Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, suatu hari di bulan Januari 1975, seorang pahlawan pulang kampung. Teruo Nakamura mengenakan setelan jas biru tua, kelihatan gagah dan sehat. Ia hanya sedikit terganggu oleh kilatan flash para wartawan yang meliputnya. Di antara para penyambut, ia melihat dua orang yang sangat ia kenal: Li Lanying, istrinya, dan Li Hung, putranya.
Li Hung sebenarnya masih di perut istrinya ketika ia diterjunkan ke Pulau Morotai bersama ratusan koleganya sesama serdadu Jepang pada April 1944. Namun, di bandara Taipei, Li Hung, kini seorang muda berusia 30 tahun, begitu mudah dikenalinya. Dan ia membawa hadiah yang sangat istimewa buat ayahnya: pinang dan tembakau. Suatu bentuk penghargaan tertinggi dari suku Ami, suku asli Taiwan, asal Nakamura.
Li Lanying, istrinya, tampak di samping Li Hung, berurai air mata. Sepuluh tahun setelah Nakamura dikabarkan "hilang" pada 25 Maret 1945, ia menikah dengan seorang lelaki bernama Huang Chin mu. Namun sekarang masa lalu telah kembali di depan matanya. Kenyataannya, menyaksikan Nakamura kembali ke Taiwan tak hanya membuatnya bahagia, tapi juga bingung
Taiwan tentu saja bukan Morotai yang damai. Dalam biografinya yang ditulis oleh seorang wartawati Central News Agency, Nakamura mengaku ada dua hal yang kerap mengganggunya pada pengujung hidupnya di Taiwan: masalah rumah tangga dan para wartawan. Pada mulanya, Nakamura tak menghadapi kesulitan yang berarti manakala ia harus menghadapi serbuan wartawan. Namun, dalam perkembangannya, ia pun merasa mereka telah merebut privasinya sebagai manusia. Masalah privasi ini jadi penting karena ia seumur-umur hampir tidak pernah memutuskan dirinya sendiri—kecuali ketika ia bertahan di Morotai.
Mulanya Jepang datang, mengubah namanya menjadi Teruo Nakamura. Ketika Jepang angkat kaki dari Taiwan, orang pun memanggilnya dengan Li Kuang hui. Tak ada yang kemudian memanggilnya dengan nama asli suku Ami, Atun Palatin.
Di Taiwan, Nakamura akhirnya memilih hidup bersama keluarga putranya. Ia acap kali menghabiskan waktu dengan kawan-kawan lamanya sambil minum-minum. Pada 1979, ia meninggal; menurut dokter ia menderita kanker paru-paru.
Nakamura lahir pada 1919 di Hualien, di dalam komunitas suku Ami yang terkenal dengan keberanian dan ketangguhannya menghadapi alam liar. Menurut kakak perempuannya, ia seorang bayi dengan daya tahan tubuh yang hebat. Ketika berangkat remaja, sang kakak melihat bakatnya yang luar biasa dalam memainkan pisau. Ia juga biasa mengambil keputusan dengan tegas.
Seperti pemuda suku Ami umumnya, Teruo Nakamura bergabung dalam satuan sukarelawan Takasago dalam angkatan bersenjata Jepang. Inilah kesatuan tangguh yang dapat bertahan dan bertempur secara luar biasa di wilayah-wilayah tropis. Namun pendapat lain menyebut mereka juga merupakan kesatuan yang tidak diakui haknya: tak pernah mendapatkan tunjangan kesehatan memadai, bahkan tak berhak menerima pensiun. Jumlah sukarelawan semacam ini mencapai 7.000 orang.
Nakamura sendiri tidak akan menerima pensiun di Jepang karena, sesudah perjanjian Postdam (1945), Jepang hanya menerima tentara Jepang asli. Sewaktu ditanyakan ke mana ia akan pulang, Nakamura memutuskan, "Kalau ada kapal ke Taiwan, saya akan pulang ke Taiwan." Pada kesempatan yang sama ia juga mengatakan, "Tapi, kalau tak ada kapal, saya ingin tinggal di Morotai ini saja."
Nakamura dan Morotai, dua yang sulit berpisah. Ketika kembali ke Taiwan, Nakamura membawa serta barang-barang yang menopang hidupnya di Pulau Morotai: kalender kayu, belat penangkap ikan yang terbuat dari rotan, perangkap binatang (juga dari rotan), serta topi baja sebagai wadah untuk menggoreng dan merebus, dan lain-lain.
Ketika mendarat di Desa Sangowo dulu, masyarakat setempat kerap menyaksikan Nakamura dan satuannya yang dipimpin Mayor Kawashima dengan takjub. Mereka melihat kegagahan pasukan ini. Dalam perkembangannya, masyarakat di desa itu juga menyaksikan kisah cinta antara prajurit yang satu ini dan seorang "kembang desa". Ya, Nakamura memang telah menikah dengan Li Lanying di Taiwan sana. Tapi di Desa Sangowo itu ia tak kuasa melihat kecantikan seorang gadis lokal bernama Nifa—mungkin kependekan dari Hanifa. Sebaliknya, Nifa juga tak bisa menampik daya tarik Nakamura.
Bahkan, menurut Kolonel (Purnawirawan) Supardi, kepala tim yang menangkap dan mengamankan Nakamura, Nakamura pernah meminta izin dari atasannya agar diperbolehkan tinggal di rumah pacarnya di Sangowo. Di Daruba, Nakamura mengakui hubungan yang kemudian putus setelah Jenderal MacArthur dan pasukannya menyerbu Morotai pada 15 September 1944 itu. Nakamura masih ingat bagaimana keduanya berjalan di tepi pantai.
"Mereka menghadap ke laut, menikmati alam di daerah Sangowo," kata Abdul Hamid, 68 tahun, penduduk Desa Totodoku yang masih mempunyai hubungan kerabat dengan Nifa. Menurut Abdul Hamid, Teruo Nakamura banyak bercerita tentang kedekatannya dengan Nifa. "Setelah Nakamura masuk hutan, Nifa kawin dengan orang lain di Desa Totodoku," kata Abdul Hamid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo