dimenangkannya dengan KO. Harus diakui dialah raja kelas walter yang sebenarnya, selain juara di dua kelas lain, menengah ringan dan menengah, serta berhasil mengumpulkan uang lebih dari 40 juta dolar, sepanjang kariernya. Kata Leonard suatu kali, "Di ring semuanya beres. Tinju ini seperti ular, tiba-tiba mematuk sebelum disuruh."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini