Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teruo Nakamura. Empat pohon jeruk nipis yang ditanamnya berpuluh tahun silam masih tegak, seakan-akan tidak tersentuh sang waktu. Namun gubuk tempat ia berlindung dari panggangan matahari, guyuran hujan, gangguan ular dan malaria Pulau Morotai, Maluku Utara, sepanjang tiga dasawarsa lebih telah rata dengan tanah. Sebuah lubang berbentuk segi empat tampak menganga tepat di atas bekas fondasi pondoknya itu.
Tak banyak yang didapat setelah Tempo menyeberangi Selat Morotai, mendarat di kota pelabuhan Daruba, kemudian memanjat Gunung Galoka, Pulau Morotai, untuk melacak peninggalan Teruo Nakamura di lereng gunung itu. Nakamura adalah serdadu Jepang terakhir yang muncul hidup-hidup dari Pertempuran Morotai (14-15 September 1944), tiga puluh tahun setelah pertempuran yang menentukan itu....
Pertengahan bulan September ini, 66 tahun silam, dua kekuatan besar berbenturan di pulau kecil di bibir Samudra Pasifik ini. Puluhan bangkai tank, ratusan topi baja, sangkur, senapan mesin berikut mitraliur yang telah berkarat, bom yang tidak jadi meledak, yang terserak di Morotai menjadi saksi dahsyatnya The Battle of Morotai. Muhlis Eso, seorang pemuda Morotai mengumpulkan sisa-sisa pertempuran dalam biliknya yang kecil di Daruba, ibu kota Morotai Selatan. Inilah satu-satunya "museum" yang mencoba merekam, merekonstruksi kejadian bersejarah itu.
Morotai kini tentu saja tidak sama dengan 66 tahun silam. Ia mencoba menarik perhatian dunia dengan susah payah. Tahun lalu, 22-25 November 2010, majalah ini bersama sepuluh wartawan Jakarta dengan dukungan Kementerian Komunikasi dan Informatika, mengunjungi Pulau Morotai, yang mulai sibuk bersiap-siap menyelenggarakan tahun pariwisata Morotai Sail 2012. Kini wartawan majalah ini menelusuri jalan yang sama untuk menelisik kisah perjalanan seorang manusia yang terseret masuk pusaran Pertempuran Morotai. Ia, Teruo Nakamura, adalah cerita tentang kemampuan bertahan hidup, patriotisme yang tak lekang oleh panas tak lapuk oleh hujan, kebahagiaan, keterasingan, identitas, dan ironi di sebuah dunia modern.
Nakamura meninggalkan Pulau Morotai pada Januari 1974 dengan senyum lebar di bibirnya. Namun dunia tidak menyambutnya dengan sukacita: Jepang menampiknya secara halus karena ia bukan orang Jepang (Nakamura putra suku asli Taiwan yang direkrut angkatan bersenjata Jepang dalam Perang Dunia II). Di Taiwan sendiri ia mendapati dunianya berubah: istrinya telah menikahi lelaki lain. Lima tahun setelah kepergiannya dari Morotai, ia meninggal karena kanker paru-paru.
Pulau Morotai, September 1944.
Di gubuk kayunya yang kukuh, mungil, dan tersembunyi di sela-sela pekatnya hutan di lereng Gunung Galoka, Pulau Morotai, prajurit Teruo Nakamura menanti pasukan Jepang yang bakal menjemputnya.
"Tetaplah bertahan, karena cepat atau lambat angkatan darat Jepang akan datang, sekalipun seratus tahun mendatang." Prajurit berusia 25 tahun ini menyimpan kata-kata terakhir komandannya, Mayor Kawashima, laksana menyimpan pusaka. Maka bertahanlah ia di antara gelap hutan perawan, pokok-pokok bambu hijau yang rapat dan menjulang tinggi, rimbunnya perdu dan ilalang, serta lembapnya udara di lereng gunung itu. Di pondoknya yang berdinding kayu, beratap daun rotan, dan berbentuk persegi panjang dengan luas 2 x 1,5 meter itu Nakamura terus menunggu "hari kemenangan" itu: satu tahun, dua tahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun, bahkan tiga puluh tahun lebih.
Dari barang-barang miliknya yang akhirnya disimpan dalam sebuah lemari kaca di kampung halamannya di Desa Tai Tung, Taiwan, kita memperoleh keterangan bahwa prajurit ini kemudian menemukan cara menghitung hari, bulan, dan tahun. Ia menciptakan sebuah penanggalan pribadi sederhana dari sebilah kayu.
Teruo Nakamura hidup sendiri di tengah hutan, menghindari musuh yang lebih banyak dan kuat. Morotai, 14 September 1944, adalah ladang pembantaian yang mengerikan, tatkala 2.500 tentara Jepang bertempur tanpa dukungan logistik yang layak, berbenturan dengan lebih dari 100.000 personel pasukan Sekutu yang bersenjata lengkap. Sekitar 1.700 serdadu Jepang tewas; 660 menyerah, sisanya memilih bunuh diri ketimbang menyerah, atau masuk hutan melanjutkan perangnya sendiri.
Teruo Nakamura masuk hutan, memanjat bukit-bukit di sekitar Gunung Galoka. Sambil memantau gerakan Sekutu di pesisir tenggara Pulau Morotai, ia menanam jeruk nipis, pisang, singkong, padi, memelihara burung maleo (ayam hutan), dan berburu babi hutan. Semua ini berawal pada 1963, ketika seorang penduduk Desa Pilowo–terletak di kaki Gunung Galoka—tengah berburu babi hutan bersama anjingnya. Ia memergoki sesosok manusia di pinggir parit kecil tapi berair dalam di lereng gunung. Perawakannya tidak seperti orang dari desanya, tapi dapat memanjat pohon secepat kilat. Doya, lelaki dari Desa Pilowo itu, lantas melihat sosok yang asing ini nangkring di atas pohon, berkulit terang tapi bukan bule, menatap curiga dengan matanya yang sipit.
Pertemuan itu berlangsung singkat, tapi rupanya bukan pertemuan mereka yang terakhir. Mengetahui Nakamura membawa senjata api berikut amunisinya, Doya cepat angkat kaki, lalu menghilang di kegelapan hutan. Menurut Luter Goge, 51 tahun, cucu Doya, "Tete (kakek, dalam bahasa Morotai) kembali lagi tiga hari kemudian ke tempat itu. Dia mau cari tahu."
Sang kakek muncul lagi. Tangannya mengulurkan pundi-pundi berisi sagu, anak (bibit) pisang, talas, singkong, dan beras kepada orang yang baru dikenalnya, tutur Luter kepada Tempo. Sekadar informasi, manakala bepergian, orang setempat biasa membawa kantong-kantong yang dililitkan di pinggang sebagai penyimpan pinang dan sirih. Sejak itulah keduanya menjadi sahabat. Belasan tahun, tanpa setahu orang lain, sang kakek mengunjungi gubuk Nakamura, membawakan garam dan tembakau. Dua bahan makanan yang tak bisa didapat di hutan.
Luter bercerita, acap kali ia diajak serta mengunjungi sahabat yang misterius ini. Ia tak pernah lupa penampilan aneh sosok yang satu ini: rambutnya menjuntai panjang sampai ke pantat, hidup sendirian di tengah hutan, hanya ditemani oleh burung-burung maleo kesayangannya.
Dari pembicaraan dua sejoli kakek-cucu ini di kemudian hari, si kecil Luter akhirnya tahu mengapa sang kakek mau mengambil risiko berkawan dengan seorang prajurit yang kalah perang waktu itu. "Dia dalam kesulitan, jangan-jangan kitorang harus melindunginya, karena kalau nanti ada sanak-keluarganya datang mencari, kita bisa menunjukkan di mana dia berada," kata Luter menirukan sang kakek.
Nakamura ditangkap pada 18 Desember 1974. Mungkin "ditangkap" bukanlah kata yang tepat—istilah yang lebih pas adalah ia dipaksa menerima kenyataan bahwa dunia sudah berubah: Perang Pasifik telah lama usai, Indonesia sudah merdeka.
Keberadaan Nakamura tercium ketika tim pencari yang dipimpin Letnan Satu Supardi A.S. itu berhasil mencapai puncak Gunung Galoka, dan mereka mendengar suara aneh dari bawah sana, bersahutan, berulang-ulang. Suatu kombinasi vokal antara bunyi "heh ho ki huu" burung rangkok—burung lokal bertubuh bongsor, bersuara keras—dan lenguhan "huwah-huwah" babi hutan.
Dari teropongnya, Letnan Supardi tak melihat dua hewan tersebut, melainkan sasaran utama operasinya. Berada di depan mata, berusia 57 tahun: rambutnya telah dipotong pendek, crew cut, sedang sibuk menebas pohon bambu di samping gubuknya, tanpa sehelai kain menutupi tubuhnya. Dan suara-suara itu meluncur dari mulut Nakamura sendiri, seraya menyembunyikan-menyamarkan aneka bunyi bising akibat kegiatannya yang dapat memancing perhatian orang.
Menghadapi tentara selihai ini, sebuah skenario jitu disiapkan. Lewat tengah malam, ketika sebelas anggota tim melepas lelah di samping bivak di bawah langit Morotai yang bertabur ribuan bintang, sebuah gagasan melintas di kepala Letnan Satu Supardi. Ia mengumpulkan anak buahnya yang bisa berbahasa Jepang, lantas mengajak mereka berbicara tentang musik. Musik? "Tahu ndak kalian Indonesia Raya-nya Jepang?" tanya sang letnan. Mendapat jawaban positif Kimigayo, Supardi pun menanyakan sebuah lagu lainnya, lagu yang biasa dipergunakan buat membakar semangat tentara Jepang dalam Perang Dunia Kedua.
Di malam buta, mereka berlima—termasuk Supardi—berlatih menyanyikan Kimigayo dan lagu patriotik Miyoto okaino.
Pagi itu, pukul delapan, apa yang ditunggu-tunggu Nakamura selama 30 tahun lebih tiba-tiba menjadi kenyataan. Ia kedatangan tamu tak diundang. Beberapa meter di hadapannya, seorang lelaki yang tidak dikenal mengusung bendera putih, seorang lainnya memegang bendera Merah Putih, dan yang terakhir memegang bendera Matahari Terbit. Semua berjalan sesuai dengan rencana tim tadi malam.
Mendengar Kimigayo dinyanyikan, Nakamura terkesiap, bangkit dengan sikap sempurna. Ia tegak, tak bergerak, kakinya terentang lebar, tangan kanannya memegang parang menuding lurus ke tanah, sambil tangan kirinya menutupi kemaluan. Adakah angkatan darat Jepang telah datang menjemput?
Entah pikiran apa yang berkecamuk dalam kepala Nakamura. Yang terang, setelah Miyoto okaino disenandungkan, prajurit ini menggeram keras. "Bakayarooo," serunya. Sekarang ia mulai bergerak ke gubuknya, tangan kanannya tak kunjung henti mengayunkan parang ke atas ke bawah, dan semua ini menerbitkan kekhawatiran. "Jangan-jangan ia hendak mengambil senapan atau bunuh diri di pondoknya," kata Supardi.
Dalam keadaan mencekam inilah Hans Anthony, salah satu anggota tim, yang kebetulan berdiri paling dekat dengan serdadu Jepang ini, cepat menubruk ke depan, menjatuhkan Nakamura, dan menjauhkan parang dari jangkauan tangannya. Supardi dan sebelas anggota timnya kembali bernapas lega: karena keadaan bisa diatasi tanpa harus ada orang yang terluka, apalagi tewas.
Namun tidak demikian dengan Nakamura. "Tangannya masih gemetar, napasnya memburu, matanya liar," kata Supardi. Pandangan matanya berulang kali mendarat pada senjata anggota tim, dan tidak diragukan lagi ia akan menggunakan setiap kesempatan untuk merebutnya, guna membebaskan diri. Untuk menenangkannya, salah seorang anggota tim mengulurkan rokok. Seorang lagi meminjamkan celana yang dipakainya kepada Nakamura agar ia dapat berjalan tanpa rasa rikuh.
Pukul 09.30, Nakamura harus meninggalkan masa lalunya, menuju masa depan yang belum lagi diketahuinya. Senjata laras panjang yang selalu dibersihkannya berikut 18 butir peluru telah diamankan tim. Dari dalam rumahnya praktis ia cuma mengambil suryakanta yang biasa dipakainya untuk membuat api dan sebuah jimat yang setia menemaninya puluhan tahun. Ia juga menghadiahkan burung maleo miliknya kepada Supardi, yang berulang kali dipanggilnya taisho. Seakan-akan mengucapkan selamat tinggal pada masa lalunya, sebelum meninggalkan lokasi, Teruo Nakamura meminta para anggota tim berbaris rapi untuk memberi hormat takzim kepada rumah yang telah lama dihuninya itu.
Mereka turun gunung, bermalam di kaki Gunung Galoka, lantas naik perahu motor ke pelabuhan Daruba esok paginya. Di Daruba ia menyaksikan kerumunan, jumlahnya ratusan orang, menyambutnya dengan rasa ingin tahu yang meledak-ledak. Ya, sebuah kehidupan baru yang sama sekali berbeda dengan hidupnya yang damai di hutan lereng Gunung Galoka telah menghadangnya. Tak ada pilihan lain, siap atau tidak, suka atau tidak, manis atau pahit, ia harus menerima kenyataan ini.
Pertempuran Morotai
Terjadi pada 15 September 1944 pada akhir Perang Dunia Kedua. Pertempuran dimulai ketika gabungan tentara Amerika Serikat dan Australia mendarat di Morotai bagian barat daya. Pasukan Sekutu dipimpin langsung oleh Jenderal Douglas MacArthur, sedangkan Jepang oleh Mayor Takenobu Kawashima.
Basis di Morotai dibutuhkan untuk membebaskan Filipina, juga Kalimantan. Jumlah tentara Sekutu yang menyerang jauh lebih banyak. Bantuan Jepang mendarat pada Oktober dan November, tapi kekurangan persediaan untuk menyerang Sekutu. Pertempuran terus berlanjut hingga akhir perang, dengan tentara Jepang menderita korban jiwa yang besar akibat penyakit dan kelaparan. Beberapa prajurit Jepang di sana masih terus bertahan dan menolak menyerah. Salah satunya adalah Teruo Nakamura, yang baru dapat diamankan pada 18 Desember 1974.
MacArthur dan Morotai
Jepanglah yang pertama kali masuk ke Morotai dan menyulap pulau itu menjadi pangkalan militernya. Morotai dinilai sangat strategis untuk mengendalikan kawasan Asia Tenggara.
Menghadapi strategi ini, pada 1943 Sekutu mendaratkan 200 ribu personel pasukannya di Morotai, lengkap dengan pesawat tempur dan kapal perang. Posisi Morotai yang sangat strategis ini akhirnya mendorong Sekutu membuat pulau itu menjadi pangkalan militernya untuk membebaskan Filipina. Sebuah pangkalan udara yang dikenal dengan nama Pitu Strep dibangun di Morotai. Bandara khusus ini dilengkapi tujuh landasan masing-masing sepanjang 3.000 meter, yang semuanya dibangun di atas karang hidup.
Morotai saat itu menjadi "kerajaan militer" Sekutu. Di perairannya, Sekutu juga membangun pertahanan laut yang dikenal dengan nama Navy Base atau Army Doc. Pangkalan militer Sekutu di Morotai ini berada di bawah komando Douglas MacArthur (1880-1964), jenderal perang Amerika Serikat yang tersohor. Selaku kepala staf angkatan darat, ia diberi tugas memimpin seluruh aktivitas militer Sekutu di Morotai untuk menghancurkan Jepang dalam Perang Dunia Kedua.
Untuk menyusun sebuah strategi perang yang jitu, MacArthur biasanya menyepi ke Pulau Zum-zum, salah satu pulau di Morotai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo