Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Citra partai orang muda

Pada pemilu 1987, pdi meraih hasil meyakinkan. di berbagai daerah merebut posisi ppp. pendapat beberapa pengamat politik tentang suara yang mendukung pdi. diduga pendukungnya mayoritas anak muda.

2 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GELAR partai gurem harus segera dicabut dari PDI. Kendati masih di nomor buncit kini PDI muncul dengan hasil meyakinkan. Partai yang tahun lalu baru saja berbenah setelah kongres yang ricuh itu, ternyata, membuat prestasi yang dramatis. PDI mengundang sejumlah fenomena baru. Misalnya perolehan suara untuk DPR. Sampai Selasa siang pekan ini, PDI meraih total hampir 9,5 juta suara (11,01%). Ketika tiga kali pemilu sebelumnya, inilah partai yang tak membersitkan harapan, karena suara yang diraihnya terus-menerus menurun. Bandingkan. PDI hanya mendapat 10,09% suara pada Pemilu 1971, anjlok menjadi 8,60% pada Pemilu 1977, dan menukik lagi jadi cuma 7,88% pada Pemilu 1982. Sekarang, inilah pertama kali sejak Orde Baru, PDI sesudah maupun sebelum hasil fusi, berhasil menggeser kedudukan PPP di Jakarta. PDI secara mcncolok menambah 100, suara - dari 511.710 suara pada Pemilu 1982, kini mengisap 1.129.827 suara. Sementara itu, PPP dari 1.268.878 suara pada Pemilu 1982, kini melorot cuma 852.999 suara. Di Ibu Kota Republik, dari Deraih suara terbanyak pada Pemilu 1977, PPP terus anjlok ke peringkat kedua (1982), dan sekarang menclok di papan bawah. Si Merah juga mendepak Si Hijau di daerah pemilihan Jawa Barat. Dan ini untuk pertama kali terjadi PDI mengungguli PPP. Padahal, pada Pemilu 1982 silam, partai ini cuma mendapat 1.288.416 suara, sekarang beralih unggul hampir dua kali, mengaut 2.472.129 suara. Lalu, bandingkan ketika PPP yang lima tahun silam memperoleh 3.687.132 suara. liini malah rontok: hanya meraih 2 221.416 suara. Justru itu, jika diperhatikan sejak Pemilu 1971, kalau dibandingkan dengan PPP posisi Banteng di Tanah Priangan ini konsisten mernang terus berbiak. Pada Pemilu 1971, misalnya, PNI hanya mendapat satu kursi, tetapi pada Pemilu 1977, PDI mendapat 3 kursi - sementara PPP meraih 14 kursi. Pada Pemilu 1982, kursi yang diraih PDI bertambah lagi menjadi 5 kursi, sedangkan PPP berkurang karena memperoleh 13 kursi. Kini, dari segi kursi, PPP dan PDI berkekuatan seimbang. Keduanya mendapat 9 kursi, meski dari jumlah suara mutlak PDI lebih banyak ketimbang PPP. Dan kemajuan PDI ini makin nyata jika dirinci sampai pada perolehan suara untuk DPRD Tingkat I. Tak tanggung-tanggung, PDI berhasil menambah perolehan suaranya di 20 provinsi. Di Aceh, PDI berhasil meraih 78.522 suara. Dan ini untuk pertama kalinya, selama Orde Baru, partai bersimbol Banteng Ketaton itu berhasil mendapatkan sebuah kursi, di Serambi Mekah. Sedangkan di Sumatera Utara, PDI juga berhasil gemilang menyamai kekuatan PPP - sama-sama mendapat 3 kursi. Pemilu bulan lalu itu, memang, tak mengubah peta kekuatan politik. Bahkan, pesta demokrasi kali ini lebih mengabsahkan kekuasaan Golkar, setelah berhasil meraih lebih dari 70% suara. Tapi, posisi PDI memang makin menarik disimak. Mengapa partai yang selama ini disebut "gurem" itu berjaya mengail banyak tambahan suara? Salah satu ciri penting yang muncul dalam Pemilu 1987 ini adalah para pemilih muda. Yakni mereka yang kini berumur 17-27 tahun, yang jumlahnya berkisar 23,5 juta jiwa. Sekitar separuh dari jumlah ini (11,7 juta) adalah kalangan muda berusia 17-22 tahun. Mereka tampi pertama kali mengunakan hak pilih. "Generasi muda inilah yang memegang kunci menentukan," kata Ridwan Saidi. Dan, inilah sebagian faktor yang menyebabkan: di satu pihak perolehan suara PDI bertambah, di lain pihak berkurangnya pencoblos PPP. "PPP sama sekali tak berhasil mendapatkan pemilih baru," kata Ridwan. Memang. Saban kali PDI berkampanye, dalam Pemilu barusan, selalu kalangan muda meramaikan. Terlebih pada dua putaran terakhir. Pada saat inilah, misalnya, banyak pelajar dengan gairah. Mereka berbaur dalam warna merah. Contohnya, ketika puluhan anggota Swara Maharddhika - meskipun secara pribadi-pribadi - turut pula menyemarakkan semangat massa Banteng Ketaton itu. Dan yang menariknya lagi, tumpah-ruahnya kalangan muda ini tak hanya terjadi di Jakarta saja. Tapi mereka juga merebak di banyak kota. "Ada pertanda transisi kekuatan politik," ujar Roeslan Abdulgani. Pertanda transisi, karena kalangan muda inilah kelak yang menjadi pendorong pergeseran peta politik. Sebab inilah kalangan yang menghadapi tekanan-tekanan yang berat. Ada soal lapangan pekerjaan, pemerataan pendapatan, kesempatan berusaha, kesempatan pendidikan. Juga, ihwal kebebasan berpolitik. "Simbol Beringin, mereka diidentifikasikan birokrat, dan dipandang sebagai pihak yang menciptakan masalah-masalah itu," kata Roeslan. Sebaliknya, "Simbol Banteng dianggap bisa memenuhi tuntutan-tuntutan itu," tambah Roeslan. Lalu ada tanya yang lebih mengkilik: mengapa anak-anak muda itu tertarik pada PDli Karena partai ini tak hanya memikat kalangan muda dari pelapisan sosial bawah dan dari sektor informal. Tapi, "Kampanye PDI yang terakhir juga banyak diikuti anak pejabat, dan anak-anak orang kaya," ujar Sejarawan Taufik Abdullah. Atau, menurut bahasa Roeslan Abdulgani, "Banyak anak-anak muda, baik elite maupun kampungan, hanyut dalam debur langkah kampanye partai gurem." Ais Said, misalnya. Putra sulung Ketua Mahkamah Agung Ali Said ini terus terang mengakui ikut kampanye PDI. "Meski saya dibesarkan di lingkungan Korpri, Golkar tak menarik minat saya," ujar Ais. "Harus kita akui," tambahnya, "banyak kemajuan yang telah dilakukan Golkar. Tapi, saya yakin, banyak orang yang telah jenuh." Dalam kejenuhan itu, bagi Ais, PDI seakan memberikan pengharapan baru. Yakni: PDI diharapkan mampu menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat, terutama generasi muda. Inilah, katanya, yang menyebabkan banyak kalangan muda berbondong-bondong ke PDI. "Golkar itu bagus," tukas Ais. "Tapi ibaratnya sudah seperti orang tua." Kecuali itu, menurut promotor musik ini, "PDI tidak menjanjikan yang muluk-muluk." Ais sendiri menilai dirinya belum mempercayai benar PDI. Dewasa ini, "Saya tanam kepercayaan nol koma nol nol satu persen. Nah, kalau lima tahun mendatang tak disiram, yah, bisa mati. Simple saja," katanya. Ada juga soal lain. Sebagian kalangan muda berpaling ke PDI, agaknya, "Karena Golkar telah menjadi simbol-simbol materiil," kata Rio Manayang, 27, salah seorang anggota Swara Maharddhika. "Sedangkan PDI banyak berbicara ke hal-hal nonmateriil, tetapi lebih menyangkut semangat," tambahnya. Apa pun alasannya, harus diakui bahwa PDI telah tampil dengan lebih memukau bagi kalangan muda. Dan tak cuma sekadar itu. PDI juga mengundang fenomena baru: boleh jadi sedang terjadi pergeseran aliran politik. Di beberapa TPS di Jakarta, yang selama ini secara tradisional menjadi kawasan pemilih PPP, ternyata telah ada pergeseran ke PDI. Contohnya, apa yang terjadi di TPS dekat Musala Assa'adah - yang terletak di Kelurahan Koja Selatan, Tanjungpriok, Jakarta Utara. Di tempat ibadat inilah asal mula pecahnya Peristiwa Tanjungpriok tempo hari. Hal serupa juga mencuat di wilayah kediaman Salim Qadar. Salim, salah seorang tokoh Peristiwa Priok itu, kini tengah menjalani hukuman. Di masa kampanye lalu, tokoh PPP ini menyatakan diri menyeberang ke Golkar. Bahkan, anak-anaknya telah turut berkampanye bagi Si Kuning. Hasilnya? Di TPS XIII Jalan Donggala (Priok), PDI justru yang mendapat suara terbanyak, yakni 214 suara. Sedangkan Golkar 108 suara, dan PPP cuma 100. "Menyeberangnya Abah ke Golkar nggak berpengaruh," ujar Benny Yuharsa, menantu Salim Qadar. Menariknya, justru PDI bisa menang di sarang PPP. Ini merupakan pertanda, telah terjadi semacam pergeseran peri laku memilih, yakni memudarnya aliran politik? Betulkah sedang terjadi pergeseran dari aliran ke kelas ? Dr. Nazaruddin Sjamsudin, Ketua Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, memandang masih diperlukan penelitian yang mendalam. "Tidak bisa diambil kesimpulan dari satu dua kasus," katanya. Kecuali itu, "Saya masih percaya pola aliran itu masih sangat kuat sekali." Sedangkan Direktur CSIS (Pusat Pengkajian Masalah-masalah Internasional dan Strategis) Harry Tjan Silalahi, juga belum melihat terjadi pergeseran dari aliran ke kelas. "Di daerah, kemenangan PDI berasal dari golongan bawah atau daerah kumuh. Sedangkan yang menang di kota, justru dari golongan priayi yang bukan birokrat," katanya. Menurut Harry Tjan, kelompokkelompok dalam masyarakat pasti mempunyai pilihan-pilihan sendiri. Garis-garis primordial masih sangat kuat. Kecuali itu, dalam garis-garis kelas sosial-ekonomis, juga terdapat ikatan-ikatan primordial, seperti suku, agama, serta hubungan sekampung yang masih kuat. "Jadi, sulit untuk mengatakan bahwa ada pergeseran dalam waktu satu pemilu saja," kata Harry Tjan. Memang, masih banyak hal yang belum jelas benar. Misalnya, seberapa besar pertambahan suara PDI itu sumbangan pemilih muda. Dan berapa banyak yang merupakan suara muntahan atau pelarian dari PPP. Yang jelas kini ialah, "Dibanding Pemilu 1982, PDI mendapat suara yang lebih banyak di daerah perkotaan," kata Harry lagi. Di Jakarta, misalnya, dari hanya mendapat 28% suara, PDI kini meraih 38%. Menurut Ketua DPD PDI DKI, Ipik Asmasubrata, pertambahan suara PDI di Jakarta, karena sejak Agustus 1982, DPD PDI Jakarta telah menggebrak ke kelurahan. "Para komisaris kelurahan inilah yang bergerak dari rumah ke rumah," katanya. Dengan cara dari pintu ke pintu itulah, PDI katanya mendekati orang-orang Madura yang tinggal di bilangan Tanjungpriok. Sasaran PDI adalah para pemuda yang belum mempunyai pekerjaan alias pengganggur. Kepada para pemuda lainnya, PDI dengan gamblang mengatakan, "PDI tidak bisa memberikan apa-apa. Kami ini miskin," ujar Ipik. Hasilnya? Banyak yang justru dengan sukarela menyediakan kaus sendiri. Di Provinsi Ja-Bar', PPP juga "diseruduk" Banteng. Pada Pemilu 1982, PPP meraih 27% suara, dan kini hanya mendapat 14%. PDI sendiri naik dari 9,49% suara menjadi 15%. Apa sebabnya? Ketua DPD PDI Ja-Bar Dudy Singadilaga menyebutkan dua kemungkinan. Pertama, faktor obyektif, bahwa PDI di bawah kepengurusan sekarang tak acak-acakan. Kedua, faktor subyektif, "Para pemilih agaknya menginginkan perubahan," katanya. Menurut Dudy, PDI Ja-Bar dengan sengaja memang menggarap kalangan muda, "karena merupakan kelompok yang bersih, dan berorientasi ke masa depan". Perolehan suara PDI yang mencolok itu, katanya, diperkirakan 30%-40% berasal dari kalangan muda ini. Pemilu 1987 ini membuktikan bahwa citra PDI jauh lebih cerah. Padahal, inilah partai yang - bahkan sampai Kongres III April tahun silam - masih digerayangi konflik kepemimpinan. Persoalan kini ialah: Awetkah PDI terus merawat aspirasi sebagai partainya orang muda? Saur Hutabarat, Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus