Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Kesehatan menunggu rekomendasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) perihal kelanjutan uji klinis vaksin sel dendritik SARS-CoV-2 atau yang disebut vaksin Nusantara.
Kementerian menyatakan tak bisa melakukan apa pun untuk mengintervensi penelitian yang sedang berjalan.
Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad, meminta Kementerian Kesehatan dan BPOM lebih tegas terhadap polemik vaksin Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Kementerian Kesehatan menunggu rekomendasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) perihal kelanjutan uji klinis vaksin sel dendritik SARS-CoV-2 atau yang disebut vaksin Nusantara. Juru bicara program vaksinasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan kementeriannya tak bisa melakukan apa pun untuk mengintervensi penelitian yang sedang berjalan. “Ini ranahnya peneliti dan BPOM,” kata Nadia kepada Tempo, kemarin.
Riset vaksin Nusantara merupakan kerja sama Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan dengan PT Rama Emerald Multi Sukses, pemegang lisensi dari AIVITA Biodemical Inc, perusahaan asal Amerika Serikat yang mengembangkan terapi sel dendritik SARS-CoV-2.
Vaksin ini diujicobakan di Indonesia atas gagasan bekas Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto. Penelitian vaksin Nusantara di Indonesia dilakukan oleh Balitbangkes Kementerian Kesehatan, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi Semarang, dan Universitas Diponegoro.
Uji klinis fase pertama vaksin Nusantara mendapat izin dari BPOM. Namun, karena tim peneliti tak bisa melampirkan hasil uji praklinis, BPOM meminta uji klinis fase pertama dilakukan dengan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK).
Kantor Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Jakarta. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Proses uji klinis vaksin Nusantara menuai pro-kontra setelah BPOM merilis hasil inspeksi selama tahapan uji klinis fase pertama. Dalam temuannya, BPOM menyebutkan ada prosedur uji klinis yang tak sesuai dengan kaidah penelitian. Peneliti disebut mengabaikan sejumlah poin PPUK yang disyaratkan BPOM. Selain itu, data interim uji klinis fase I vaksin Nusantara dianggap belum cukup menjadi dasar untuk dilanjutkan ke uji klinis fase II. BPOM mendapati ketidakcukupan keamanan dan kemampuan vaksin dalam membentuk antibodi serta pembuktian mutu dari produk vaksin dendritik.
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito pun menyarankan agar tim peneliti vaksin Nusantara untuk Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) mengulang lagi uji praklinis sebelum melanjutkan uji klinis. Penny mengatakan uji praklinis ini diperlukan untuk mendapatkan konsep dasar yang jelas, sehingga uji klinis yang dilakukan pada manusia bukan percobaan yang belum pasti. “Kegiatan penelitian praklinis sebaiknya dilakukan pendampingan oleh Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional sesuai dengan kesepakatan dalam rapat dengar pendapat DPR,” kata Penny.
Karena temuan BPOM itu, RSUP Dr Kariadi meminta izin Kementerian Kesehatan untuk menghentikan penelitian. Tapi tim peneliti dari RSPAD tetap melanjutkan uji klinis fase kedua meski tanpa izin dari BPOM. Kepala RSPAD Gatot Soebroto, Letnan Jenderal TNI Albertus Budi Sulistya, mengatakan tim uji klinis vaksin Nusantara tak perlu mendapat izin dari BPOM. Ia beralasan, uji klinis vaksin Nusantara murni penelitian sehingga hanya perlu lolos uji etik. “Sebagaimana penelitian untuk S-2 dan S-3, kami enggak perlu izin BPOM,” katanya.
Langkah tim peneliti RSPAD Gatot Soebroto meneruskan uji klinis fase kedua tanpa izin BPOM itu mendapat dukungan dari anggota DPR. Pada Selasa lalu, puluhan anggota DPR dan sejumlah tokoh nekat menjadi relawan untuk menunjukkan dukungannya terhadap riset vaksin besutan Terawan ini. Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, mengklaim tim peneliti sudah memperbaiki prosedur seperti yang menjadi catatan BPOM. “Asalkan prosedurnya sudah diperbaiki, BPOM mempersilakan,” tuturnya.
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan pemerintah akan mendukung pengembangan vaksin Nusantara selama memenuhi kriteria. Wiku mengatakan, pada prinsipnya, semua vaksin yang diberikan kepada masyarakat harus mendapat izin dari BPOM, terutama untuk memastikan keamanan, efikasi, dan kelayakan.
Menurut Wiku, penelitian vaksin Nusantara harus mengikuti kaidah-kaidah ilmiah yang sudah diakui dan sesuai dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). “Diharapkan tim pengembang vaksin Nusantara dapat berkoordinasi dengan baik dengan BPOM agar isu terkait vaksin ini segera terselesaikan,” kata dia.
Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad, meminta Kementerian Kesehatan dan BPOM lebih tegas terhadap polemik vaksin Nusantara ini. Sebab, urusan vaksin untuk menangani pandemi menyangkut keselamatan dan hak dasar kesehatan masyarakat. Riris menyarankan setidaknya pemerintah juga bisa membuat tim yang mengawasi proses penelitian dan memastikan penelitian vaksin Nusantara itu sesuai dengan kaidah penelitian yang berlaku. “Yang paling bisa dilakukan Kementerian Kesehatan adalah menegakkan aturan melalui badan yang berwenang,” katanya.
Selain itu, Riris menekankan, DPR semestinya berperan memastikan bahwa penelitian vaksin Nusantara yang dikembangkan benar-benar berjalan dalam koridor aturan yang berlaku. DPR, kata dia, juga punya peran mengambil keputusan ihwal kebijakan yang diperlukan jika memang sudah ada bukti ilmiah yang kuat terkait dengan kemanfaatan dan keamanan hasil penelitian vaksin itu. “Sekarang koridor regulasi penelitian itu kan sudah jelas, tuntutan BPOM juga jelas,” ujarnya.
EGI ADYATAMA | PRIBADI WICAKSONO | MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo