Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebuah jab dari Wilmington

Riwayat karier sugar ray leonard, petinju yang karismatik & romantis. berbagai juara diraihnya mulai dari kelas welter sampai menengah. berkat muhamad ali, ia bisa bertemu dengan pelatih angelo dundee.

2 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEUMPAMA tak ditarik dunia ring, lalu menjadi juara, Sugar Ray Leonard barangkali cocok menjadi pendeta. Di masa kecilnya anak desa ini lebih suka menyanyi di "rumah Tuhan". Kini pun, di luar arena tinju, Leonard sehari-hari seorang yang selalu rapi dan rendah hati. Berlawanan dengan tinjunya yang sering kali men jungkalkan lawannya, bapak dua anak ini punya tutur sapa begitu sopan. Penampilan dan pembawaannya simpatik, ia selalu tersenyum. Dan wajahnya yang tampan itu mengingatkan orang kepada Sidney Poitier, seorang bintang film berkulit hitam . Ia pun bukan jenis bintang yang suka menyingkir dari penggemarnya. Leonard dengan senang hati melayani serbuan pemujanya yang meminta tanda tangan, atau berfoto bersama. Menghadapi wartawan pun, ia tidak canggung, dan tak suka "omong kosong". Adalah itu semua yang membuat orang lalu bilang: Sugar Ray Leonard petinju yang memiliki karisma. Kepopulerannya memang benar-benar karena ring, dan bukan yang lain. Dialah lebah yang menari-nari di sekeliling tali ring, yang tiba-tiba menyengat lawannya. Dan Leonard tak hanya punya ribuan sengat pertandingan tinjunya bukan cuma pertunjukan adu jotos, tapi sebuah pertarungan yang artistik, sebuah seni berkelahi. Orang ini boleh dikata bersih dari skandal. Itulah yang membuatnya ia berbeda dengan juara-juara dunia lainnya. Ia menikah dengan Juanita Wilkinson, seusai merebut medali emas tinju kelas welter di Olimpiade '76, Montreal, lalu hidup bahagia di sebuah rumah bernilai US$ 700.000 di kawasan Glen Dale, Maryland. Sebuah rumah yang dilengkapi arena tinju. Di ring, Leonard menjadi lawan yang tangguh, di muka publik, ia adalah suami yang romantis, sering tampak bergandengan mesra dengan istrinya. Di sebuah kota kecil Wilmington, North Carolina, 17 Mei 1956, lahirlah anak kelima dari satu keluarga kulit hitam. Si ayah, Cicero Leonard, bekerja sebagai pengangkut barang di sebuah toko swalayan. Si ibu, Getha, perawat pembantu di sebuah rumah sakit. Keluarga ini sangat menggandrungi penyanyi pop terkenal, Ray Charles, si penyanyi tunanetra, yang di tahun 1950-an mengorbit dengan lagunya I Can't Stop Loving You. Itu sebabnya, ketika anaknya yang kelima lahir, diberi nama Ray Charles, lengkapnya Ray Charles Leonard. Dengan nama itu, ibunya berharap anaknya nanti "menjadi penyanyi terkenal" . Ray kecil melewatkan masa kanak-kanaknya di Washington D.C. Ketika menginjak usia remala, la mengikuti orangtuanya yang hijrah ke kota kecil Palmer Park di Maryland. Sebagai anak, ia contoh anak yang saleh. "Saya tidak pernahpunya masalah dengan dia. Dia anak yang baik, dan agak pemalu," ibunya mengenang. Ray tak suka berkelahi . Sampai, suatu hari, Leonard kecil diganggu oleh teman-temannya, dikata-katai sebagai banci. Perasaannya terusik. Oleh Roger, kakaknya, Ray diajari bertinju. Mungkin inilah pertama kali ia berkenalan dengan dunia kekerasan. Dan ketika menginjak usia 14 tahun, itulah usia perdana ia mengenal sarung tinju. Olah raga ini sebetulnya tak terlalu asing buat Ray ayah dan kakeknya memang bekas petinju amatir. Mungkin memang sudah takdir, Ray tumbuh dengan postur cocok dan ideal untuk olah raga keras. Di samping itu -- dan ini yang terpenting - Ray ternyata menyimpan bakat dan naluri "seni berkelahi". Adalah Janks Morton, seorang bekas petinju amatir yang melatih secara sukarela di pusat rekreasi di Kota Palmer Park, yang naksir anak muda ini. Mortonlah yang pertama kali melihat dan kemudian mengasah bakat tinju yang dimiliki si anak alim itu. Lalu, ia pun mulai mengenal tokoh-tokoh tinju. Sebagaimana lazimnya anak muda, Ray pun punya idola, dan itulah petinju legendaris Sugar Ray Robinson, si raja kelas welter di tahun 1940-an dan 1950-an, juara dunia lima kali. Maka, Ray mengubah namanya men jadi Sugar Ray Leonard, nama yang nanti terukir dalam sejarah tinju dengan indah. Di masa ia malang melintang di kancah tinju amatir pun, Sugar Ray Leonard mencatat prestasi mengagumkan. Puncak dari babak pertama kariernya ini, ketika ia memperkuat barisan kontingen AS ke Olimpiade '76 Montreal. Di situ, seperti sudah sering diceritakan, Ray meraih medali emas di kelas welter ringan - satu dari lima emas yang diperoleh AS dari cabang tinju waktu itu. Gaya bertinjunya di arena Olimpiade membuatnya menjadi bintang siaran televisi selama jurnal Olimpiade yang dipancarkan ke seluruh AS. Lalu, ditambah penampilannya yang simpatik di luar ring, jadilah ia pujaan Amerika. Ia dianggap sebagai pahlawan olah raga AS. Semula Ray tak berminat terjun dalam kancah tinju pro. Setelah meraih emas di Olimpiade ia sesungguhnya ingin meninggalkan dunia tinju. "Keputusan ini mutlak. Impian saya sudah tercapai, perjalanan tinju sudah berakhir," katanya suatu kali. Sebagai juara tinju amatir, ia memiliki kesempatan untuk melanjutkan sekolah di University of Maryland - dan sebenarnya ia telah bersiap-siap untuk itu. Sebagaimana keadaan memaksa dia belajar tinju ketika teman-temannya mengejeknya sebagai banci, kini pun ada yang memaksanya menjatuhkan pilihan di luar cita-citanya sendiri. Waktu itu, ibunya masuk rumah sakit karena menderita serangan jantung. Sedangkan ayahnya juga sakit-sakitan karena spinal pneumonia. Itu semua hanya berarti satu: keluarga ini membutuhkan biaya pengobatan yang tak sedikit. Terdesak oleh kenyataan yang ada, Ray akhirnya tak mampu menahan iming-imingan dolar. Ia menjadi petinju profesional di awal 1977. Pada 5 Februari 1977, Ray melakukan debut profesionalnya di kelas welter. Lawannya yang pertama, Luis Vega. Hasilnya, ia menang angka dalam enam ronde. Sejak awal, penampilan dan gaya bertinjunya memang sudah mengundang perhatian banyak pengamat tinju pro. Gaya bertinjunya, kata orang "mudah dijual". Dalam dirinya, Ray menyimpan bakat komersial - dan ia sadar akan hal itu. Ia cepat "laku". Banyak promotor menawarinya mengisi partai-partai tambahan. Pada tahun pertama ia menyelesaikan enam pertandingan, dan memborong kemenangan . Bayaran Ray terus meningkat. Masih di tahun 1977, ia sudah menerima US$ 40.000 untuk sekali bertanding. Sebagai pendatang baru di dunia tinju pro, tentu saja jumlah itu cukup fantastis. Bandingkan, misalnya, dengan Marvin Hagler yang sudah malang melintang di tinju pro sejak 1973. Di akhir 1977, dalam pertandingannya yang ke-36 - melawan Johnny Baldwin - Hagler cuma menerima bayaran US$1.500. Bahkan ketika Ray kalah dari Roberto Duran, Juni 1980 - nasib jelek satu-satunya di rin, sampai saat kini - ia menang dalam menciptakan bayaran tertinggi waktu itu: US$ 9,7 juta. Dan kekalahan itu ia balas hanya dalam waktu lima bulan kemudian: Duran di-KO-nya dalam ronde ke-7. Namun, bukan hanya bayaran Ray saja yang meningkat. Dalam waktu singkat, ia juga mampu mencetak prestasi besar. Hanya dalam dua tahun, ia sudah men jadi juara dunia kelas welter versi WBC. Ia merebutnya dari Wilfred Benitez, petinju muda yang menggetarkan banyak nyali penantangnya. Itulah "pertarungan antargrandmaster" di Las Vegas, 30 November 1979. Ray menang KO atas Benitez di ronde ke-15. Setelah itu, Ray Sugar Leonard makin "merajalela". Ia naikkan kelasnya dari welter ke menengah ringan, dan tetap juara. Ini semua sebenarnya berkat mata jeli si juara kelas berat Muhammad Ali. Di Maryland, akhir April 1976, ia berjumpa Leonard. Tampaknya, Ali begitu memperhatikan anak muda yang hendak pergi ke Olimpiade Montreal itu. Bahkan, sesekali Ali pun menyaksikan dari dekat bila Leonard sedang bertanding - perhatian yang jarang ia berikan kepada para petinju muda. Dan jasa Ali terbesar: dialah yang memperkenalkan Leonard dengan Angelo Dundee. Kontrak pertama antara Dundee dan Leonard diteken pada 16 November 1976, di Silver Spring, Maryland. Dan ternyata berlanjut sampai kini, ketika Dundee kini sudah 60 tahun, dan Leonard jadi petinju nomor satu. Kemudian ia merobohkan si Tukang Pukul Thomas Hearns, September 1981. Ketika itu, bayaran yang diterima oleh Ray memecahkan rekornya sendiri ketika berhadapan dengan Duran. Melawan Hearns, ia dibayar US$ 10 juta. Dari dua pertarungan itu saja, Ray menerima US$ 16,7 juta. Suatu jumlah yang melebihi gabungan penghasilan Joe Louis, Jack Dempsey, dan Sugar Ray Robinson, ketika mengumpulkan dolar sepanjang karier mereka di tinju pro. Tapi kemenangan Ray atas Hearns yang spektakuler ini harus dibayar mahal. Retina mata kirinya sobek. Ia diancam kebutaan. Operasi penjahitan retina, 9 Mei 1982, sukses. Kali itu, tanpa diminta oleh istrinya, Ray sendiri mengumumkan berhenti bertinju. Toh, panggilan dunia ring, dengan lembar-lembar dolarnya, bukan hal yang mudah dielakkan. Ia kembali bertarung, meski istrinya menyatakan sangat keberatan. Ray meyakinkan banyak orang bahwa cedera matanya sudah membaik, dan tidak akan berakibat apa-apa. Mungkin inilah, selama ia terjun dalam dunia tinju pro Leonard pertama kali bertinju atas kehendak sendiri. Kali ini Kevin Howard dia KO. Setelah itu, tak lama kemudian, si "penyanyi gereja" ini membujuk Juanita, istrinya, agar memberinya izin untuk bertarung sekali lagi melawan Marvin Hagler. Konon, Juanita melakukan segala daya mencegah keinginan suaminya itu. Apalagi ia tahu, Hagler, si Badak, bukan lawan sembarangan. Tapi Ray nekat. Tak di mana, tak kapan pun ia selalu menggunakan kesempatan membujuk istrinya. Akhirnya, Juanita sadar bahwa dunia tinju memang sudah menjadi dunia suaminya. Tak ada pilihan lain. Ia harus ikut menanggung segala risiko. Dengan berat hati, dengan rasa penyesalan yang dalam, ia mengizinkan Ray naik ring. Entahlah, siapa sebenarnya yang menang dalam pertarungan Hagler-Leonard yang lalu itu. Leonard yang memang penuh akal, dan lincah berimprovisasi? Angelo Dundee, pelatih dan manajernya, yang bermata tajam, yang mampu melihat kekhasan - dan kemudian mengembangkan - kedua petinju? Ataukah dukungan para pemuja si petinju tampan yang simpatik ini? Dan siapa tahu, itulah hasil doa Juanita, perempuan saleh, yang mencemaskan pertandingan ini, tapi memahami cita-cita seorang lelaki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus