Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gorengan Century Kader Beringin

Politikus Partai Golkar, Bambang Soesatyo, mempolitisasi isu sengketa bekas pemilik Bank Century, Rafat Ali Rizvi dan Hesham al-Waraq, dengan pemerintah. Kasus gugatan Rafat ternyata belum disidangkan. Manuver Golkar menjelang reshuffle?

19 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN mendadak digelar di ruang rapat Wakil Jaksa Agung Darmono, Jalan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin pagi pekan lalu. Dua puluhan pejabat dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta lembaga lainnya tumplek di kantor adhyaksa tersebut. Mereka khusus membahas isu kekalahan pemerintah Indonesia oleh Rafat Ali Rizvi di arbitrase internasional.

Darmono, yang memimpin pertemuan, kata sumber Tempo, meminta tim jaksa dan kuasa hukum pemerintah dari Karimsyah Law Firm menjelaskan kasus gugatan bekas pemegang saham Bank Century itu—kini Bank Mutiara. Panjang-lebar tim jaksa dan pengacara pemerintah membeberkan posisi gugatan Rafat di arbitrase internasional atau International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID), Amerika Serikat. Kesimpulannya, Indonesia sama sekali belum kalah lantaran peradilan belum digelar.

Ada kejengkelan dalam pertemuan lebih dari dua jam tersebut. Peserta rapat tak habis pikir isu menyesatkan itu muncul. Dalam rapat itu, Karen Mills, salah satu anggota tim kuasa hukum pemerintah, bahkan sempat mengungkapkan keheranannya. "Aneh, ada orang Indonesia seolah-olah senang negaranya kalah di pengadilan," kata si sumber mengutip Mills. Mills kepada Tempo menolak berkomentar. "Tak ada yang bisa saya jelaskan," ujarnya di Jakarta pekan lalu.

Mills tak menunjuk langsung si pelempar isu. Namun semua yang hadir mafhum. Telunjuk wanita separuh baya ini mengarah kepada Bambang Soesatyo, anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Politikus Partai Golkar ini merilis siaran pers ke berbagai media. Dalam keterangan tertulis itu, Bambang menyebutkan hakim arbitrase menolak pembelaan Kejaksaan Agung—jaksa pengacara negara—dan Karimsyah Law Firm.

Menurut Bambang, arbitrase telah memenangkan gugatan Rafat dan Hesham al-Waraq (pemilik Century) serta mengabulkan gugatan mereka senilai Rp 4 triliun, bukan US$ 75 juta seperti klaim pemerintah. "Vonis ICSID menjadi bukti adanya penyalahgunaan wewenang memaksakan bailout Bank Century," ujar Bambang. Tuntutan sebesar itu, kata dia, diajukan karena Rafat dan Hesham merasa hanya menerima Rp 2 triliun dari total dana talangan (bailout) Rp 6,7 triliun. "Keduanya merasa dirugikan atas kebijakan bailout."

Merasa yakin informasi dari Bambang salah total, Jaksa Agung Basrief Arief buru-buru membantah kabar kekalahan pemerintah itu. "Indonesia belum kalah karena peradilan sama sekali belum dimulai," katanya.

l l l

BANK Century merupakan hasil merger Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac pada Desember 2004. Rafat bersama Hesham punya sekitar 9 persen saham Century. Robert Tantular menguasai mayoritas, sedangkan sisanya milik investor publik. Satu tahun setelah merger, ada problem likuiditas dan permodalan di Century. Bank Indonesia meminta Century menjual credit link note Republic of Indonesia karena surat berharga ini tak layak investasi. Eh, Century malah berinvestasi pada surat utang valas senilai US$ 246 juta.

Pada 3 Oktober 2005, Bank Indonesia menegur Century agar menjual surat-surat berharga tersebut. Century hanya bisa menjual sedikit. Masih ada surat berharga senilai US$ 203,4 juta. Rafat juga berjanji menyetor duit segar ke Century secara bertahap hingga 2010 untuk menambal modal yang terus menciut.

Ternyata masalah likuiditas dan permodalan tak kunjung bisa dituntaskan. Rafat dan Hesham kadang-kadang bisa memenuhinya. Tapi sering pula mangkir. Walhasil, penyakit Century makin parah. Investor baru belum masuk, Century keburu oleng dan nyaris ambruk. Langkah Bank Indonesia memasukkannya ke pengawasan khusus pada 6 November 2008 tak bisa menolong. Dengan persetujuan Komite Stabilitas Sistem Keuangan, pada 21 November 2008, Lembaga Penjamin Simpanan menggerojokkan duit segar Rp 6,7 triliun ke Century (lihat infografis).

Nah, menjelang tiga tahun penyelamatan Century, tiba-tiba Rafat mengajukan gugatan ke ICSID pada 19 Mei lalu. Dalam materi gugatan yang dimiliki Tempo, Rafat tak menyinggung sedikit pun duit masuk ke Century cuma Rp 2 triliun, seperti yang dikatakan Bambang Soesatyo. Rafat hanya menyatakan telah menanamkan modal besar di Indonesia. Rafat juga mengklaim sedang mencari likuiditas di luar negeri dengan sepengetahuan Bank Indonesia ketika bank Century bermasalah.

Rafat sudah meneken kesanggupan (letter of commitment) dengan Kebon Sirih—kantor pusat BI—buat menambah modal. Masalahnya, kata Rafat, saat dia akan menyetor modal, pemerintah keburu mengambil alih Century. "Pemerintah Indonesia menasionalisasi (Century), sehingga bukan kesalahan saya," ujar Rafat dalam materi gugatan yang disampaikan ke ICSID.

Pemerintah Indonesia, kata dia, melanggar perjanjian bilateral investment treaty Inggris-Indonesia. Rafat memang warga negara Inggris. Rafat—sudah dihukum in absentia 15 tahun penjara oleh pengadilan di Indonesia—meminta ganti rugi US$ 75 juta (sekitar Rp 720 miliar) kepada pemerintah Indonesia. Rafat juga meminta majelis arbitrase membatalkan pembekuan aset miliknya di Swiss, Hong Kong, Mauritius, dan Singapura.

Pemerintah Indonesia sangat serius menghadapi gugatan Rafat ini. Pemerintah, kata sumber Tempo, tak mau menganggap sepele lantaran dua faktor. Pertama, pemerintah tak mau mengulang kekalahan dalam kasus sengketa Karaha Bodas, dan terpaksa membayar ganti rugi triliunan rupiah. Indonesia juga kerap kesulitan memenangi sengketa di tribunal internasional, seperti ketika menghadapi Cemex Meksiko atau California Energy (kasus Dieng Patuha). Tapi faktor kedualah yang paling membuat pemerintah khawatir. "Gugatan Rafat bisa jadi bahan politisasi kasus Century," bisik si sumber.

Tak aneh pemerintah tancap gas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11 Juli lalu mengeluarkan peraturan presiden yang menunjuk Menteri Keuangan Agus Martowardojo untuk menghadapi gugatan Rafat. Presiden juga memerintahkan Wakil Presiden Boediono menjadi koordinator penanganan kasus ini.

Boediono, kata sumber Tempo, lalu membentuk tim lintas departemen. Anggotanya Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Timur Pradopo, Agus, serta menteri lainnya. Itu belum termasuk tim teknis lintas kementerian yang dipimpin Darmono.

Pemerintah juga telah menunjuk kantor bantuan hukum Karimsyah. Law firm ini bermitra dengan Arthur Marriot dan Karen Mills, dua pakar arbitrase internasional. Karen punya rekam jejak bagus di arbitrase, termasuk berhasil memenangkan pemerintah dalam sengketa divestasi saham Newmont Corp di arbitrase Singapura.

Tak kurang dari sepuluh kali Boediono menggelar rapat dan membahas strategi menghadapi Rafat. Tiba-tiba, 1 Agustus lalu, Hesham ikut menggugat pemerintah. "Hesham meminta ganti rugi Rp 4 triliun," kata seorang sumber. Hesham semula ingin menggugat pemerintah Indonesia di ICSID. Tapi, lantaran Arab Saudi—negara Hesham—bukan anggota ICSID, ia tak bisa menggugat di situ. Belakangan, Hesham berencana menggugat Indonesia lewat Organisasi Konferensi Islam (OKI). "Padahal OKI tak punya pengadilan arbitrase," ujar sumber ini.

Toh, pemerintah sempat kalang kabut mendapat serangan baru itu. Bulan puasa baru berjalan beberapa hari, Boediono memanggil tim dan membahas kasus Rafat serta Hesham. Dalam pertemuan itu, pemerintah bertekad memilih strategi ofensif alias menyerang ketimbang defensif atawa bertahan.

Ibarat bermain bola, kata dia, pertahanan terbaik adalah menyerang. Strategi ofensif itu salah satunya menyiapkan bukti-bukti kejahatan Rafat dan Hesham. Agus Martowardojo tak menampiknya. "Akan kami buktikan kejahatan Rafat dan Hesham," ujarnya kepada Akbar Trikurniawan dari Tempo pekan lalu. Djoko Suyanto menambahkan, "Pemerintah akan melakukan segala upaya untuk menghadapi gugatan itu."

Dibanding yang diajukan Rafat, gugatan Hesham masih dini lantaran pengadilannya saja belum diputuskan. Kasus gugatan Rafat di ICSID sudah lebih maju. Tapi itu pun pengadilan belum digelar sama sekali. Sampai saat ini, Rafat dan pemerintah Indonesia baru menunjuk seorang arbiter. Nanti keduanya akan menunjuk majelis—semacam hakim ketua. Sekarang majelis ini pun belum terbentuk. Bahkan dokumen-dokumen buat majelis juga belum diserahkan. "Belum ada keputusan dari kasus (Rafat) ini," kata Basrief dalam siaran pers.

Putusan arbitrase kasus gugatan Rafat, menurut sumber Tempo, memang masih sangat jauh. Meski nanti majelis tribunal sudah diputuskan, kasus Rafat masih akan dinilai layak atau tidak masuk ICSID. Jika masuk pun, putusannya bisa setahun, dua tahun, atau lebih.

l l l

ARBITRASE gugatan Rafat masih penuh liku. Tapi kekhawatiran pemerintah gugatan itu masuk ranah politik menjadi kenyataan. Setidaknya "gorengan" Bambang sudah membuat kalangan di pemerintahan meriang. Dalam sidang kabinet terbatas Kamis dua pekan lalu, ujar seorang sumber, Yudhoyono mengingatkan akan munculnya berbagai kasus, termasuk Century yang akan menggoyang pemerintahan. Tapi juru bicara kepresidenan Julian Pasha membantah. "Tak ada ah pernyataan itu," ujarnya.

Sejatinya goyangan datang dari tim pengawas kasus Century di Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi goyangan paling kencang datang dari para politikus Golkar. Politikus Partai Beringin, seperti Bambang Soesatyo, Priyo Budi Santosa, dan Harry Azhar Azis, paling getol menyoroti kasus penanganan hukum bailout Century oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Golkar menilai penuntasan kasus hukum Century mandek meski sudah dua tahun berjalan.

Manuver Golkar mengangkat isu Century bukan isapan jempol. Sumber Tempo mengungkapkan Golkar telah memberi waktu kepada KPK agar menuntaskan kasus hukum Century selambat-lambatnya akhir September nanti. Bila lembaga antikorupsi itu tak memutuskan, Golkar akan bergerak dan mengambil sikap.

Ultimatum itu, kata si sumber, sudah disampaikan Ketua Partai Golkar Aburizal Bakrie saat menerima Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia, 12 Juli lalu, di Wisma Bakrie, kawasan Kuningan. Saat itu, Ical—sapaan akrabnya—didampingi pengurus Golkar, Lalu Mara Satriawangsa dan Ade Komaruddin. "Itu karena Ketua Umum (Aburizal) menjawab pertanyaan Noer Fadjri (Ketua HMI)," kata Lalu Mara. "Ketua Umum menunggu proses hukum di KPK."

Ultimatum agar KPK menuntaskan kasus hukum Century akhir September ini kembali disampaikan Aburizal pada Kamis, 1 September lalu. Pernyataan ini keluar setelah Aburizal berhalalbihalal dengan mantan wakil presiden Jusuf Kalla di Jalan Brawijaya, Jakarta.

Sayangnya, Jusuf Kalla belum mengkonfirmasi pertanyaan Tempo. Tapi Bambang tak menampik soal ancaman Golkar ini. "Ketua umum kami memang mengultimatum. Kalau sampai September ini KPK tidak menuntaskan kasus Century, kami mendorong hak menyatakan pendapat di DPR," ujarnya kepada Tempo pekan lalu.

Menurut sumber Tempo, motif dari politisasi gugatan Rafat dan masalah Century hanya sebagai tawar-menawar Golkar dalam reshuffle kabinet yang, konon, akan dilakukan Oktober nanti. Sasaran tembak lainnya adalah Boediono, yang akan digusur lewat hak menyatakan pendapat. Posisi bekas Gubernur Bank Indonesia ini sedang terjepit seiring dengan audit forensik oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Tapi Bambang menampik kasus Century ada kaitannya dengan perombakan kabinet. Golkar, kata dia, tak tertarik menambah menteri di perahu kabinet yang sudah terancam oleng. Golkar juga tak punya agenda menjatuhkan Boediono. "Hak menyatakan pendapat itu tugas kami di DPR sebagai bentuk melakukan fungsi pengawasan," ujarnya. Bila Golkar jadi merealisasi ultimatumnya, suhu politik nasional akan kembali panas lagi akhir bulan ini.

Padjar Iswara, Anne L. Handayani, Sunudyantoro, Fery Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus