Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Galau menyergap Achmad Mubarok. Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat ini punya keyakinan kuat pemerintah Indonesia bakal kalah dalam sidang pengadilan arbitrase internasional kasus Bank Century. Bekas pemilik saham Bank Century, Rafat Ali Rizvi, warga negara Inggris keturunan Pakistan, mengajukan gugatan ke International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), yang bermarkas di Washington, DC.
Rafat menggugat pemerintah Indonesia US$ 75 juta, yang materinya masuk 19 Mei lalu. Sebagai pemegang saham ketika itu, Rafat menganggap penyehatan Bank Century tidak berbeda dengan nasionalisasi bank tersebut. "Saya rasa Indonesia bakal kalah," kata Mubarok, Kamis pekan lalu.
Pemerintah Indonesia memang pernah beberapa kali kalah dalam sengketa investasi tingkat internasional. Misalnya ketika pemerintah berhadapan dengan Cemex SA, produsen semen asal Meksiko, pada 2005. Sebelumnya, pemerintah berurusan dalam sengketa Telkom-Aria West, PLN-Dieng Patuha, dan Pertamina-Karaha Bodas Company. Dalam dua kasus terakhir, Indonesia kalah telak dan harus membayar ganti rugi masing-masing US$ 260 juta dan US$ 299 juta. Hanya, dalam kasus Telkom-Aria West, ganti rugi yang harus dibayar Indonesia tergolong wajar.
Pada 1982, Indonesia juga kalah dalam perkara Hotel Kartika Plaza Indonesia. Sengketa bermula dari dicabutnya lisensi penanaman modal milik tiga investor asing: AMCO Asia Corporation, Pan American Development, dan PT Amco Indonesia.
Dari sejumlah sengketa hukum internasional itu, yang masuk ICSID adalah Amco, Cemex, dan pemerintah Kalimantan Timur versus Kaltim Prima Coal. Ketiganya kalah. Hanya satu yang menang, yaitu sengketa divestasi saham Newmont Corp di Singapore International Arbitration Center (SIAC).
Pemerintah Indonesia sudah menunjuk Karimsyah Law Firm sebagai kuasa hukum dalam perkara ini. Ilman Rakhmat dari kantor hukum tersebut menyatakan ICSID adalah pengadilan yang hanya menyidangkan sengketa investasi antara investor dan pemerintah negara tempat investor menanamkan uang. Menurut dia, butuh waktu lama untuk membuat putusan di pengadilan ini. "Bisa bertahun-tahun," kata Ilman.
ICSID adalah badan arbitrase bentukan Bank Dunia melalui Konvensi Washington atau Word Bank Convention, yang ditandatangani di Washington, DC, 18 Maret 1965, dan mulai berlaku 14 Oktober setahun berikutnya. Badan ini lahir akibat situasi ekonomi dunia pada 1950-1960. Banyak negara berkembang menasionalisasi perusahaan asing. Tindakan ini mengakibatkan sengketa ekonomi dan mudah berubah jadi konflik politik, bahkan perang terbuka.
Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi ini dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang penyelesaian sengketa penanaman modal antarnegara dan warga negara asing mengenai penanaman modal. Dalam arbitrase ini, penyelesaian dilakukan oleh sebuah panel yang terdiri atas wasit yang ditunjuk.
Setiap negara peserta konvensi boleh mencalonkan empat orang untuk setiap panel. Sedangkan ketua dewan administratif yang dipegang Presiden Bank Dunia dapat mencalonkan sepuluh orang dari negara berbeda untuk setiap panel. Putusan arbitrase diambil berdasarkan suara terbanyak anggota panel. Setiap putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.
Menggunakan lembaga arbitrase internasional untuk menyelesaikan sengketa investasi dan bisnis antarnegara sebenarnya sudah menjadi praktek lumrah. Ada keyakinan umum bahwa arbitrase internasional lebih netral dan putusannya lebih berdaya dibanding penyelesaian lokal atau nasional. Selain ICSID dan SIAC, masih ada beberapa lembaga serupa, seperti International Chamber of Commerce, International Center for Dispute Resolution, London Court of International Arbitration, Hong Kong International Arbitration Center.
Lembaga-lembaga tersebut dipilih sebagai sarana penyelesaian sengketa berdasarkan kredibilitas mereka. Tentu saja pihak yang menggugat harus melihat tata laksana arbitrase masing-masing lembaga agar kasus yang diajukan bisa diproses. Rafat misalnya. Karena Indonesia masuk dalam konvensi ICSID, kasusnya bisa disidangkan di sana.
Sunudyantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo